Ketika membaca judul artikel ini, adalah biasa jika ada tanggapan
sinis, olokkan, bahkan ketidaknyamanan yang muncul dalam benak para pembaca.
Sebelum memulai inti uraian disini, saya ingin mengingatkan bahwa artikel ini
tidak ditulis untuk menyinggung keyakinan dan aplikasi ibadah suatu kelompok
melainkan lebih pada upaya untuk membandingkan tingkat ‘umran’ antara masyakarat
Turki dan Aceh. Diharapkan untuk bisa membuka kembali gulatan pikiran terhadap
realita masyarakat sosial sehingga dapat melahirkan paradigma baru yang akan
mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan hewan ke
depan.
sinis, olokkan, bahkan ketidaknyamanan yang muncul dalam benak para pembaca.
Sebelum memulai inti uraian disini, saya ingin mengingatkan bahwa artikel ini
tidak ditulis untuk menyinggung keyakinan dan aplikasi ibadah suatu kelompok
melainkan lebih pada upaya untuk membandingkan tingkat ‘umran’ antara masyakarat
Turki dan Aceh. Diharapkan untuk bisa membuka kembali gulatan pikiran terhadap
realita masyarakat sosial sehingga dapat melahirkan paradigma baru yang akan
mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap kesejahteraan hewan ke
depan.
Barangkali Anda bertanya mengapa hanya anjing yang menjadi sorotan
dalam artikel ini. Ini dikarenakan stigma yang melekat pada anjing dan
hubungannya dengan masyarakat pemeluk mazhab syafi’I ini berada pada level
lebih buruk dibandingkan dengan hewan lain. Fatal, terutama jika ia melibatkan sentuhan
dengan Muslim Aceh. Dan perlu diperhatikan juga, artikel ini tidak bermaksud memberikan
lebih banyak penerangan terhadap hadist-hadist dan ayat-ayat seputar muslim dan
anjing yang sudah begitu jelas itu. Apa
yang hendak dipaparkan ini adalah semata mata untuk menyampaikan narasi mengenai
sejauh mana kita sudah berbuat selaku seorang Muslim pada seekor anjing.
dalam artikel ini. Ini dikarenakan stigma yang melekat pada anjing dan
hubungannya dengan masyarakat pemeluk mazhab syafi’I ini berada pada level
lebih buruk dibandingkan dengan hewan lain. Fatal, terutama jika ia melibatkan sentuhan
dengan Muslim Aceh. Dan perlu diperhatikan juga, artikel ini tidak bermaksud memberikan
lebih banyak penerangan terhadap hadist-hadist dan ayat-ayat seputar muslim dan
anjing yang sudah begitu jelas itu. Apa
yang hendak dipaparkan ini adalah semata mata untuk menyampaikan narasi mengenai
sejauh mana kita sudah berbuat selaku seorang Muslim pada seekor anjing.
Rendahan, Menjijikkan, Ukuran Murtad
Anjing adalah kata yang secara automatis menyigapkan kebanyakan
orang tidak hanya di Aceh tapi juga di Indonesia. Secara mayoritas, penggunaan
kata anjing hanya sebatas penegasan hasutan, penghinaan dan serangan. Entah
sejak kapan posisi hewan yang pernah terkenal sebagai binatang paling setia ini
menjadi begitu rendah dalam masyarakat kita. Hewan yang bahkan dalam Islam pun
merupakan salah satu paling mulia sebagaimana yang diberitakan dalam ayat-ayat surat
al Kahf.
orang tidak hanya di Aceh tapi juga di Indonesia. Secara mayoritas, penggunaan
kata anjing hanya sebatas penegasan hasutan, penghinaan dan serangan. Entah
sejak kapan posisi hewan yang pernah terkenal sebagai binatang paling setia ini
menjadi begitu rendah dalam masyarakat kita. Hewan yang bahkan dalam Islam pun
merupakan salah satu paling mulia sebagaimana yang diberitakan dalam ayat-ayat surat
al Kahf.
