Ada banyak sumber yang mengulas tentang Kesultanan Aceh abad ke
16 dan 17. Kebanyakan sumber tersebut berasal dari catatan pendatang dari
Portugis, Cina dan Timur Tengah. Safina’I Sulaiman merupakan
salah satu rekaman otentik yang juga menyebut tentang kesultanan Aceh pada
paruh akhir abad ke-17. Manuskrip yang ditulis dalam bahasa Persia ini adalah
catatan laporan kunjungan utusan kerajaan Safawid yang berada di bawah kekuasaan
Shah Sulaiman (1666-1694) ke Siam. Delegasi tersebut berangkat dari Bandar
Abbas di Teluk Persia pada tanggal 27 Juni 1685 dan kembali pada tahun 1688.
16 dan 17. Kebanyakan sumber tersebut berasal dari catatan pendatang dari
Portugis, Cina dan Timur Tengah. Safina’I Sulaiman merupakan
salah satu rekaman otentik yang juga menyebut tentang kesultanan Aceh pada
paruh akhir abad ke-17. Manuskrip yang ditulis dalam bahasa Persia ini adalah
catatan laporan kunjungan utusan kerajaan Safawid yang berada di bawah kekuasaan
Shah Sulaiman (1666-1694) ke Siam. Delegasi tersebut berangkat dari Bandar
Abbas di Teluk Persia pada tanggal 27 Juni 1685 dan kembali pada tahun 1688.
Penulisnya, Muhammad Rabi’ Ibn Muhammad Ibrahim adalah seorang
Persia yang berperan sebagai sekretaris. Ia menemani utusan tersebut sepanjang
tahun ke Siam yang saat itu berada dibawah kekuasaan Raja Phra Narai, seorang
pemimpin yang dikenal sebagai pembaharu. Peningkatan peran Persia dalam
hubungan dagang dan politik di Siam menjadi alasan kelanjutan diplomasi antar
kerajaan ini. Bahkan, Siam memberikan sebuah wilayah untuk didiami oleh
orang-orang dari Persia. Dalam perjalanan ke Siam inilah, para utusan tersebut
melewati kawasan Aceh dan merekamnya sebagai bagian laporan kerajaan Safawid.
Persia yang berperan sebagai sekretaris. Ia menemani utusan tersebut sepanjang
tahun ke Siam yang saat itu berada dibawah kekuasaan Raja Phra Narai, seorang
pemimpin yang dikenal sebagai pembaharu. Peningkatan peran Persia dalam
hubungan dagang dan politik di Siam menjadi alasan kelanjutan diplomasi antar
kerajaan ini. Bahkan, Siam memberikan sebuah wilayah untuk didiami oleh
orang-orang dari Persia. Dalam perjalanan ke Siam inilah, para utusan tersebut
melewati kawasan Aceh dan merekamnya sebagai bagian laporan kerajaan Safawid.
Manuskrip ini tidak hanya menjadi salah satu sumber utama
sejarah Siam pada abad ke 17, tapi juga beberapa daerah lainnya, termasuk
Negara-negara Timur Jauh seperti China, Jepang, Filipina, India, Ceylon, dan
Aceh. Sejauh pengamatan saya, sedikit akademisi yang memakai manuskrip ini
untuk membicarakan konteks Aceh. Oleh karena itu, saya kira penting bagi
pembaca dikampung halaman untuk mengetahui isi dari catatan otentik ini secara
langsung.
sejarah Siam pada abad ke 17, tapi juga beberapa daerah lainnya, termasuk
Negara-negara Timur Jauh seperti China, Jepang, Filipina, India, Ceylon, dan
Aceh. Sejauh pengamatan saya, sedikit akademisi yang memakai manuskrip ini
untuk membicarakan konteks Aceh. Oleh karena itu, saya kira penting bagi
pembaca dikampung halaman untuk mengetahui isi dari catatan otentik ini secara
langsung.
