Baadillah: Peranakan Hadhrami-Cina Sang Mogul Mutiara

Sayyid Abdullah Baadilla atau Said
Tjong Baadilla (1856-1934) adalah Raja mutiara yang berjasa bagi ekonomi pre-Indonesia
dan Belanda.  Orang lokal Banda di Maluku
mengenal Baadila sebagai salah satu pemimpin Orlima (Orang Lima) yang ahli
dalam perang sekaligus berperan sebagai kepala adat dan Saudagar. Posisi
seperti ini biasa ditemukan di Asia Tenggara, tidak didirikan secara ikatan
institusi atau struktural seperti di Eropa, tetapi lebih pada faktor-faktor
alami budaya, agama, dan karakteristik kemasyarakatan yang cair. Uleebalang
Aceh contohnya.  

Sayyid Abdullah Baadilla, pedagang tajir lintas samudra yang membangun talian keluarga dengan perempuan Jawa, berasal dari keluarga saudagar Cina terpandang dan salah satu yang terkaya,
Keluarga Tay. Ia menetap di Pulau Banda. Komoditas dagang
utamanya adalah lada, pala, dan mutiara yang diperoleh lewat perputaran layar
antar pulau, dari Sumatra, Jawa, Pulau Banda, Malaya, Filipina, dan Papua.   

Keluarga Baadila
pertama kali menjejaki kawasan timur Indonesia, Jawa dan Kalimantan, diperkirakan
pada abad ke-17 atau 18 dan merupakan salah satu persona jaringan dagang Hadhrami
antar-pulau tidak hanya di Tanah Jawi tapi juga diperkirakan mencapai kawasan
Samudra Hindia (India Selatan dan Yaman).

Pendalaman pada
bisnis mutiara, menurut cucunya Des Alwi, baru dijalin pada tahun 1880. Laut
Aru dan Banda di Maluku, Laut Sulu, dan Laut Papua adalah kawasan panen asal mutiara
tersebut. Baadilla bekerjasama dengan raja-raja lokal dan penyelam-penyelam
independen untuk membangun bisnis mutiara tersebut. Kebanyakan penyelam ini
dirangkul dan dilatih di Banda Neira.  Dominan
penyelam adalah Orang Banda dan kru kapal adalah Orang-orang Buton. Baadila
juga merangkul kru Orang-orang Papua dan penyelam-penyelam Jepang. Semua
kerjasama ini terbentuk tidak hanya dengan kecerdasan utama Baadila, tapi juga
perkawinan campur saudara kandungnya, Abdul Rahim (Nana) dengan puteri Raja Buton,
Puteri Raja Maros dari Sulawesi Selatan, dan puteri Raja Koka dari Papua yang
membantu lumernya batasan-batasan perbedaan dan terbentuknya jaringan-jaringan
fleksibel yang baru. Adik bungsunya, Salim mengendarai kepiawaian navigasi dan
pelayaran maritime. Dibawah kepintarannya, perusahaan 3 bersaudara ini pada akhir
abad ke-19 tercatat tajir dengan 33 perahu dan 99 kapal bermotor.

Mencari mutiara
dilaut ternyata pernah menjadi profesi pekerjaan yang popular setidaknya hingga
akhir abad ke -19. Susunan sosial profesi ini tergusur dikarenakan pertukaran
agen dominansi dagang dan perkembangan-perkembangan seputarnya, termasuk
penjajahan, imperialisme-peradaban, rasisme, dan Islamophobia. Orang-orang
Bajau disebut-sebut sebagai prototip penyelam-penyelam pencari mutiara pada
masa lalu. Penyelam mutiara juga banyak didapati di India Selatan setidaknya hingga
akhir abad ke-18.  Pada tahun 1890s, ada
persaingan tinggi antara penyelam-penyelam mutiara Filipina, Jepang, dan Australia
di perairan Maluku. Pemerataan regulasi Belanda menyebabkan tergusurnya perdagangan
komoditas ini pada abad ke 20, sebagaimana regulasi aturan Inggris menhancurkan
struktur mata pencaharian penyelam mutiara pribumi di India Selatan pada abad
ke 18.

Baadila bersama
dua orang abangnya mendirikan perusahaan pada tahun 1873, sesuai peraturan kolonial
Hindia Belanda. KompanI ini menakhodai lebih dari 100 kapal dagang. Ketika
Baadila menyatukan perusahaannya dengan perusahaan swasta Clark dari Australia,
ada 150 kapal dengan estimasi asset 100,000 dollar yang mereka kelola.

Pada tahun 1896,
Ia menghadiahi Ratu Emma permata sebesar telur merpati dan permata merah jambu
untuk Puteri Ratu, Ratu Wilhelmina pada tahun 1909.

Meskipun
kekayaan Baadila bersumber dari laut dan darat (perkebunan pala Neira), Baadila
bangkrut pada tahun 1933. Cucu-cucunya yang ditemui Mohammad Hatta dan Sutan
Syahrir selama masa pengasingan mereka di Banda ada dalam keadaan miskin.
Mereka tidak diangurahi akses pendidikan gratis dari pemerintahan sebagaimana
yang dirasakan oleh Hatta. Dengan kondisi ekomoni dan politik yang buruk, tidak
mengherankan jika ramai keturunan Baadila berhijrah ke Malaysia dan Belanda, meskipun masih
berdokumenkan asal Indonesia.

Masih menjadi
pertanyaan besar dikalangan ilmuwan sosial tentang bagaimana ekonomi hartawan
keluarga lokal seperti keluarga Baadilla yang telah wara wiri berdagang antar-samudra
dan memberdayakan susunan lokal  ambruk pada
abad ke-20. Selain Baadila ada banyak keluarga hartawan lokal yang bernasib sama
pada abad Depresi, Berbangsa dan Bernegara itu.

Pertanyaan
lainnya adalah soal proses yang menyebabkan keturunan-keturunan keluarga
hartawan seperti ini, pada abad ini hingga sekarang, terperangkap secara
bergenerasi dalam jaringan korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang tak lagi
disadari demikian, sebagaimana senarai yang kita saksikan tumbuh berkembang
dibawah era Soeharto.

Sumber Bacaan:

Willard A Hanna, Indonesian
Banda: Colonialism and Its Aftermath in the Nutmeg Islands, (Maluku: Yayasan
Warisan dan Budaya Banda Neira, 1991).

Des Alwi, Friends and Exile: A
Memoir of the Nutmeg Isles and the Indonesian Nationalis Movement, ed. Barbara
Harvey, (New York: Ithaca, 2008).

Julia Martinez and Adrian
Vickers, the Pearl Frontiers: Indonesian Labors and Indigenious in Australia’s
Northern Trading Network, (Honolulu: University of Hawi’i Press, 2015).

Kredit foto@washilbahalwan

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―