Lebih dari 30 tahun riwayat hidup penulis, hampir tidak ada
kalangan masyarakat yang dekat dengan anjing. Jikapun ada, kebanyakannya hanya
diperuntukkan untuk kegiatan ‘let bui’ (usir babi) yang dijatuhkan pada setiap
hari rabu. Berdasarkan narasi oral generasi-generasi tua yang pernah saya
tanyakan mengenai soal ini menjawab bahwa pada jaman dahulu, barangkali sekitar
tahun 1950an kebawah, beberapa pihak masyarakat diberbagai wilayah di Aceh
mengadopsi anjing terutama pada masa panen. Ini dilakukan untuk menjaga
tanaman-tanaman dari serangan-serangan babi hutan. Satu atau dua orang dalam
satu kampong dipercayakan untuk mengasuh anjing-anjing tersebut sesuai dengan
ajaran-ajaran panutan Mazhab Syafi’i. Di Padang Sakti tempat saya tinggal,
terakhir kali kegiatan ‘let bui’ ini dilakukan pada tahun 1990an.
kalangan masyarakat yang dekat dengan anjing. Jikapun ada, kebanyakannya hanya
diperuntukkan untuk kegiatan ‘let bui’ (usir babi) yang dijatuhkan pada setiap
hari rabu. Berdasarkan narasi oral generasi-generasi tua yang pernah saya
tanyakan mengenai soal ini menjawab bahwa pada jaman dahulu, barangkali sekitar
tahun 1950an kebawah, beberapa pihak masyarakat diberbagai wilayah di Aceh
mengadopsi anjing terutama pada masa panen. Ini dilakukan untuk menjaga
tanaman-tanaman dari serangan-serangan babi hutan. Satu atau dua orang dalam
satu kampong dipercayakan untuk mengasuh anjing-anjing tersebut sesuai dengan
ajaran-ajaran panutan Mazhab Syafi’i. Di Padang Sakti tempat saya tinggal,
terakhir kali kegiatan ‘let bui’ ini dilakukan pada tahun 1990an.
Dalam kondisi lain, seorang teman perempuan yang menetap di kawasan
Jeunib menceritakan pengalamannya dengan seekor anjing. Ayahnya merupakan salah
seorang pawang anjing yang ditunjuk oleh kepala kampong. Sebagaimana layaknya
ikatan dengan hewan peliharaan, teman perempuan tersebut mengakui rasa
sayangnya yang mendalam pada anjing yang kerap bermain dan menyapa dipekarangan
rumahnya sejak ia masih kecil. Anjing tersebut begitu setia yang dalam beberapa
kesempatan menolong keluarganya dari peristiwa pencurian. Tentu tanpa sentuhan
fisik, katanya. Meskipun begitu, ada beberapa masyarakat kampong yang tidak senang.
Keluarganya mendapatkan beberapa ancaman jika tidak membuang anjing tersebut jauh dari perkampungan. Akhirnya anjing itu tewas diracun.
Jeunib menceritakan pengalamannya dengan seekor anjing. Ayahnya merupakan salah
seorang pawang anjing yang ditunjuk oleh kepala kampong. Sebagaimana layaknya
ikatan dengan hewan peliharaan, teman perempuan tersebut mengakui rasa
sayangnya yang mendalam pada anjing yang kerap bermain dan menyapa dipekarangan
rumahnya sejak ia masih kecil. Anjing tersebut begitu setia yang dalam beberapa
kesempatan menolong keluarganya dari peristiwa pencurian. Tentu tanpa sentuhan
fisik, katanya. Meskipun begitu, ada beberapa masyarakat kampong yang tidak senang.
Keluarganya mendapatkan beberapa ancaman jika tidak membuang anjing tersebut jauh dari perkampungan. Akhirnya anjing itu tewas diracun.
