Kemenangan Aceh terhadap Belanda pada tahun 1873 adalah kekalahan Pertama bangsa Eropa di Asia. Ini dikatakan oleh Eric Tagliocozzo dalam Bukunya Secret Trade, Porous Border: Smuggling and State along a Southeast Asian Frontier 1865-1915 (Perdagangan Rahasia, Batasan Poros: Penyelundupan dan Negeri Sepanjang Permukaan Asia Tenggara 1865-1915). Kemenangan kesultanan Aceh ini mengesankan tidak hanya bagi pembaca hari ini tetapi juga bagi mereka yang hidup pada zaman tersebut.
Adalah pandangan umum saat itu bahwa Aceh merupakan kesultanan yang lemah, terutama setelah Inggris resmi mencabut status protektorat melalui traktat 1871. Kelemahan Kesultanan Aceh adalah cerminan konflik internal berkepanjangan, lilitan hutan, dan kegagapan menyejajarkan hak dan kewajiban dihadapan kebangkitan hegemoni Barat di Asia Tenggara.
Saat Belanda mengumumkan perang pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda dan beberapa pengamat di Selat bersikap remeh bahwa Pertahanan militer Aceh dapat dengan mudah dipukul mundur dikarenakan sebab-sebab kapal ketentaraan laut, pasukan, dan persenjataan yang kalah canggihnya dibandingkan Belanda.
Aceh tidak punya kapal uap yang menghembuskan tembukan-tembakan cepat berjarak jauh dan tepat sasaran, kecuali kapal-kapal kecil yang biasa dipakai nelayan untuk mengirim dagangannnya ke wilayah pedalaman dan pesisiran. Sultan memiliki beberapa kapal besar tapi hanya berfungsi untuk berton ton kargo dagang lintas samudra. Beberapa uleebalang, terutama dari wilayah bagian Utara memiliki kapal yang lebih layak untuk perang sebagaimana yang dimiliki oleh Teuku Paya. Namun saat pengumuman perang ini, blokade telah mulai dilancarkan. Kapal kapal lokal dan kapal partner dagang kesulitan untuk mendarat di peraiaran Aceh. Kapal dagang sekaligus kapal perang milik Teuku Paya yang bernama Gypsey itu sempat berada dalam tahanan Belanda dan dalam tahap negosiasi beberapa bulan sebelum pengumuman perang. Tidak diketahui gerak kapal ini selanjutnya.
Pasukan Belanda dilatih secara khusus untuk perang. Tidak diketahui apakah saat itu Aceh punya keseragaman keahlian ketentaraan yang setingkat dengan Belanda. Namun Ibrahim Alfian dalam bukunya Perang di Jalan Allah mempercayai bahwa setiap rakyat Aceh adalah pasukan perang. Keahlian memainkan rencong, pedang, serta senjata tembak blunderbuss terekam jauh sebelum abad ke-19. Menjelang tahun 1873, catatan mata-mata Belanda menuliskan bahwa senjata buatan Inggris dan Amerika, Beaumont dan Winchister Rifles dipakai oleh kalangan sekitar uleebalang di Aceh. Dan Senjata-senjata ini berdasarkan uraian Tagliocozzo (2009) merupakan sebagian dari senjata yang berhasil diselundupkan oleh pihak pendukung Aceh dari Penang.
Mengejutkan kemudian, setelah minggu pengepungan dan perang, awal bulan April, Belanda mengumumkan penarikan pasukan dari tanah pertempuran dikarenakan kematian jenderal kawakan yang paling dihormati, Koehler dan beberapa Jendral-Jenderal kunci lainnya. Meskipun Belanda menarik pasukan, blokade pesisiran Aceh berlanjut yang ditandai dengan kapal-kapal pertahanan Belanda masih mengitari perairan Aceh, dilanjutkan dengan aplikasi kebijakan larangan ekspor senjata ke Aceh dan sanksi penyelundupan.
Keputusan Belanda memerangi Aceh menimbulkan pro dan kontra yang hebat sebagaimana yang bisa disaksikan lewat berbagai edaran Koran-koran yang terbit mingguan di kependudukan Selat dan wilayah Hindia Timur sejak tahun 1872. Ketika Belanda terpukul mundur, Headlines Koran-koran seakan meledak dengan berita kekalahan Belanda. Mereka yang sebelumnya protes dengan perang ini mendapatkan peluang lebih besar untuk menancapkan kritik lebih pedas.
