13, 73 & Catatan Konflik Seorang Santri Misbahul Ulum

Aku, sebagaimana ratusan ribu anak-anak lain di Aceh adalah korban konflik. Tumbuh dan berkembang di Pesantren Misbahul Ulum, Paloh, Aceh Utara barangkali adalah salah satu faktor rendahnya tingkat trauma yang tertinggal di benakku. Yah, jika dibandingkan dengan mereka yang anggota keluarganya tewas di depan mata.
Meskipun keputusan ini sempat ditentang keluarga disebabkan kondisi keterbelakangan ekonomi dan pseudo-belief terhadap posisi anak perempuan dalam sosialisme masyarakat tradisional di Aceh, dengan rengekan kekanak-kanakan akhirnya orangtuaku berhasil diyakinkan. 2 tahun sebelum diumumkannya ‘Darurat Militer’ tahun 2000, dengan ditemani oleh almarhum ayahku yang kharismatik, pertama kalinya ku diperkenalkan pada warna lain sebuah komunitas masyarakat.

Melalui pintu masuk utama yang terbuat dari kayu, sejauh mata ku dapati beberapa bangunan lusuh beratap rumbia dan berdindingkan kayu. Ada beberapa yang dibangun dengan semi-beton, termasuk sebuah masjid kecil berdindingkan kayu, warung-warung kecil penjaja makanan ringan, goreng-gorengan, dan warna-warni sarung, kemeja, celana dan pakaian-pakaian lainnya yang setia menunggu panas matahari di tiap-tiap bangunan yang kemudian ku ketahui adalah tempat para santri belajar dan tidur.
Sejauh mata memandang ada sesakan manusia dalam setiap pelosok tempat. Dengan panas matahari yang menyengat, peluh peluh yang terlihat pada bagian diri mereka tidak meghalangi antusiasme untuk memenuhi tanggung jawab sebagai santri.
Selama 6 tahun kemudian, ku menyadari bahwa pesantren ini merupakan satu satunya tempat pendidikan teraman dari fitnah, sengketa, penculikan, dan pertumpahan darah, meskipun ledakan bom dan kebisingan letupan peluru menemani hari-hari ku menghafal mufradat (kosa kata) bahasa Arab, Inggris, al-Quran, hadist dan materi-materi ajaran dasar dan filosofi Islam lainnya. Sungguh, ini masa remajaku yang unik, bukan?!.
Ini merupakan pengalaman personalku. Dengan menguraikannya di sini, ku berharap ada lebih banyak lagi korban-korban konflik yang lain yang sudi menulis demi merawat sebuah ingatan yang akan menjadi kaca bagi mereka yang berada di tampuk kekuasaan.

Menimba Ilmu dalam Konflik
Antara tahun 1997-2003, tidak hanya hidup di pesantren dan interaksi pendidikan dengan guru-guru pribumi berlulusan Kairo, Gontor (Jawa Timur) dan pesantren-pesantren jaringannya di Sumatera, tapi latar belakang konflik dan politik Aceh-Indonesia telah berperan besar dalam arus pertumbuhan yang ku yakini tidak hanya mempengaruhi kepribadianku tapi juga setiap anak yang tinggal di Aceh masa itu.
Pesantren Modern Misbahul Ulum mengadopsi sistem Pendidikan ala Kairo dan Gontor. Selain keterbatasan akses terhadap teknologi dan minimnya koleksi perpustakaan, kegiatan sehari-hari hingga kebijakan-kebijakan belajar dan buku-buku yang dipedomankan hampir sepenuhnya diadopsi dari dua sumber negeri tersebut di atas.
Para santri dijadwalkan untuk bangun pukul setengah jam sebelum azan subuh berkumandang yang biasa jatuh antara pukul 4.30 hingga pukul 05.00 WIB. Dalam masa tersebut santri diwajibkan untuk tepat waktu berada di mesjid, yakni sebelum iqamat berkumandang. Santri yang dikalahkan oleh kantuknya harus terpaksa tergopoh gopoh berlarian mengejar lajunya waktu, jika tidak ingin dihadapkan pada denda yang menanti. Tidak ada yang bisa menjamin apakah salat subuh yang hanya dua rakaat itu dapat dilaksanakan dengan baik, apalagi jika sang imam membaca ayat pendek yang mendayu dayu sepanjang 5 menit yang ‘sangat berarti’ untuk menambah durasi bermimpi.