Saya tidak bermaksud meletakkan sebuah ‘sifat’ bagi orang Aceh dalam
soal sikap pada anjing. Terlalu berlebihan juga jika ada asumsi yang
mencirikhaskan masyarakat Aceh dengan kekerasan. Lebih dari itu barangkali
merupakan sikap ‘terbatas’ yang mendominasi persepsi dan tingkah laku
masyarakat yang mencerminkan bahwa selama hewan ini tidak menginjakkan kakinya dalam rumah-rumah penduduk dan tidak merugikan ketenangan masyarakat sekitar mereka, hidup binatang ini dapat dijamin aman. Kondisi ‘tidak ambil pusing’ ini pula yang berimbas pada kealpaan stigma ‘menolong’ tidak hanya bagi anjing-anjing
tapi juga kucing-kucing jalanan yang terlantar, sakit, dan kelaparan.
soal sikap pada anjing. Terlalu berlebihan juga jika ada asumsi yang
mencirikhaskan masyarakat Aceh dengan kekerasan. Lebih dari itu barangkali
merupakan sikap ‘terbatas’ yang mendominasi persepsi dan tingkah laku
masyarakat yang mencerminkan bahwa selama hewan ini tidak menginjakkan kakinya dalam rumah-rumah penduduk dan tidak merugikan ketenangan masyarakat sekitar mereka, hidup binatang ini dapat dijamin aman. Kondisi ‘tidak ambil pusing’ ini pula yang berimbas pada kealpaan stigma ‘menolong’ tidak hanya bagi anjing-anjing
tapi juga kucing-kucing jalanan yang terlantar, sakit, dan kelaparan.
Pengabaian ini juga yang menciptakan pseudo-truth yang
kemudian menyebabkan sikap terhadap perbedaan tanggapan menjadi kian buruk.
Misalnya sebagaimana yang terlihat pada tahun 2015 lalu saat seorang
dosen yang pada awalnya hanya disorot pada inisiatif toleransi beragamanya yang disebut sebut tak sensitif
menjadi jauh lebih buruk sejak foto-foto kedekatan ‘luar biasanya’ dengan seekor anjing
mengakibatkan hukuman semakin mudah dijatuhkan padanya. Tidak hanya ia
ditembaki dengan label-label negatif yang barangkali akan melekat dalam ingatan
seluruh keluarganya, tapi juga dengan mudah ancaman-ancaman kematian
menusuknya. Barangkali bagi masyrakat Aceh dan Indonesia posisi pendidik
tersebut perlu disetarakan dengan anjing rendahan yang ia peluk dengan penuh
suka yang kemudian memaksanya mengungsi dari kampung halamannya.
kemudian menyebabkan sikap terhadap perbedaan tanggapan menjadi kian buruk.
Misalnya sebagaimana yang terlihat pada tahun 2015 lalu saat seorang
dosen yang pada awalnya hanya disorot pada inisiatif toleransi beragamanya yang disebut sebut tak sensitif
menjadi jauh lebih buruk sejak foto-foto kedekatan ‘luar biasanya’ dengan seekor anjing
mengakibatkan hukuman semakin mudah dijatuhkan padanya. Tidak hanya ia
ditembaki dengan label-label negatif yang barangkali akan melekat dalam ingatan
seluruh keluarganya, tapi juga dengan mudah ancaman-ancaman kematian
menusuknya. Barangkali bagi masyrakat Aceh dan Indonesia posisi pendidik
tersebut perlu disetarakan dengan anjing rendahan yang ia peluk dengan penuh
suka yang kemudian memaksanya mengungsi dari kampung halamannya.
Anjing tersebut menjadi ukuran murtad tidaknya seseorang, padahal agama
Islam telah jelas mencirikan seorang murtad. Begitu juga dengan seorang
muslimah bercadar yang mengasuh 11 anjing dirumahnya juga bisa diperkirakan
punya hidup sosial yang tidak aman. Tidak perlu lebih jauh lagi bicara soal hak-haknya
yang terdzalimi.
Islam telah jelas mencirikan seorang murtad. Begitu juga dengan seorang
muslimah bercadar yang mengasuh 11 anjing dirumahnya juga bisa diperkirakan
punya hidup sosial yang tidak aman. Tidak perlu lebih jauh lagi bicara soal hak-haknya
yang terdzalimi.