Manuskrip yang hingga saat ini tersimpan di museum Inggris ini
baru berhasil diterjemahkan oleh John O’ Kane pada tahun 1972 yang kemudian
diterbitkan dengan judul the Ship of Sulaiman (Perahu
Sulaiman). Disusul oleh publikasi hasil kajian oleh Jean Aubien dengan judul Les
Persans au Siam Sous Le Rêgne de Narai (Sejarah Siam dibawah pemerintahan
Raja Narai) pada tahun 1980. Tidak hanya bahasa Persia lama yang menjadi
tantangan bagi keduanya, gaya kepenulisan Ibn Muhammad Ibrahim yang dipenuhi
dengan imajinasi, metafora, dan prosa-prosa beritme juga menjadi persoalan
lainnya yang membutuhkan konsultasi mendalam dalam masa penelitian.
baru berhasil diterjemahkan oleh John O’ Kane pada tahun 1972 yang kemudian
diterbitkan dengan judul the Ship of Sulaiman (Perahu
Sulaiman). Disusul oleh publikasi hasil kajian oleh Jean Aubien dengan judul Les
Persans au Siam Sous Le Rêgne de Narai (Sejarah Siam dibawah pemerintahan
Raja Narai) pada tahun 1980. Tidak hanya bahasa Persia lama yang menjadi
tantangan bagi keduanya, gaya kepenulisan Ibn Muhammad Ibrahim yang dipenuhi
dengan imajinasi, metafora, dan prosa-prosa beritme juga menjadi persoalan
lainnya yang membutuhkan konsultasi mendalam dalam masa penelitian.
Muhammad Rabi Ibn Muhammad Ibrahim memasukkan pembahasan tentang
Aceh di bagian terakhir yang ia beri judul, Permata ke-empat. Berkali-kali ia
menyebut Aceh sebagai bagian dari negeri di bawah Angin. Dalam catatan yang
hanya beberapa halaman ini, ia menyentuh keindahan alam Aceh, pemerintahannya,
kekayaan emas dan pertambangannya, hukum-hukum yang dijalankan, perdagangan
dengan pihak asing, etika penduduk lokal, perbudakan, perairan, dan terakhir,
hubungan ofensif antara pihak Eropa Kristen dengan Aceh yang disuguhkan dalam
bentuk anekdot. Dalam artikel pendek ini, saya hanya akan menguraikan beberapa
topik saja untuk memberikan gambaran kosmopolitanisme Aceh yang terekam dalam
laporan Kerajaan Safawid ini.
Aceh di bagian terakhir yang ia beri judul, Permata ke-empat. Berkali-kali ia
menyebut Aceh sebagai bagian dari negeri di bawah Angin. Dalam catatan yang
hanya beberapa halaman ini, ia menyentuh keindahan alam Aceh, pemerintahannya,
kekayaan emas dan pertambangannya, hukum-hukum yang dijalankan, perdagangan
dengan pihak asing, etika penduduk lokal, perbudakan, perairan, dan terakhir,
hubungan ofensif antara pihak Eropa Kristen dengan Aceh yang disuguhkan dalam
bentuk anekdot. Dalam artikel pendek ini, saya hanya akan menguraikan beberapa
topik saja untuk memberikan gambaran kosmopolitanisme Aceh yang terekam dalam
laporan Kerajaan Safawid ini.
Taman Iram
Ibn Muhammad Ibrahim mencatat waktu yang diperlukan untuk
berlayar dari Ceylon ke Aceh adalah 5 atau 6 hari jika anginnya baik. Ia
mengagumi kehijauan dan kekayaan alam Aceh yang selalu berada dalam musim semi
dan dipenuhi dengan segala jenis buah-buahan, hijau pepohonan, sungai-sungai
yang senantiasa mengalir, dan pemandangan gunung-gunung yang damai. Ia
menyamakan kecantikan alam ini dengan taman Iram, taman rancangan Shaddad Ibn
‘Ad yang mengemulasikan taman surga. Ia juga menulis bahwa setiap sudut
memiliki pemimpin atau gubernur yang berbeda. Semua penguasa lokal
berpenghasilan secara independen dan tidak membayar tribut apapun kepada
otoritas yang lebih tinggi manapun, akan tetapi kondisi politik pemerintahan
Aceh saat itu berada dalam konflik perebutan kekuasaan, dimana pertumpahan
darah seringkali tak terhindari. Ia menambahkan, Sultan perempuan yang sedang
berkuasa pada dasarnya dikendalikan oleh para penasehatnya.
