Mochtar Lubis dan Semangat Bandung

The Wretched under the Rainbow merupakan terbitan terbaru dari Gerak Budaya, rumah publikasi terkemuka di Kuala Lumpur, Malaysia. Ditulis oleh seorang akademisi multi-disipliner, Miranti Silasudjana, dan dimoderatori oleh ahli sastra kawakan Singapura, Azhar Ibrahim, acara ini mengupas kisah hidup Mochtar Lubis (1922-2014),seorang journalist, novelist, aktifis, serta sejarawan berkebangsaan Indonesia.

Mochtar Lubis lahir di Padang dari keluarga elit Mandailing. Ia mengenyam pendidikan di Padang dan Batavia. Sepanjang kiprah intelektualnya, Ia berdiri sejajar dengan pemikir-pemikir ulung kala itu seperti Pramoedya Ananta Toer, Sanusi Pane, W.S. Rendra, Hamka, Marco Kartodikromo, Achdiat Karta Mihardja, Tan Malaka, dan banyak lagi. Ia seorang penulis yang prolifik, pengarang dari 6 novel; 2 novelet, 4 koleksi cerita pendek, disamping seabrek esai, artikel, dan kolum-kolum editorial. Tulisan-tulisannya kian menajam sejak tahun-tahun revolusi Indonesia.

Buku dengan 157 halaman ini terbagi dalam 6 bab. Beberapa ranah pembahasan mencakupi afiliasi intelektual Mochtar Lubis, kritiknya terhadap era “pembangunan tanpa kebebasan”, memanggil kesetaraan bagi perempuan, kecintaan hidupnya pada menyuarakan ketidakadilan, dan yang terakhir, tentang sosoknya sebagai intelektual.

Lubis dikenal sebagai pembangkang dari dua rezim yang berkuasa semasa hidupnya. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, sikap kritisnya yang kerap disampaikan melalui harian Indonesia Raya yang ia pimpin, berujung pada pemenjaraannya selama hampir sembilan tahun, dari 1956 hingga 1966. Ia menjadi tahanan politik Indonesia paling terkenal dalam dunia global era tersebut. Setelah bebas dan kembali menerbitkan Indonesia Raya, kecamannya terhadap korupsi di tubuh Pertamina dan pemberitaanya seputar Peristiwa Malari 1974 membuatnya Kembali berhadapan dengan pengauasa. Di bawah rezim Presiden Soeharto, ia ditangkap pada Februari 1975 dan ditahan selama sekitar dua setengah bulan tanpa pernah diadili. Pengalaman pahitnya selama mendekam di penjara Nirbaya ini ia tuangkan dalam buku hariannya yang kemudian diterbitkan dengan judul Nirbaya: Catatatan Harian Mochtar Lubis dalam Penjara Orde Baru.

Buku ini menyuguhkan pengetahuan mengenai Mochtar Lubis sebagai pribadi yang kritis dan bertekad kuat dalam situasi politik domestik yang memecah belah. Kehidupannya diwarnai oleh perjuangan tanpa henti untuk kebebasan pers dan kebenaran, yang mengharuskannya membayar mahal dengan kebebasan fisiknya sendiri. Dalam perjalanannya, gaung perlawanannya tidak hanya terdengar di dalam negeri tetapi juga memantapkan posisinya sebagai intelektual yang dihormati di panggung global, salah satu aspek yang tidak menjadi fokus dalam buku ini.

Semangat Bandung yang mendunia

Kaitan Mochtar Lubis dengan semangat Bandung sering kali dikotakkan pada kedekatannya dengan sastrawan Afrika-Amerika ternama, Richard Wright yang Pada tahun 1955, menghadiri Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Selama tiga minggu kunjungannya di Indonesia, Mochtar Lubis menjadi tuan rumah dan pemandu bagi Wright. Koran yang ia pimpin, Indonesia Raya memuat pidato terjemahan Wright yang berjudul ‘the Artist and His Problems. Interaksinya dengan Wright ini disebut debut sebagai bentuk broker soft power, penengah prinsip-prinsip Indonesia dengan dunia internasional. Lebih kompleks dari itu, pertukaran pikiran antara Lubis dan Wright membawanya pada pemikiran-pemikiran sosialis dan anti komunisme yang menyebabkan berbagai peristiwa kelam mewarnai perjuangan Mochtar Lubis dan teman-teman artis dan jurnalis sejawatnya yang sepemikiran (Roberts and Foulcher, 2016: 89-94).

Pada hakikatnya, sebelum bertemu dengan Richard Wright, Mochtar Lubis sudah terlebih dahulu ter-ekspos pada pemikiran-pemikiran semangat Bandung yang diiluminasi oleh nilai nilai persatuan antara negara-negara Asia Afrika dan tekad melawan penjajahan dan imperialisme. Lubis mendapatkan berbagai gambaran situasi politik dunia internasional kelas 1 (Europa) melalui kunjungan langsung yang dia lakukan, seringkali dalam kegiatan kegiatan yang melibatkan kedutaan. Tahun 1951, contohnya, Mochtar Lubis mengunjungi Amerika bersama Dr Suleinti Sulaiman dan Myriam Saleh dari kedutaan Indonesia untuk Amerika. Kunjungan ini membawa pandangan Lubis dan kolega wanitanya pada perpolitikan ras dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Amerika yang begitu sarat dengen warisan sistemik kolonialism dan imperialisme. Ini juga yang membentuk pola pikir pandangan Mochtar Lubis lebih dekat pada suara suara minoritas yang terjajah, ketidak adilan berdasarkan ras, agama, kelas sosial, dan persoalan-persoalan ekonomi dunia ke-tiga.

Atlanta daily world (Atlanta, Georgia), August 30, 1951, (City Edition)

Dalam tahun tahun 1956-57 dan setelah bebas dari penjara tahun 1966, Ia menerima jumlah undangan wawancara yang signifikan dari berbagai negara, seperti Amerika, Philipina dan India. Sebagai pendiri dan editor majalah sastra Horison selama 36 tahun, Ia menciptakan wadah sastra yang penting dan berpengaruh. Karya karyanya seperti novel Senja di Jakarta dan Jalan tak Ada Ujung telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, memperluas jangkauan pemikirannya secara global. Keterlibatannya dalam Press Foundation of Asia juga menunjukkan kponeksi dan mobilitasnya yang kuat di regional, termasuk dengan negara negara seperti Malaysia dan Singapura.

Kepakarannya dan integritasnya yang tak tergoyahkan membuatnya menjadi figur yang sangat dihormati di dunia internasional. Pada tahun 1958, Ia dianugrahi Ramon Magsaysay award untuk Jurnalisme dan Sastra, menjadikannya orang Indonesia pertama yang menerima penghargaan bergengsi ini. Pada tahun 2000, Internasional Press Institute (IPI) menganugrahinya gelas sebagai salah satu dari 50 World Press Freedom Heroes dalam 50 tahun terakhir. Ia juga aktif dalam Internasional Press Institiute dan Press Foundation of Asia. Reputasinya juga mengantarnya menjadi anggota UNESCO commission for the Study of Communication Problems tahun 1977-1979.

 Dengan keteguhan hati, pena yang tajam, dan komitmennya pada nilai nilai kemanusiaan, Mochtar Lubis tidak hanya menjadi symbol perlawanan terhadap otoritarianisme di Indonesia, tetapi juga suara yang berpengaruh didunia. Perjalanan hidupnya, dari balik terali besi hingga ke panggung internasional, membuktikan bahwa gagasan tentang kebebasan dan keadilan tidak dapat dipenjara.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―