Dalam sejarah masyarakat Indonesia, apalagi Aceh, ada kekurangan
kajian mengenai hubungan manusiawi masyarakat dengan hewan. Sepanjang sejarah Indonesia/Aceh,
hewan hewan selain anjing dan kucing barangkali telah tercatat secara berserakan
dalam berbagai sumber literatur primer dan sekuler. Meskipun begitu, penelitian
ekstensif bisa dikatakan tidak memadai sama sekali. Padahal hewan hewan
seperti gajah, singa, beruang, dan hewan-hewan lainnya telah didokumentasikan
oleh berbagai ahli flora dan fauna kolonial sejak abad ke-19. Barangkali ini
juga menjadi suatu sebab antusiasme terhadap perlindungan hewan tidak
terlakoni. Meskipun begitu, foto foto yang sempat didokumentasikan
menunjukkan bahwa hubungan masyarakat muslim lokal dengan hewan tidak
menunjukkan persepsi rendahan dan tindak kekerasan, termasuk pada anjing.
kajian mengenai hubungan manusiawi masyarakat dengan hewan. Sepanjang sejarah Indonesia/Aceh,
hewan hewan selain anjing dan kucing barangkali telah tercatat secara berserakan
dalam berbagai sumber literatur primer dan sekuler. Meskipun begitu, penelitian
ekstensif bisa dikatakan tidak memadai sama sekali. Padahal hewan hewan
seperti gajah, singa, beruang, dan hewan-hewan lainnya telah didokumentasikan
oleh berbagai ahli flora dan fauna kolonial sejak abad ke-19. Barangkali ini
juga menjadi suatu sebab antusiasme terhadap perlindungan hewan tidak
terlakoni. Meskipun begitu, foto foto yang sempat didokumentasikan
menunjukkan bahwa hubungan masyarakat muslim lokal dengan hewan tidak
menunjukkan persepsi rendahan dan tindak kekerasan, termasuk pada anjing.
Perlakuan Masyarakat Turki pada Anjing
Terlepas dari soal meningkatnya minat dan dukungan masyarakat pada
dunia perpolitikan di Turki, Aceh barangkali juga perlu mencontohi pendekatan-pendekatan
masyarakat dan kebijakan pemerintah Turki pada kesejahteraan hewan termasuk pada
seekor anjing.
dunia perpolitikan di Turki, Aceh barangkali juga perlu mencontohi pendekatan-pendekatan
masyarakat dan kebijakan pemerintah Turki pada kesejahteraan hewan termasuk pada
seekor anjing.
Anjing liar yang berkeliaran di area perkotaan Istanbul berjumlah
150,000 ekor dengan populasi 14 juta manusia. Anjing liar biasanya dengan mudah
dapat diidentifikasi dengan salah satu kupingnya yang tertindik hijau atau
warna-warna lainnya. Identifikasi ini merupakan bagian dari kebijakan
pemerintah dari untuk menandai bahwa anjing-anjing tersebut telah mendapatkan
hak vaksin bagi kesehatannya. Alokasi dana yang diperoleh oleh kementrian kesehatan
setiap tahunnya berkisar puluhan juta lira.
150,000 ekor dengan populasi 14 juta manusia. Anjing liar biasanya dengan mudah
dapat diidentifikasi dengan salah satu kupingnya yang tertindik hijau atau
warna-warna lainnya. Identifikasi ini merupakan bagian dari kebijakan
pemerintah dari untuk menandai bahwa anjing-anjing tersebut telah mendapatkan
hak vaksin bagi kesehatannya. Alokasi dana yang diperoleh oleh kementrian kesehatan
setiap tahunnya berkisar puluhan juta lira.
Golongan cacat fisik bersama anjing penolongnya
Dalam tatanan beberapa kota di Istanbul, pemerintah dari kementrian
tatanan kota menandai titik-titik penting yang dimaksudkan sebagai lokasi
anjing-anjing liar ini mendapatkan makanannya. Ini dapat dengan mudah didapati
dikawasan-kawasan kadikoy dan sekitarnya.
tatanan kota menandai titik-titik penting yang dimaksudkan sebagai lokasi
anjing-anjing liar ini mendapatkan makanannya. Ini dapat dengan mudah didapati
dikawasan-kawasan kadikoy dan sekitarnya.
