Diskursif Stereotip dalam Palestine Daily Herald 1904

Perang antara Aceh dan Belanda punya tempat khusus dalam koran-koran dunia pada zamannya. Antara tahun 1870-1930, terdapat banyak sekali ekstrak laporan koran dari Hindia Timur dan Kependudukan Selat yang merantai keseluruh dunia. Laporan-laporan ini bisa jadi ditulis berdasarkan amatan langsung jurnalis atau mata-mata di Aceh, khabar-khabar mulut dari pasar pelabuhan Asia Tenggara, laporan pemerintah kolonial, surat-menyurat, dan diari personel yang terkait dengan perang.

Sebagai sejarawan, analisa pada koran masa kolonial termasuk sulit dalam menjamin krediblitas kebenaran informasinya. Meskipun begitu kajian seputar koran penting dilakukan untuk bisa memetakan dan menelaah dasar pengetahuan-pengetahuan identitas yang terus hidup dalam memori berbagai generasi setelahnya hingga kini.

Saya ingin berbagi satu korespondensi surat kabar tentang Aceh yang terbit dalam koran Palestine Daily Herald ( Berita Harian Palestina) tahun 1904. Barangkali, membaca nama Palestina sebagai judul koran tahun 1904 mengingatkan pada persoalan penyangkalan keberadaan sah negeri ini dalam map Israel sebelum tahun 1948. Ini tentu saja topik lain.  

Menurut website digital Library of Congress, koran Palestine
Daily Herald (PDH) adalah Koran berbahasa Inggris yang diterbitkan secara
harian oleh William.M. dan H.V. Hamilton Jr. antara tahun 1901-1949 di
Palestina dan Texas-Amerika. Koran ini terbilang terkemuka disebabkan oleh
jumlah pelanggannya yang mencapai 1,200 orang pada tahun 1910. Dikatakan bahwa
karakter informasi dalam Koran ini bersifat pemberitaan, informasi umum dan
cerita-cerita lokal dengan materi nasional dan internasional. Koran ini adalah ‘koran
serius’ yang punya target dan tujuan penaikan literasi masyarakat lokal Texas
Amerika dan Palestina, meskipun bisa juga menjangkau lebih jauh.  
 

Bagi Anda yang familiar dengan perang kolonial Indonesia ini,
barangkali anda juga tahu bahwa berita perang antara Belanda dan Aceh menarik
banyak perhatian menimbang antara durasi tahun diatas, terdapat jumlah headline
yang lumayan besar. Intensitasnya meningkat sejak kesultanan Aceh yang diketahui
lemah dalam segi peralatan perang dan kepemimpinan politik, memukul mundur
pasukan bersenjata mutakhir Belanda dalam ekspedisinya yang pertama tahun 1873.
Peristiwa-peristiwa dari Aceh terus bergulir dalam laporan-laporan koran di
semenanjung dan benua dunia. Sebagaimana mengejutkannya peristiwa tahun 1873,
tahun 1903 adalah tahun-tahun yang tak kalah penting dalam sejarah Hindia
Timur. Saat itu Sultan Muhammad Daud Syah bersama penasehat kuncinya baru menyerah
pada Belanda – setelah30 tahun perang-, ketika dua orang istri dan putra
mahkotanya disandera (Alfian, 1987). Jadi tidak mengherankan jika khabar ini pun
sempat menghiasi berita harian Palestine Daily Herald pada tahun 1904.

Bertajuk ‘30 years of Savage Warfare: a Special Correspondence’
yang menempati dua kolom tengah halaman 5, Palestine Daily Herald menyampaikan
tidak hanya sekedar khabar bahwa perang telah usai. Tapi juga pengungkapan ‘kegembiraan’
meskipun dalam bungkusan ‘netral dan berbagi penegtahuan’ seputar kemenangan
Belanda.

Dimulai dengan paragraf pembuka yang mengabari bahwa perang
paling kejam telah usai, Belanda dikiaskan sebagai anjing bulldog,
sedangkan Aceh sebagai harimau kumbang yang kalah melawan terkaman.

Berdasarkan khabar dari koran lain di Brussel, kronologi
usainya perang dipaparkan. Mulai dari panglima Polem, Raja Keumala dan
pengikutnya yang menyerah, bendera ‘Muhammad’ yang berganti dengan bendera
Belanda, hingga kerugian 100 juta dollar dalam masa 30 tahun yang tidak
sebanding.

Juga tak lupa, paparan seputar asal mula hubungan Aceh dan
Belanda hingga penaklukkan kawasan lain di Indonesia seperti Sumatra, Jawa,
Celebes dan Borneo.

 

Terlihat Netral tapi Tidak 

Dipersembahkan secara lebih baik dari terbitan koran-koran 30
tahun sebelumnya, masih terdapat kesan bersembunyi di balik nada netral
meskipun pendapat-pendapat dari setiap pihak sudah dikedepankan. Namun nada pemberitaan
tersebut masih belum cukup sensitif agama dan ras yang terlihat sebagai hasil
dari informasi-informasi tidak akurat soal Aceh. Yah, ini tentu terkait dengan
kealamiahan latar belakang pemilik koran dan pembacanya kala itu.
 

