BELAJAR DARI KEGAGALAN ABDULLAH PUTEH

 

 

 

Mati mendadak ditengah pelayaran, Kapal Aceh Hebat 1 atau KMP Aceh Hebat 1 dalam beberapa hari ini hangat dipersoalkan. Polemik soal potensi kondisi kapal dibeli dalam keadaan bekas sudah digaungkan sejak awal tahun ini. Banyak yang menuding pada faktor
korupsi. Kemudian banyak juga yang mempertanyakan dari mana akar korupsi dalam pemerintahan Aceh. Apakah betul itu semata-mata muncul setelah 2007 atau sebenarnya persoalannya lebih disebabkan oleh sistem korup pemerintahan yang merupakan warisan Orde Baru?

Menjawab pertanyaan kedua, seorang intelektual Aceh bersama dengan rekan Belandanya menyelidiki penyakit sosial dan politik ini pada masa pemerintahan gubernur Abdullah Puteh (2000-2004). Artikel kecil ini sepenuhnya berasal dari karya tersebut. Ini tidak diperuntukkan untuk memberikan kontribusi baru ataupun analisa yang berbeda. Melainkan hanya sebagai pengingat dan pembelajaran bagi kawula muda di Aceh yang berminat mengamati gerak sistem pemerintahan daerah.

Dalam Buku Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post Suharto Indonesia  terdapat satu bab yang dikarang oleh Almarhum Muhammad Isa Sulaiman dan Gerry van Klinken berjudul The Rise and Fall of Governor Puteh ( Bangkit dan Runtuhnya Gubernur Aceh) yang terbit tahun 2007. Dalam bab berhalaman 28 lembar ini, perkembangan neo-patromonial, favoritis elit, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan kolusi dalam pemerintahan Aceh masa jabatan Gubernur Abdullah Puteh ini saling menyibak berlipatan.

Sebagai generasi yang tumbuh besar dalam puluhan tahun perang, perkembangan politik kalangan elit tentu tak terbayangkan. Saat kalangan menengah di Aceh, termasuk birokrat dan kontraktor dampingan Negara saling ping-pong keuntungan dari proyek pemerintah, yang ada dalam benak generasiku barangkali hanya ketakutan untuk bisa merasakan kebebasan bermain. Terimakasih untuk intelektual-intelektual seperti almarhum Muhammad Isa Sulaiman dan Gerry Van Klinken yang meninggalkan buah pikiran soal satu sudut zaman yang terlupakan.

Koneksi dan Butir Hukum

Koneksi Abdullah Puteh terbilang luas. Lahir di Aceh, Kuliah di ITB, Ketua KNPI menggantikan Akbar Tanjung yang kemudian jadi orang terkuat Golkar, menjadi perwakilan Golkar di parlemen nasional tahun 1992-1997, diikuti dengan posisi wakil sekretaris jenderal partai Golkar tingkat nasional. Ia juga punya bisnis di Jakarta yang fokus pada rekrut tenaga kerja untuk luar negeri dan bisnis minyak sawit di Aceh Barat dengan seorang Abdul Ghafur.

Saat ia menjabat sebagai Gubernur tahun 2000, terdapat beberapa perkembangan politik dan ekonomi hasil bentukan dua hukum baru khusus Aceh. Hukum Adat tertuang dalam act 44/1999 dan act 18/2001 memberikan ruang dan pengaruh lebih besar pada komponen adat lokal termasuk fungsi ulama. Hukum no 25/1999 berdampak besar pada pemasukan keuntungan dari minyak dan Gas Aceh untuk pemerintah sebanyak 40-55 persen. Misalnya produksi tahun 2002 mencapai 2,1 trilliun dan 2,3 trilliun tahun selanjutnya. Meskipun Abdullah Puteh mengalokasikan 30 percennya ke dana Pendidikan, tahun 2003 dana provinsi masih mencapai 1,573 trilliun, 3 kali lebih banyak dari dua tahun sebelumnya. Dan
dana ini sepenuhnya berada dibawah kontrol gubernur. Meskipun ada pertanyaan dari kalangan Aceh Timur dan Aceh Utara soal anggaran yang tidak merata ini, gubernur mendiamkannya dengan janji ekonomi autonomi di setiap kabupaten. Hukum no 18/2000 mengizinkan Gubernur untuk mengalokasikan langsung proyek-proyek yang ia inginkan tanpa melalui proses tender. Salah satu proyek tersebut contohnya pengadaan mesin cetak untuk pelayanan infokom Aceh yang berharga 4,2 milyar. Kontrak proyek ini jatuh ke seorang kerabat dari Rusli Bintang, kontraktor dari Aceh Besar.

Bunyi-bunyi hukum inilah yang berkontribusi langsung pada kepemimpinan ala neo patrimonial yang tersistematiskan secara piramid. Isa dan Van Klinken menyebut kekuasaan gubernur bagaikan kekuasaan piramid yang berputar disekitar Kepala dinas, asisten, biro, dan badan-badan pemerintahan, tidak jauh berbeda dengan yang kita lihat saat ini.

Kasus PT Seulawah NAD Air

Kasus ini terkait proses legitimasi perusahaan PT Seulawah NAD Air. Perusahaan inisiatif gubernur ini didirikan demi memfasilitasi Penerbangan Aceh. Ketika gubernur menjabat, hanya ada Pelni Ship dan Garuda Air yang menyediakan transportasi laut dan udara dari Aceh ke provinsi lain. Inisiatif ini mendulang banyak sambutan dan dukungan. Untuk mewujudkannya, Gubernur Puteh menjalin hubungan dengan pembisnis asal Manado bernama Sam Walean yang kemudian memperkenalkannya pada seorang konglomerat Malaysia, Datuk Mat Safuan. Ia menyambut secara antusias niat Abdullah Puteh ini. Bahkan ia mendukung tidak hanya penerbangan dari Aceh ke provinsi dan pulau lain di Indonesia dan Malaysia tetapi juga berminat memfasilitasi penerbangan dari Aceh ke Mekkah. Gubernur kemudian menunjuk urusan keuangan dan pembangunan pada Insinyur
Usman Budiman, Sam Walean, dan seorang kontraktor bernama Ramzi Tharfi.