Selain itu petugas-petugas kebersihan juga begitu telaten menjaga
taraf kesehatan udara kota yang jauh dari keasaman kotoran-kotoran yang
dihasilkan anjing-anjing tersebut.
taraf kesehatan udara kota yang jauh dari keasaman kotoran-kotoran yang
dihasilkan anjing-anjing tersebut.
Anjing-anjing ini juga dapat dengan bebas tanpa merasa terancam
tidur dimana saja, termasuk dalam sebuah kawasan pemakaman ulama dan pekarangan
masjid. Barangkali akan mencengangkan bagi pendatang Muslim didunia untuk
melihat para anjing seakan bercengkerama dengan muslimah-muslimah berjilbab dan
penghulu-penghulu pendzikir dengan ekornya yang melambai-lambai. Tidak jarang
juga terlihat ramai yang memberikan makanan secara langsung dari
telapak-telapan tangan.
tidur dimana saja, termasuk dalam sebuah kawasan pemakaman ulama dan pekarangan
masjid. Barangkali akan mencengangkan bagi pendatang Muslim didunia untuk
melihat para anjing seakan bercengkerama dengan muslimah-muslimah berjilbab dan
penghulu-penghulu pendzikir dengan ekornya yang melambai-lambai. Tidak jarang
juga terlihat ramai yang memberikan makanan secara langsung dari
telapak-telapan tangan.
Disini barangkali Anda menduga bahwa ini disebabkan oleh perbedaan
anutan Mazhab dimana Mazhab Hanafi yang kebanyakan dianut oleh masyarakat
muslim Turki ini tidak begitu ketat aturannya soal anjing. Dalam beberapa aspek
barangkali Anda benar. Tapi pengaruh yang paling besar ada pada pandangan “menghargai
manusia dan makhluk tuhan lainnya” yang bagaikan mengalir dalam darah
diturunkan dari satu generasi ke generasi. Ya, sikap penyanyang masyarakat
Turki dengan anjing-anjing ini telah tercatat begitu mendalam dalam
sejarah-sejarah kebesaran Turki Usmani. Namun disamping itu semua, hal yang
paling penting dan berpengaruh terhadap keberlangsungan kesejahteraan hewan di
Turki adalah pengesahan undang-undangan kesejahteraan hewan tahun 2004,
tertuang dalam butir-butir hukum perlindungan hewan no 5199 yang dijalankan
secara merata diseluruh wilayah Turki.
anutan Mazhab dimana Mazhab Hanafi yang kebanyakan dianut oleh masyarakat
muslim Turki ini tidak begitu ketat aturannya soal anjing. Dalam beberapa aspek
barangkali Anda benar. Tapi pengaruh yang paling besar ada pada pandangan “menghargai
manusia dan makhluk tuhan lainnya” yang bagaikan mengalir dalam darah
diturunkan dari satu generasi ke generasi. Ya, sikap penyanyang masyarakat
Turki dengan anjing-anjing ini telah tercatat begitu mendalam dalam
sejarah-sejarah kebesaran Turki Usmani. Namun disamping itu semua, hal yang
paling penting dan berpengaruh terhadap keberlangsungan kesejahteraan hewan di
Turki adalah pengesahan undang-undangan kesejahteraan hewan tahun 2004,
tertuang dalam butir-butir hukum perlindungan hewan no 5199 yang dijalankan
secara merata diseluruh wilayah Turki.