Kekurangan itu bisa dilihat misalnya dari kontrasnya perbedaan
antara fakta dan pengakuan. Dituliskan bahwa kekuatan kesultanan Aceh
dilengkapi 200 kapal, bala tentara yang siaga, tenaga ahli, istana berlapis
perhiasan, metal, dan harem berbudakkan selir-selir cantik. Penulis juga
mengerti bahwa Aceh tak pernah mengakui Belanda, meskipun penguasa lainnya
bersekutu dengan orang kulit putih, Aceh bertahan di Kraton dan bertempur dengan
Belanda dan kafir lainnya. Narasi tersebut dilanjutkan dengan perkembangan tahun
1871, bahwa betapa imej Belanda dihadapan Aceh semakin tidak mengesankan yang
mengakibatkan Sultan Aceh fokus pada perlengkapan senjata yang layak, dengan
rempah, lada dan kopi dikirim ke Inggris ke Singapora dan Jawa untuk diperdagangkan.
Ratusan kapal memuat senjata ke Aceh, dengan kopi dan rempah sebagai barter
yang masuk ke selat Melaka.

Uraian berkesan empati diatas, meskipun dituliskan tahun
1904, bisa dipastikan sebagai fakta setelah membandingkan dengan literatur-literatur
akademik yang sudah dilakukan saat ini. Meskipun begitu, narasi diatas itu
terlihat terpelintir ketika membaca bahwa penulis PDH berkeyakinan bahwa orang
Aceh berperang semata2 karena agama, bersenjata baik dan murka disebabkan
pengaruh mengunyah hasheeh (ganja), opium, dan mendengarkan mullah
(sufi) yang fanatiknya sampai kejang-kejang seperti epilepsi. 

Segi lainnya adalah PDH mengakui bahwa Belanda membeli,
menyuap, memerangi uleebalang dan membujuk penguasa-penguasa kecil yang
berperngaruh demi memperluas ekspansi territorial jajahannya. Bahwa Belanda
juga megalami kerugian hebat sebanyak 100 juta dollar dalam 30 tahun perang,
hanya untuk kemudian menenangkan bahwa kerugian itu tak perlu disesali karena
akan tergantikan dengan ‘hadiah’ keuntungan kolonial dari sumber kekayaan alam
Aceh seperti emas, kopi, rempah, dan tembakau  yang terkenal terbaik didunia. Dua paragraf didedikasikan
untuk menggambarkan kekayaan alam Aceh sebagai daya tarik kolonial penuh
keuntungan.

Bias dan Rasis

Ciri khas benak orang kulit putih awal abad ke 20 itu adalah absolutisme
dalam berpendapat soal bangsa lain yang barangkali tanpa disadari kerap rasis
dan bias. Pendapat-pendapat seperti ini bertahan, diulang-ulang dlam berbagai
rantai media di dunia hingga kemudian diterima sebagai bagian Identitas sebuah
komunitas atau ethnik yang dikutip dan dikembangkan terus menerus dalam dunia academia
hingga kini.

Dalam pemberitaan PDH, Perang antara Belanda dan Aceh adalah
perang paling brutal yang tidak hanya melibatkan pembunuhan massal tapi juga
pemerkosaan dan kanibalisme. Disamping itu terdapat juga sematan-sematan Aceh
jahat, anjing kampung, pecandu opium, poligami, jual beli istri, dan beragama
hanya demi perang adalah deskripsi-deskripsi rasis dan bias yang perlu disadari
masih terus diulang-ulang terutama oleh kelompok Islamophobik dan rasis saat
ini.

Pernyataan lain yang sangat diragukan keakuratannya adalah
bahwa orang Batak adalah orang penduduk terawal yang hidup dengan cara kanibal.

Lihatlah dua foto yang tercantum dalam koran ini. Foto
tersebut diklaim sebagai orang Aceh. Dengan gaya rumah, berpakaian, dan postur
tubuh, foto-foto ini bisa dipastikan keliru dan sembrono.

Begitulah khabar dari kawasan Sumatra disampaikan pada
pembaca-pembaca di Amerika dan Palestina yang lugu dan tidak tahu menahu soal
orang-orang jauh di Timur. Proyeksi dan imajinasi pemberitaan seperti ini tidak
hanya soal Sumatra tapi juga negara-negara lainnya di Asia dan Afrika, setidaknya
memuncak sejak normalisasi percetakan masal dari pertengahan abad ke-19 hingga
pertengahan kedua abad ke-20. Oleh Karena itu, penting bagi kita untuk saling
mengenal. Saatnya kita lebih bijak menelaah asal-usul bayangan dan prasangka
negatif dalam benak soal pemeluk suku dan agama lain dinegeri ini. Semoga
keharmonisan antar sesama bisa terus dirajut dan dirawat sepanjang masa.

https://portalsatu.com/aceh-dalam-palestine-daily-herald-1904/

  

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―