berlayar dari Ceylon ke Aceh adalah 5 atau 6 hari jika anginnya baik. Ia
mengagumi kehijauan dan kekayaan alam Aceh yang selalu berada dalam musim semi
dan dipenuhi dengan segala jenis buah-buahan, hijau pepohonan, sungai-sungai
yang senantiasa mengalir, dan pemandangan gunung-gunung yang damai. Ia
menyamakan kecantikan alam ini dengan taman Iram, taman rancangan Shaddad Ibn
‘Ad yang mengemulasikan taman surga. Ia juga menulis bahwa setiap sudut
memiliki pemimpin atau gubernur yang berbeda. Semua penguasa lokal
berpenghasilan secara independen dan tidak membayar tribut apapun kepada
otoritas yang lebih tinggi manapun, akan tetapi kondisi politik pemerintahan
Aceh saat itu berada dalam konflik perebutan kekuasaan, dimana pertumpahan
darah seringkali tak terhindari. Ia menambahkan, Sultan perempuan yang sedang
berkuasa pada dasarnya dikendalikan oleh para penasehatnya.
Mendulang Emas
Beberapa paragraf menguraikan tentang kekayaan emas yang
dimiliki Aceh dan bagaimana ketentuan kesultanan terhadap pajak emas yang
dikenakan kepada pemburunya. Yang pertama, bagi emas yang ditemukan di
sepanjang tepi sungai disekitaran kota, yang kebanyakannya berbentuk biji
kacang, akan dikenakan pajak satu per sepuluh. Satu artinya masuk ke
perbendaharaan Sultan sedangkan sembilannya lainnya menjadi hak mereka yang
menemukannya. Yang kedua, bagi emas-emas yang ditemukan dikawasan pedalaman
atau pegunungan dibebaskan dari pajak apapun. Untuk kategori kedua ini,
biasanya sekelompok masyarakat dengan seorang pimpinan memilih secara
independen untuk memasuki hutan-hutan lebat dan pegunungan untuk menuai
emas-emas dari sana dan mereka berhak menjualnya atau menuainya dengan bebas.
Namun usaha untuk mencapai pegunungan tersebut terkenal berbahaya. Sebagian
kelompok tercatat tidak berhasil kembali dengan selamat. Yang Ketiga, terdapat
sungai-sungai induk yang melahirkan emas-emas dengan ukuran besar. Biasanya
emas tersebut menyatu dengan batu. Dikarenakan ukurannya yang besar, kesultanan
menyewakan panci-panci pendulang emas. Oleh karena itu, biaya yang
dikenakanlebih tinggi, yaitu 10 bahar, sama nilainya dengan 350 pekerja lelaki
kerajaan.
dimiliki Aceh dan bagaimana ketentuan kesultanan terhadap pajak emas yang
dikenakan kepada pemburunya. Yang pertama, bagi emas yang ditemukan di
sepanjang tepi sungai disekitaran kota, yang kebanyakannya berbentuk biji
kacang, akan dikenakan pajak satu per sepuluh. Satu artinya masuk ke
perbendaharaan Sultan sedangkan sembilannya lainnya menjadi hak mereka yang
menemukannya. Yang kedua, bagi emas-emas yang ditemukan dikawasan pedalaman
atau pegunungan dibebaskan dari pajak apapun. Untuk kategori kedua ini,
biasanya sekelompok masyarakat dengan seorang pimpinan memilih secara
independen untuk memasuki hutan-hutan lebat dan pegunungan untuk menuai
emas-emas dari sana dan mereka berhak menjualnya atau menuainya dengan bebas.
Namun usaha untuk mencapai pegunungan tersebut terkenal berbahaya. Sebagian
kelompok tercatat tidak berhasil kembali dengan selamat. Yang Ketiga, terdapat
sungai-sungai induk yang melahirkan emas-emas dengan ukuran besar. Biasanya
emas tersebut menyatu dengan batu. Dikarenakan ukurannya yang besar, kesultanan
menyewakan panci-panci pendulang emas. Oleh karena itu, biaya yang
dikenakanlebih tinggi, yaitu 10 bahar, sama nilainya dengan 350 pekerja lelaki
kerajaan.