Menemukan realita persamaan ajaran Islam di Aceh pada zaman dahulu,
saya mendukung ucapan Ekrem Bugra Ekinci
yang menuliskan bahwa fundamentalisme sikap menyayangi anjing ini terletak pada
ucapan Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa seorang pelacur masuk surga karena
memberikan air pada seekor anjing kehausan, sedangkan seorang perempuan taat disisi
lain masuk neraka karena membiarkan seekor kucing kelaparan. Dengan ini Ekinci
kemudian melanjutkan pendapat akan kesaksiannya bahwa masyarakat Turki lebih
takut pada hukuman ini jika menelantarkan hewan, bagi seekor anjing sekalipun.
Oleh Karena itu, sambungnya, pada zaman dahulu adalah pemandangan biasa untuk
melihat orang orang terlebih dahulu memberikan makanan hewan-hewan disekitaran
rumahnya sebelum mereka sendiri duduk dan menyantap hidangannya. Begitu juga,
terdapat hukuman bagi pengabai dan penjahat hewan yang selalu diikuti dengan
pengasingan dari masyarakat.
saya mendukung ucapan Ekrem Bugra Ekinci
yang menuliskan bahwa fundamentalisme sikap menyayangi anjing ini terletak pada
ucapan Rasulullah SAW yang menjelaskan bahwa seorang pelacur masuk surga karena
memberikan air pada seekor anjing kehausan, sedangkan seorang perempuan taat disisi
lain masuk neraka karena membiarkan seekor kucing kelaparan. Dengan ini Ekinci
kemudian melanjutkan pendapat akan kesaksiannya bahwa masyarakat Turki lebih
takut pada hukuman ini jika menelantarkan hewan, bagi seekor anjing sekalipun.
Oleh Karena itu, sambungnya, pada zaman dahulu adalah pemandangan biasa untuk
melihat orang orang terlebih dahulu memberikan makanan hewan-hewan disekitaran
rumahnya sebelum mereka sendiri duduk dan menyantap hidangannya. Begitu juga,
terdapat hukuman bagi pengabai dan penjahat hewan yang selalu diikuti dengan
pengasingan dari masyarakat.
Masih berdasarkan fakta sejarah yang dihadirkan Ikinci, “dalam
daftar sertifikat Yayasan Haji Sayyid Mustafa di Rumelihisari tertulis:
“Anjing-anjing jalanan harus diberi makanan dengan roti segar yang berharga 30
akce (koin perak) setiap hari”. “ Ini merupakan salah satu contoh kepedulian
pemerintahan Muslim pada hewan. Pada dasarnya Turi Usmani membangun yayasan
khusus, barak hewan, bahkan rumah sakit bagi perlindungan dan penyejahteraan
kucing, burung-burung merpati, bangau, anjing dan banyak hewan-hewan lainnya.
daftar sertifikat Yayasan Haji Sayyid Mustafa di Rumelihisari tertulis:
“Anjing-anjing jalanan harus diberi makanan dengan roti segar yang berharga 30
akce (koin perak) setiap hari”. “ Ini merupakan salah satu contoh kepedulian
pemerintahan Muslim pada hewan. Pada dasarnya Turi Usmani membangun yayasan
khusus, barak hewan, bahkan rumah sakit bagi perlindungan dan penyejahteraan
kucing, burung-burung merpati, bangau, anjing dan banyak hewan-hewan lainnya.
Tahun 1909-1910 merupakan tahun kepedihan bagi anjing anjing yang
telah terbiasa hidup diwilayah perkotaan. Dengan minat pemerintah demi memeluk industri
modernisme sepenuhnya, anjing anjing ini diburu dan dikapalkan untuk pembuangan
ke sebuah pulau tanpa penghuni. Mayoritas anjing-anjing ini tewas kelaparan. Dikatakan
lolongan lapar terdengar hingga Istanbul. Sebagian bahkan dikatakan berenang
sepanjang teluk Anatolia untuk bisa kembali ke Istanbul. Sebuah peristiwa
sejarah yang masih dikenang hingga saat ini. Tahun 2013, isolasi anjing-anjing
ini terdengar kembali dari para pengambil kebijakan di parlemen Turki yang
ditentang oleh hampir seluruh masyarakat Turki dengan dikomandoi oleh
aktivis-aktivis perlindungan hak hewan. Kebijakan pengasingan anjing-anjing ini
berhasil digagalkan.