7 bulan sejak PT Seulawah Air didaftarkan di Jakarta tahun 2001, Safuan Group menarik diri dari proyek ini. Tidak diketahui alasan jelas. Namun diketahui ada beberapa problem. Selain secara hukum, dana pemerintahan provinsi tidak diperbolehkan mendanai proyek perusahaan swasta, angka nominal saham awal dengan yang diumumkan dalam data pemerintahan provinsi juga berbeda sebanyak 5 kali lipat. Meskipun begitu, proses legalitas proyek ini masih terus berjalan. Usman Budiman ditunjuk sebagai ketua komisoner penerbangan baru, beserta wakilnya Thantawi Ishak. Keduanya merupakan pegawai pemerintahan namun nama mereka tertera dalam fungsi individual. Sedangkan Sam Walean sebagai Direktur eksekutif basis Jakarta. Saat itu telah ada 27 awak kabin beserta kapal terbang Boeing 737-300 yang disewa dari Transmile grup di Kuala Lumpur.

September tahun 2002 Badan Transportasi mengabsahkan sertifikat operasional penerbangan, baru kemudian mengumumkan secara terbuka pada anggota parlemen sekaligus membicarakan soal pendanaan. Untuk pelantikan penerbangan ini, gubernur mengundang presiden Megawati yang disambut dengan seromonial spektakuler; 300 penari dan 500 undangan dari seluruh Aceh. Ini dilaksanakan pada tanggal 25 September 2002. Kunjungan presiden saat itu adalah kunjungan keduanya setelah ia sempat tampil ketakutan, tidur dalam tank- karena percaya ada ancaman GAM pada kunjungan pertamanya tahun lalu bulan yang sama.

Penerbangan ini langsung bekerja dua hari setelahnya. Dua penerbangan ke Medan dalam sehari dan dua penerbangan ke Jakarta dalam seminggu. Harga tiket penerbangan yang murah menyebabkan perebutan posisi agensi utama. Sebelumnya Sam Walean percaya bahwa perusahaanya yang menjadi penjual utama Tiket Selawah NAD Air akan tetapi terdapat pihak lain, seorang kontraktor Agam Patra yang diketahui punya hubungan dekat dengan gubernur juga berperan sebagai penjual tiket utama penerbangan ini di Banda Aceh. Oleh karenanya manajemen penerbangan menjadi buruk. Tingkat kekecewaan
konsumen kian meningkat.

Sam Walean yang merasa dimanfaatkan dan haknya dirampas, melaporkan Usman Budiman dan Thantawi Ishak ke pengadilan di Banda Aceh. Mereka sempat meminta Sam Walean untuk mencabut laporanya yang kemudian ditanggapi dengan permintaan dana damai 3 milyar. Akhir November 2002 Polisi menggrebek Sam Walean di hotel sebelum menangkapnya atas tuduhan pelanggaran asusila (zina). Polemik ini kemudian baru berhenti bulan Maret tahun 2003. Saat itu, penerbangan ini dalam posisi bangkrut. Ketidakmampuan untuk bersaing dengan penerbangan lain serta hutang biaya sewa pesawat pada Transmile grup dan bahan bakar pada Pertamina yang mencapai 10 milyar ini menyebabkan penerbangan ini bangkrut.

Kasus lainnya adalah Jenerator Listrik dan Organisasi Amal sang Istri. Usman Budiman dan Tanthawi Ishak yang punya posisi penting di pemerintahan provinsi mengalihkan dana dari lembaga Panglima Laut sebanyak 8,4 milyar untuk menjamin bahan bakar Pertamina. Tidak
hanya itu, melalui Usman Budiman, pinjaman atas nama penyediaan jenerator listrik sebanyak 30 milyar dari William Taylor juga ikut berperan dalam pelunasan hutang-hutang ini.

14 dari 25 jenerator listrik yang disediakan untuk Aceh kemudian diketahui adalah mesin bekas, 3 diantaranya tidak berfungsi sama sekali. Maka tidak mengejutkan kondisi listrik Aceh semakin memburuk selama masa konflik. Kasus lainnya terkait organisasi amal Nur
Raudha binaan Istri keduanya, Marlinda Purnomo Yayasan Peduli Anak Bangsa yang dikait-kaitkan dengan korupsi dan favoritisme elit.

Peran dan pengaruh Abdullah Puteh nyatanya sama sekali belum runtuh, meskipun telah dihukum penjara. Ia masih eksis dalam perpolitikan meskipun lagi-lagi tersandung kasus dugaan penipuan yang kemudian diberi kasasi dari penjatuhan hukuman 3,5 tahun penjara awal tahun lalu. Ia masih berlenggang memantik jarinya dalam isu-isu kekinian, seperti soal advokasinya untuk pariwisata Gunung Lauser. Bahkan, sekelompok pihak dari kalangan birokrat Acehpun berpendapat bahwa Abdullah Puteh perlu lagi menjabat sebagai Gubernur Aceh demi program-programnya yang visioner dan ‘mantul’ ke masyarakat.

telah terbit sebelumnya di https://portalsatu.com/opini/2021/04/belajar-dari-kegagalan-abdullah-puteh/

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―