Sekolah dimulai pada pukul 8 pagi dan berakhir pada pukul 3 siang. Setiap harinya terdapat 5-6 aneka pelajaran baik pendidikan islami maupun pendidikan sekuler. Ini merupakan keunikan lainnya. Tidak hanya nahwu sarf, ushul fiqh, fiqh, hadist, al Quran, tafsir, sastra Arab, dan tarbiyah, para santri juga diajarkan sejarah Islam, fisika, matematika, biologi, geografi, ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam. Sistem pembelajaran berjalan sebanding antara hafalan hafalan hadist dan al Quran dengan telaah-telaah secara nalar dan logika.
Ujian untuk semua pelajaran dilakukan setiap akhir semester. Pada masa ini banyak santri yang mengendalikan pengetahuan dengan hafalan dan pemahaman. Namun ilmu-ilmu tersebut nampaknya terbang melayang dari ingatan hanya lima detik setelah ujian berhenti. Ini menjelaskan ada bagian-bagian ilmu yang dipelajari tidak melekat di hati. Barangkali ini disebabkan oleh tingginya tekanan untuk bersaing ditambah lagi dengan jenis-jenis pertanyaan ujian yang mayoritasnya harus mengandalkan hafalan, bukan mengandalkan kebebasan nalar (sesuai 2 nash tersebut) atau dalam kalimat populernya ‘menganalisa dengan kritis’. Atau bisa juga ini disebabkan oleh realita bahwa liburan panjang segera tiba dan kebosanan dalam sistem kedisiplinan yang sama akan segera berakhir.
Tidak hanya sebatas pendidikan formal, berbagai klub-klub extra-kurikular berhasil membantu santri-santri untuk menemukan dan mengembangkan bakat-bakat seperti pramuka, seni retorika, kaligrafi, teater, olahraga, musik tradisional, seni pertahanan diri, ICT (informasi dan teknologi), dan seni tenun-menenun. Kreatifitas-kreatifitas yang dilahirkan dalam klub-klub ini dipertandingkan setiap tahunnya dalam arena pertandingan internal pesantren atau melawan pesantren lainnya.
Petang hari, para santri mengisinya dengan kegiatan-kegiatan extra kurikuler seperti olahraga takraw, volley ball, bulu tangkis, dan sepak bola. Malam hari, tepatnya setelah azan Isya berkumandang sekitar pukul 8.15, kegiatan retorika dimulai. Dalam kegiatan ini, para santri dikelompokkan sesuai dengan tingkat pendidikannya. Dibina oleh ustazah dan ustaz berpengalaman. Akan tiba giliran masing masing santri untuk mempersiapkan orasinya dalam bahasa Inggris dan Arab dengan tema yang telah ditentukan. Orasi seperti ini juga mengalami posisi pertandingan setiap tahunnya.
Sayang sekali, kreatifitas-kreatifitas ini terlihat menurun sejak Aceh berada dalam ‘Status Darurat’ pada tahun 2000. Yang tersisa hanyalah salat berjamaah lima waktu yang diikuti dengan siraman rohani.
Ketika sekolah dasar di mana ibuku mengajar terbakar pada tahun 2001, aku berada di pesantren dengan kegiatan-kegiatan harianku. Saat itu umurku baru beranjak 16 tahun. Ini merupakan usia penuh tuntutan mental di mana expresi kasih sayang, solidaritas, simpati, dan dukungan sosial seakan menjadi prioritas hidup. Namun peningkatan jumlah baku tembak antara GAM dan RI, penculikan dan kematian masyarakat sipil telah mempengaruhi cara semestinya perkembangan hidup generasiku berjalan.
Aku dan teman-teman lainnya misalnya harus merelakan kealpaan kunjungan-kunjungan orangtua yang sebelumnya tertuntaskan setiap minggunya menjadi sekali setiap bulannya dikarenakan ketakutan. Tentu dalam keluguan, aku tidak mengerti bahwa jam produktifitas publik tidak hanya di kampung halamanku tapi juga seluruh Aceh menjadi begitu singkat, dari pukul 7 pagi hingga pukul 5 sore. Selebihnya hampir tidak didapati manusia-manusia di luar rumah mereka. Jikapun ada, nasibnya dijamin tidak akan sama keesokan harinya. Ya, Jika bukan hilang, tentulah mati. Ini hanya secuil kecil perubahan yang terjadi selama masa depresi tersebut.