Tidak lupa, Ibn Muhammad Ibrahim juga menyebutkan kelebihan emas
di Aceh. Kualitasnya yang lebih murni dari kawasan lain di negeri bawah angin
menjadikannya incaran dari seluruh pelosok negeri. Sebab itu, sumber
pencaharian utama masyarakat Aceh bukan bertani tapi mendulang emas. Beras dan
makanan yang dihasilkan dari pertanian lainnya dibawa dari India atau kawasan
lain di Asia Tenggara. Produk penghasilan utama lainnya di Aceh adalah timah,
kayu gaharu, kayu sappan, kamphor, besi, dan gajah.
di Aceh. Kualitasnya yang lebih murni dari kawasan lain di negeri bawah angin
menjadikannya incaran dari seluruh pelosok negeri. Sebab itu, sumber
pencaharian utama masyarakat Aceh bukan bertani tapi mendulang emas. Beras dan
makanan yang dihasilkan dari pertanian lainnya dibawa dari India atau kawasan
lain di Asia Tenggara. Produk penghasilan utama lainnya di Aceh adalah timah,
kayu gaharu, kayu sappan, kamphor, besi, dan gajah.
Menariknya, ketika berbicara tentang emas, pengarang menyebutkan
sebuah kebiasaan alam di Aceh yang barangkali masih terjadi hingga hari ini.
Catatan ini menjelaskan bahwa ketika masa banjir selesai, masyarakat Aceh
terbiasa keluar rumah dan menampi pasir-pasir disekitaran pesisir dan sungai
karena sejumlah besar emas menguap ke permukaan tanah. Hari ini, sebagaimana
yang pernah saya saksikan di kawasan Samudra Pasai, tepatnya di Geudong Aceh
Utara, setelah hujan reda dan air surut, koin-koin emas kerajaan Samudra Pasai
naik ke permukaan tanah, disusul dengan pencaharian-pencaharian oleh masyarakat
sekitar.
sebuah kebiasaan alam di Aceh yang barangkali masih terjadi hingga hari ini.
Catatan ini menjelaskan bahwa ketika masa banjir selesai, masyarakat Aceh
terbiasa keluar rumah dan menampi pasir-pasir disekitaran pesisir dan sungai
karena sejumlah besar emas menguap ke permukaan tanah. Hari ini, sebagaimana
yang pernah saya saksikan di kawasan Samudra Pasai, tepatnya di Geudong Aceh
Utara, setelah hujan reda dan air surut, koin-koin emas kerajaan Samudra Pasai
naik ke permukaan tanah, disusul dengan pencaharian-pencaharian oleh masyarakat
sekitar.
Hukum dan status Sosial
Selain mencatat sumber mata pencaharian rakyat Aceh, Sang
sekretaris kerajaan Safawid ini juga merekam penerapan hukum di Aceh. Terdapat
rekaman bahwa Aceh mengimplementasikan hukum potong tangan dan kaki bagi para
pencuri. Aceh juga menerapkan hukuman mati. Pada tahun-tahun tersebut,
kosmopolitanisme Aceh dan aplikasi hukum Islam ternyata tidak mengurangi
angka-angka pencurian yang terjadi terhadap pedagang-pedagang asing. Kelemahan
kepemimpinan diperkirakan menjadi salah satu sebab. Sedangkan kondisi
pemberlakuan hukuman mati saat itu tidak dijelaskan lebih lanjut, kecuali
mekanismenya dimana Sultan memberikan pisau belati kepada seorang kasim yang
kemudian menunjukkannya kepada narapidana yang akan dibunuh oleh si kasim
tersebut.
sekretaris kerajaan Safawid ini juga merekam penerapan hukum di Aceh. Terdapat
rekaman bahwa Aceh mengimplementasikan hukum potong tangan dan kaki bagi para
pencuri. Aceh juga menerapkan hukuman mati. Pada tahun-tahun tersebut,
kosmopolitanisme Aceh dan aplikasi hukum Islam ternyata tidak mengurangi
angka-angka pencurian yang terjadi terhadap pedagang-pedagang asing. Kelemahan
kepemimpinan diperkirakan menjadi salah satu sebab. Sedangkan kondisi
pemberlakuan hukuman mati saat itu tidak dijelaskan lebih lanjut, kecuali
mekanismenya dimana Sultan memberikan pisau belati kepada seorang kasim yang
kemudian menunjukkannya kepada narapidana yang akan dibunuh oleh si kasim
tersebut.