telah terbiasa hidup diwilayah perkotaan. Dengan minat pemerintah demi memeluk industri
modernisme sepenuhnya, anjing anjing ini diburu dan dikapalkan untuk pembuangan
ke sebuah pulau tanpa penghuni. Mayoritas anjing-anjing ini tewas kelaparan. Dikatakan
lolongan lapar terdengar hingga Istanbul. Sebagian bahkan dikatakan berenang
sepanjang teluk Anatolia untuk bisa kembali ke Istanbul. Sebuah peristiwa
sejarah yang masih dikenang hingga saat ini. Tahun 2013, isolasi anjing-anjing
ini terdengar kembali dari para pengambil kebijakan di parlemen Turki yang
ditentang oleh hampir seluruh masyarakat Turki dengan dikomandoi oleh
aktivis-aktivis perlindungan hak hewan. Kebijakan pengasingan anjing-anjing ini
berhasil digagalkan.
Hingga saat inipun, edukasi terhadap perlindungan hewan ini terus didukung oleh pemerintah Turki. Ini untuk menekan angka-angka kekerasan terhadap hewan yang masih disaksikan diberbagai kawasan perkotaan dan pedalaman.
Intinya, realita saat ini di Aceh menjelaskan bahwa ada
pertentangan antara nilai-nilai Islami yang diajarkan dalam masyrakat dengan
praktek yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Debat debat lebih kondusif dibutuhkan untuk
menumbuhkan kembali kepekaan terhadap pentingnya dan tingginya amaran Islam
untuk menjaga dan melindungi mahkluk-makhluk tuhan yang lain. Ini demi
menyediakan ruang bagi tumbuhnya komunitas-komunitas Islami yang peduli tidak
hanya pada sesama tetapi juga pada hewan. Dan terlebih penting lagi, jika tidak
bisa berbuat banyak pada peningkatan hak-hak hewan, maka tidak ada hak pula bagi
Anda untuk menghakimi atau merugikan mereka yang menunjukkan kasih sayangnya meskipun
itu terhadap anjing sekalipun. Itu adalah batasan yang adil tidak hanya menurut
hukum sipil sekulerisme dan demokrasi tapi juga hukum Islam.
pertentangan antara nilai-nilai Islami yang diajarkan dalam masyrakat dengan
praktek yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Debat debat lebih kondusif dibutuhkan untuk
menumbuhkan kembali kepekaan terhadap pentingnya dan tingginya amaran Islam
untuk menjaga dan melindungi mahkluk-makhluk tuhan yang lain. Ini demi
menyediakan ruang bagi tumbuhnya komunitas-komunitas Islami yang peduli tidak
hanya pada sesama tetapi juga pada hewan. Dan terlebih penting lagi, jika tidak
bisa berbuat banyak pada peningkatan hak-hak hewan, maka tidak ada hak pula bagi
Anda untuk menghakimi atau merugikan mereka yang menunjukkan kasih sayangnya meskipun
itu terhadap anjing sekalipun. Itu adalah batasan yang adil tidak hanya menurut
hukum sipil sekulerisme dan demokrasi tapi juga hukum Islam.
Referensi
Cihangir Gundogdu, The state and the stray dogs in late Ottoman
Istanbul: from unruly subjects to servile friends in Journal of Middle
Eastern Studies, 15 February 2018.
Istanbul: from unruly subjects to servile friends in Journal of Middle
Eastern Studies, 15 February 2018.
William , M. Mann et all, National Geographic Society-Smithsonian
Institution Expedition to the Dutch East Indies, 1937.
Institution Expedition to the Dutch East Indies, 1937.
https://www.dailysabah.com/feature/2015/01/18/the-ottomans-exemplary-treatment-of-street-animals.
https://www.dw.com/en/istanbuls-forgotten-dogs-struggle-for-survival/a-16997550.
*Relawan Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT)
telah terbit di: http://portalsatu.com/read/opini/anjing-dalam-masyarakat-aceh-dan-turki-43785