Perubahan lainnya adalah pentingnya untuk selalu berada di dalam Kawasan pesantren. Paloh, di mana pesantren ini terbentang merupakan salah satu zona merah yang paling berbahaya. Tidak jarang bulldozer dan jeep-jeep tentara RI melintasi kawasan ini. Baku tembak menjadi rutinitas yang tak bisa diabaikan. Desas-desus angka kematian rakyat lokal sekitar pesantren ini banyak diperbicangkan, apalagi ketika beberapa orang tua santri adalah sebagian dari korban yang tewas. Bukan hal yang mengejutkan jika hampir setiap bulan santri-santri melakukan sembahyang ghaib dan sembahyang jenazah untuk korban-korban yang berjatuhan. Meskipun keadaan begitu mencekam, produktifitas pesantren berjalan tanpa rintangan berarti. Ada semacam netralitas alamiah yang disandang oleh sekolah semacam ini.
Masyarakat Aceh, baik kalangan umum dan pejuang GAM menghormati posisi pesantren sebagai tempat yang tidak layak dilibatkan dalam pertikaian. Begitu juga dengan pihak tentara RI. Walaupun ketenangan mereka bagaikan riak air, cara mereka dalam menginterogasi guru-guru di sini terbilang imbang. Ini barangkali dikarenakan realita bahwa angka ustad dan ustazah di pesantrenku saaat itu lebih banyak didominasi oleh non-Aceh. Atau bisa juga dikarenakan realita bahwa tidak ada kecurigaan tertentu dilakukan oleh sekolah islami semacam ini. Meskipun begitu bukannya tidak ada sejumlah baku tembak dan pembunuhan keji terjadi di kawasan pesantren lain sebagaimana peristiwa Tengku Bantaqiah yang tak mungkin bisa dilupakan itu.
Ketika masa liburan tiba, kejutan-kejutan di dunia luar pesantren tidak begitu mengesankan. Aku misalnya hanya bisa menjangkau kawasan dari rumahku ke pasar-pasar terdekat. Berbelanja untuk keperluan harian di rumah, membantu orang tua melalui hari-hari yang tak selalu bahagia disertai dengan pengumumuman-pengumuman duka dari pihak-pihak yang anggota keluarganya tewas karena fitnah, penculikan atau karena keterlibatan dengan pihak pembangkang dan pihak tentara RI. Sisa-sisa waktu yang ada terkuras di depan televisi dengan tontonan-tontonan sinema India, Kungfu, Komedi porno Indonesia, dan sinetron-sinetron tak mendidik lainnya. Itupun jika tiang penyalur listrik tidak diruntuhkan atau dipangkas oleh orang tak dikenal. Misalnya pada tahun 2002, selama dua bulan penuh, Aceh hidup tanpa listrik diikuti dengan ketiadaan air bersih. Secara otomatis, kehidupan berjalan surut ke 150 tahun lalu, saat pejuang pejuang Aceh melawan penjajahan Belanda, saat Aceh menentang segala upaya ‘penerangan, eksploitasi, dan nilai imperialisme ’ yang dibawa mereka.
Jujur, dalam masa 1997-2003 aku tidak mengenal kebebasan untuk memilih buku-buku yang kuminati karena hampir tidak ada perpustakaan yang kaya buku masa itu. Aku hanya mengenal buku-buku bernilai islami yang terbit 30 tahun belakangan, novel-novel remaja dan dewasa, komik-komik dengan narasi membodohkan, dan koran-koran yang isinya hampir selalu soal kekerasan. Untuk mendapatkan buku-buku seperti ini, aku hanya butuh waktu 15 menit dari rumahku. Jika kondisi keuangan tidak lebih dari Rp. 10,000, maka buku yang bisa diperoleh hanyalah novel-novel amateur dengan narasi-narasi porno yang menjadi virus dalam pikiran.