Informasi penting lainnya adalah Aceh pada abad itu sudah
merupakan pengikut mazhab Syafi’i. Jika catatan ini benar maka, ia menjadi
sumber baru yang menolak argumentasi akademisi-akademisi yang mempercayai
mazhab Syafi’i baru menguat di Indonesia pada tahun-tahun akhir abad ke-19.
merupakan pengikut mazhab Syafi’i. Jika catatan ini benar maka, ia menjadi
sumber baru yang menolak argumentasi akademisi-akademisi yang mempercayai
mazhab Syafi’i baru menguat di Indonesia pada tahun-tahun akhir abad ke-19.
Dalam penjelasan mengenai ranking sosial, sang penulis mengambil
contoh pada kepemilikan rencong atau pedang dalam masyarakat Aceh. Dikatakan
bahwa kepemilikan rencong yang terbuat dari emas tidak menunjukkan bahwa posisinya
lebih tinggi. Sebaliknya, mereka yang memiliki rencong yang terbuat dari
campuran antara emas dan savasa (perak) adalah mereka yang posisinya sepenting
Perdana Menteri. Ini menunjukkan bahwa kesultanan Aceh memprioritaskan gaya
hidup sederhana dikalangan penguasa kerajaan.
contoh pada kepemilikan rencong atau pedang dalam masyarakat Aceh. Dikatakan
bahwa kepemilikan rencong yang terbuat dari emas tidak menunjukkan bahwa posisinya
lebih tinggi. Sebaliknya, mereka yang memiliki rencong yang terbuat dari
campuran antara emas dan savasa (perak) adalah mereka yang posisinya sepenting
Perdana Menteri. Ini menunjukkan bahwa kesultanan Aceh memprioritaskan gaya
hidup sederhana dikalangan penguasa kerajaan.
Setiap negeri kosmopolit mengandalkan buruh-buruh atau budak
yang dipekerjakan untuk pencapaian maksimum baik dalam soal perdagangan atau
politik. Begitu juga Kesultanan Aceh, sebagaimana tercatat disini, bahwa setiap
rakyat dan penguasa di Aceh memiliki angka budak yang cukup tinggi. Semakin
banyak angkanya semakin tinggi status sosial seiring dengan meningkatnya
pendapatan. Mereka juga diizinkan menyewakan tenaganya yang kemudian setengah
daripada upahnya ia serahkan pada majikannya. Lebih lanjut lagi diterangkan,
budak-budak yang terdapat di Aceh berasal dari berbagai suku dan bangsa.
yang dipekerjakan untuk pencapaian maksimum baik dalam soal perdagangan atau
politik. Begitu juga Kesultanan Aceh, sebagaimana tercatat disini, bahwa setiap
rakyat dan penguasa di Aceh memiliki angka budak yang cukup tinggi. Semakin
banyak angkanya semakin tinggi status sosial seiring dengan meningkatnya
pendapatan. Mereka juga diizinkan menyewakan tenaganya yang kemudian setengah
daripada upahnya ia serahkan pada majikannya. Lebih lanjut lagi diterangkan,
budak-budak yang terdapat di Aceh berasal dari berbagai suku dan bangsa.