Salah satu figur yang mengkritisi Inggris dan Belanda dalam hal perang Aceh adalah Stuart Heriot, seorang petugas pemerintahan Inggris di Pinang yang menjabat selama 3 tahun. Lelaki ini punya talian yang kuat dengan senarai pedagang Aceh di Penang. Ia adalah simpatisan pejuang Aceh yang berpengaruh.
Berdasarkan terbitan Koran Straits Times Overland Journal bertanggal 14 Juni 1873 Menyebutkan bahwa Stuart Heriot menyebabkan gangguan bagi pemerintahan Inggris dan menciptakan imej buruk bagi Belanda terkait peran mereka dalam perang Aceh. Herriot menyerukan perlunya intervensi dari Amerika, Italy, dan Inggris untuk menekuk kebebalan Bangsa yang pernah menaklukkan spanyol ini.
Berdasarkan terbitan Koran Straits Times Overland Journal bertanggal 14 Juni 1873 Menyebutkan bahwa Stuart Heriot menyebabkan gangguan bagi pemerintahan Inggris dan menciptakan imej buruk bagi Belanda terkait peran mereka dalam perang Aceh. Herriot menyerukan perlunya intervensi dari Amerika, Italy, dan Inggris untuk menekuk kebebalan Bangsa yang pernah menaklukkan spanyol ini.
Tak hanya sampai disitu, pengawasan lebih dekat dijalankan. Jurnalis-jurnalis dari koran-koran terkait diturunkan untuk memantau lebih dekat situasi dalam negeri Aceh, dari strategi perang hingga metode pertahanan kesultananan yang lemah ini. Selain itu mereka juga mendapat informasi- informasi langsung dari Koran-koran konservatif dan progresif serta badan kemiliteran Belanda yang berpusat di Batavia.
Kemenangan Aceh tahun 1873 ini dilihat oleh pemerintah kolonial di Semenanjung Melayu dan Hindia Timur sebagai hal yang tak memerlukan empati melainkan kekhawatiran dengan meningkatnya simpathisan perang Aceh dan kelompok-kelompok anti-kolonial yang seakan mendapatkan harapan baru untuk bisa terbebas dari jerat ekonomi dan politik pemerintah kolonial. Untuk mengklarifikasi keresahan ini, Inggris mengutus K.F. Holle ke Batavia untuk memeriksa riak air populasi Muslim berdasarkan info-info dari kaki tangan kolonial yang berujung dengan kesimpulan bahwa perang Aceh adalah sumber bangkitnya sentiment Pan-Islam dan anti-kolonialisme di Nusantara di Semenanjung Melayu dan Hindia Timur.
Mereka juga mengirim mata-mata ke Penang, kawasan yang dikenal sebagai mesin penggerak ekonomi dan politik Aceh dengan samudra dunia, untuk mengawasi gerak-gerak Konsul Delapan di Pinang yang mendapat dukungan moral dan finansial hampir dari berbagai bangsa di daerah itu termasuk Pedagang Cina, Eropa, Keling, dan Arab (Deliana, 2018).
Petinggi Pemerintahan di Hindia Timur dan Selat menyalahkan kekalahan tahun 1873 ini pada kebodohan Belanda terhadap letak geografis, struktur alam, sungai, pesisir, dan pertahanan-pertahanan alami yang digunakan Aceh selama masa penyerangan. Menanggapi kekalahan ini, Pengetahuan ortografi dan hidrografi Aceh dikembangkan Belanda dengan pesat. Rincian-rincian peta Aceh pun semakin tajam dan akurat. Angka kapal tempur, pasukan, dan senapan berjumlah lebih tinggi dari sebelumnya. Persiapan ekspedisi 1874 yang diberitakan menguras f1,000,000 ini ditujukan untuk menangkap kemerdekaan Aceh yang ternyata semakin parah menguras kantong pemerintahan Hollanda dalam kurun waktu 40 tahun ke depan.Telah terbit sebelumnya di http://rubrika.id/index.php/author/nia-deliana/
ok..setuju awal kebangkitan perlawanan…
Betul Pak. Makna lainnya, Harapan baru anti-kolonialisme di Asia Tenggara.
Sejarah penindasan dapat bangkitkan semangat perlawanan dlm meraih hak² yg seharusnya dijamin oleh setiap kepemimpinan yg ada.