Namun beruntungnya, semua dilema sosial yang dihadapi di dunia luar dengan mudah teratasi melalu produktifitas-produktifitas islami saat kembali ke pesantren. Meskipun ketakutan dan mimpi-mimpi buruk berdatangan akibat trauma dari peristiwa-peristiwa tragis, kesibukan dan bimbingan-bimbingan demi hidup yang lebih baik telah menyelamatkan separuh dari kehidupanku dan satri santri lainnya.
Beginilah memori keseharianku dan santri-santri Misbahul Ulum. Barangkali tak kan pernah cukup ribuan ucapan terimakasih pada guru-guru tercinta di pesantren ini. Para ustad dan ustazah sepanjang tahun dengan gaji hanya berkisar antara Rp. 200,000-800,000 setiap bulannya telah mendedikasikan waktu dan energi untuk membangun kepribadian islami para santri.
Tanggal 14 Agustus tahun 2005, Konflik berakhir. Tidak ada lagi desingan peluru, kematian, penculikan, dan ancaman-ancaman yang dirasakan warga. Ini bagaikan anugerah yang tidak begitu massif dirasakan oleh masyarakat Aceh yang saat itu sedang dalam tahap penyembuhan dari trauma bencana alam tsunami dan gempa yang terjadi pada bulan Desember setahun sebelumnya. Tahun ini, telah genap 13 tahun damainya Aceh. Namun, mengapa pahitnya hidup seakan masih terasa sama?
Pahitnya Rasa Kemedekaan
Sebelum Gubernur Aceh tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hampir satu bulan yang lalu, Aceh telah diberitakan sebagai salah satu provinsi yang paling tinggi kerentanan pada pencurian uang rakyat. Diikuti dengan berita bahwa Aceh merupakan salah satu provinsi paling miskin di Indonesia. Rakyat Aceh, terutama kalangan akademik dan aktifis sosial tidak menyangkal kedua penemuan tersebut.
Sebagai seorang rakyat biasa, adalah hal mudah untuk melihat kebenaran kedua hal diatas. Salah satu caranya adalah dengan melihat kawasan tempat Anda tinggal seperti di perdesaan dan kawasan perkotaan yang hampir 100 persen sama dengan kondisi saat konflik dahulu. Tidak ada infrastruktur publik berarti yang telah dibangun kecuali bangunan-bangunan yang prioritas utamanya adalah pendulangan keuntungan bagi industri-industri raksasa cita rasa impor yang berdampak pada tidak tumbuhnya produksi dan pemasaran lokal. Tidak ada sekolah-sekolah unggul dan perpustakaan dengan koleksi jutaan buku-buku untuk segala umur binaan swasta dan pemerintah yang mampu memberikan akses bagi rakyat rakyat Aceh korban konflik dan fakir secara gratis, tanpa dipungut biaya sepeserpun. Tidak ada jembatan-jembatan dan rumah sakit layak dengan tenaga kerja ber-adab dan paham yang diciptakan di pulau-pulau tertinggal dan pelosok-pelosok pedesaan. Tidak ada kerja riil yang ditujukan untuk mengedukasi masyarakat soal sampah yang didampingi dengan pabrik dan teknologi mekanisme hygienis seperti di negara-negara maju yang lain itu. Tidak ada pembinaan-pembinaan pemuda/i gampong lewat kegiatan-kegiatan pengasahaan bakat berpikir kritis dan bertanding fisik secara terorganisir. Bukankah ini semua poin yang dijanjikan sewaktu kampanye? Jadi mengapa tidak terealisasikan?. Barangkali Jawabannya hanya satu. KORUPSI.
Kedua kelemahan di atas juga merupakan kunci bagi pintu ketidakadilan penegakkan hukum sekuler dan syariah di Aceh. Kedua model hukum ini, sebagai dampaknya, menjatuhkan label ‘Bbrsalah’ dan ‘terhukum’ hanya pada rakyat kecil. Sebaliknya, label kebebasan dan kemerdekaan adalah milik mereka yang ber-uang, ber-jabatan, ber-koneksian, dan ber-sekolah tinggi. ‘Ureung Hayeu lah istilah jih’, begitu singkatnya dalam bahasa Aceh.
17 Agustus adalah hari perayaan kemerdekaan kita. Namun pahitnya sama seperti masa konflik dulu?!.
Telah terbit sebelumnya di: https://www.acehtrend.com/2018/08/18/13-73-catatan-konflik-seorang-santri-misbahul-ulum/

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―