Kelemahan Deskripsi
Semua keterangan-keterangan yang dituliskan oleh Muhammad Rabi
Ibn Ibrahim diatas tidak dapat dijadikan satu-satunya rujukan untuk menjelaskan
kondisi sosial dan politik di Aceh pada masa kepemimpinan Sultanah Kamalatsyah
tersebut. Apalagi mengingat kelemahan uraian tentang Aceh dalam manuskrip ini
terletak pada kenyataan, sebagaimana yang pengarang sebutkan, bahwa utusan
tersebut tidak singgah atau bermalam di Aceh tapi hanya melewati kawasan ini
saja. Artinya, kemungkinan informasi-informasi tersebut mereka dengar
selama kunjungan ke Siam dari lidah-lidah yang pernah mengunjungi Aceh atau
mendengar dari pihak lainnya lagi. Ini bisa dibuktikan dengan misalnya, Ibn
Muhammad Ibrahim menggunakan kata ‘Barkan’ untuk menjelaskan posisi Perdana
Menteri di Aceh. Kata yang tidak ditemui dalam kosa kata bahasa kesultanan
Aceh. Sebaliknya, ‘Barkan’, adalah kata yang digunakan masyarakat Siam, yang
artinya Perdana Menteri.
Ibn Ibrahim diatas tidak dapat dijadikan satu-satunya rujukan untuk menjelaskan
kondisi sosial dan politik di Aceh pada masa kepemimpinan Sultanah Kamalatsyah
tersebut. Apalagi mengingat kelemahan uraian tentang Aceh dalam manuskrip ini
terletak pada kenyataan, sebagaimana yang pengarang sebutkan, bahwa utusan
tersebut tidak singgah atau bermalam di Aceh tapi hanya melewati kawasan ini
saja. Artinya, kemungkinan informasi-informasi tersebut mereka dengar
selama kunjungan ke Siam dari lidah-lidah yang pernah mengunjungi Aceh atau
mendengar dari pihak lainnya lagi. Ini bisa dibuktikan dengan misalnya, Ibn
Muhammad Ibrahim menggunakan kata ‘Barkan’ untuk menjelaskan posisi Perdana
Menteri di Aceh. Kata yang tidak ditemui dalam kosa kata bahasa kesultanan
Aceh. Sebaliknya, ‘Barkan’, adalah kata yang digunakan masyarakat Siam, yang
artinya Perdana Menteri.
Meskipun begitu, sumber ini patut mendapatkan perhatian lebih
lanjut mengingat ada beberapa keterangan yang masih belum terpecahkan.
Misalnya, pengarang menyebutkan dua tokoh bernama Saiful Muluk dan Badiul
Jamal, figur lelaki dan perempuan yang terekam dalam cerita seribu satu
malam, yang disebut-sebut tinggal di kawasan Aceh dan memiliki istana
yang masih terlihat hingga saat itu, tokoh yang masih kabur dalam sepanjang
sejarah Aceh sebelum abad ke-17. Atau pertanyaan tentang mengapa utusan ini
tidak singgah di Aceh, apakah karena mereka mengetahui bahwa masyarakat Aceh
adalah penganut Sunni sekaligus menyadari catatan aliansi dengn Turki Usmani?
Dan pertanyaan-pertanyaan senada lainnya. Kelanjutan kajian terhadap teks seperti
ini penting tidak hanya untuk menutupi celah celah yang belum terjawab dalam
sejarah tapi juga untuk menambah kekayaan deskripsi akan gelut kesultanan Aceh
terhadap bangsa dengan keyakinan yang berbeda. (Pukat/16/11/2014)
lanjut mengingat ada beberapa keterangan yang masih belum terpecahkan.
Misalnya, pengarang menyebutkan dua tokoh bernama Saiful Muluk dan Badiul
Jamal, figur lelaki dan perempuan yang terekam dalam cerita seribu satu
malam, yang disebut-sebut tinggal di kawasan Aceh dan memiliki istana
yang masih terlihat hingga saat itu, tokoh yang masih kabur dalam sepanjang
sejarah Aceh sebelum abad ke-17. Atau pertanyaan tentang mengapa utusan ini
tidak singgah di Aceh, apakah karena mereka mengetahui bahwa masyarakat Aceh
adalah penganut Sunni sekaligus menyadari catatan aliansi dengn Turki Usmani?
Dan pertanyaan-pertanyaan senada lainnya. Kelanjutan kajian terhadap teks seperti
ini penting tidak hanya untuk menutupi celah celah yang belum terjawab dalam
sejarah tapi juga untuk menambah kekayaan deskripsi akan gelut kesultanan Aceh
terhadap bangsa dengan keyakinan yang berbeda. (Pukat/16/11/2014)