Gampong Pasca Independen Menurut Isa Sulaiman

Tsunami yang terjadi 10 tahun yang lalu telah merenggut nyawa, tidak hanya rakyat biasa tapi juga banyak intelektual-intelektual yang telah berjasa bagi Aceh. M. Isa Sulaiman merupakan salah satu diantaranya. Ia dikenal sebagai intelektual Aceh yang produktif melahirkan berbagai tulisan akademik tidak hanya dalam bahasa Indonesia tapi juga dalam bahasa Inggris dan Prancis. Banyak pihak berpikir bahwa ia hanyalah seorang sejarawan. Padahal karya-karyanya melibatkan pendekatan sosiologi, budaya, dan sastra Aceh.
Biografi dan Karya Akademik
Dilahirkan pada tahun 1951 di Aceh Selatan, Isa Sulaiman baru memulai karirnya sebagai dosen di Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh. Pada awal tahun 1980an ia berangkat ke Paris dan menyelesaikan PhD berbahasa Prancisnya pada tahun 1985 mengenai Aceh dengan judul, Les Ulèebalang, les Ulémas et les enseignants de madrasah : la lutte pour le pouvoir local en Aceh de 1942 à 1951 ( Uleebalang, Ulama, dan Guru Madrasah: Berjuang demi kekuatan Lokal di Aceh 1942-1951). Ia juga terlihat memfokuskan intensinya untuk meneliti sejarah Aceh antara tahun 1942 hingga 1962, periode ketika Aceh dipenuhi dengan semangat heroisme dan ia berhasil membawa pengkajian orisinil dengan sumber sumber arsip yang solid. Ia juga menulis tentang budaya dan sastra Aceh. Bukunya yang paling mendapat perhatian adalah mengenai sejarah GAM yang ditulis ketika banyak jumlah aktivis dan intelektual terbunuh, sebuah buku yang ditulis dengan keberanian yang luar biasa. Pada akhir tahun 2002 ia merupakan salah satu undangan yang mendampingi negosiasi antara GAM dan RI di Jenewa.
 
Setelah sekian lama berperang melawan Belanda, Budaya Aceh telah mengalami banyak transformasi. Fakta Aceh kemudian berada dalam pangkuan Republik Indonesia menambah persepsi bahwa Budaya Aceh terkesampingkan.  Apalagi dengan sistem administrasi yang mengakar dari Budaya Jawa diterapkan diseluruh wilayah di Indonesia. Kepedulian Isa Sulaiman terhadap kelestarian budaya Aceh terlihat dari penelitian Beliau bertajuk Modernization and Bureaucratization in Developing the Village: The Aceh Experience yang diterbitkan pada tahun 1990. Kajian ini menjadi salah satu catatan penting mengenai transformasi budaya dan adat Aceh dalam proses adaptasinya dengan sistem pemerintahan Indonesia. 
 
Ketika kajian ini dibuat, Aceh telah sah berada dibawah pemerintahan Indonesia yang menjalankan sistem yang disebut-sebut modern dengan perkembangan-perkembangan birokrasi diwilayah-wilayah pedesaan
tidak hanya di Aceh tapi juga diseluruh desa di Indonesia. Sistem ini menjadi legal dijalankan setelah pengesahan Undang Undang No. 5 tentang pokok-pokok pemerintah daerah pada tahun 1974 dan Undang-Undang No. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa dan administrasi desa yang merujuk pada sistem administrasi pedesaan Jawa yang berputar disekitar lurah, bupati, kecamatan, kabupaten, dan lain sebagainya.
Penggantianterminologi secara berangsur menemani pergeseran nilai dan fungsi gampong dan mukim yang sebenarnya.  
 
Dalam beberapa halaman pembuka, Isa Sulaiman menyebutkan bahwa masyarakat pedesaan di Aceh tidak merupakan keturunan dari satu leluhur tapi keturunan dari berbagai etnik. Adat, reusam, dan agama adalah tiga hal yang mengikat setiap penduduk dari wilayah yang berbeda dalam sebuah kesetaraan. Puncak solidaritas para penduduk ada pada perayaan-perayaan keagamaan yang dilakukan melalui cara-cara adat dan reusam dimeunasah-meunasah dan mesjid diberbagai wilayah pedesaan yang terikat dalam struktur mukim. Sebagian meunasah dan mesjid, terutama di Pidie dan Aceh Besar memiliki tanah wakaf dan umang meusara yang hasil kultivasi tanahnya digunakan untuk keperluan keagamaan dan kemaslahatan masyarakat. Keunikan lain yang dimiliki Aceh adalah struktur pemerintahan desa dan mukim. Disamping Keuchik, ada Teungku, ureung tuha, dan masyarakat biasa. Keuchik memiliki fungsi yang sama dengan kepala desa atau lurah di Jawa. Namun bedanya, menurut pendapat Isa Sulaiman, disamping teungku atau imeum mukim yang berfungsi seperti Ibu yang mendampingi nasehat-nasehat terhadap persoalan-persoalan kerakyatan baik persoalan keagamaan maupun persoalan sosial, Keuchik juga didampingi oleh Keujreun Blang dan Panglima Laot yang terkenal sebagai kaki tangan Keuchik dalam bidang pengelolaan pertanian dan kelautan. Sedangkan posisi dan jumlah Ureung Tuha bervariasi diberbagai daerah. Misalnya di Bagian utara Aceh, jumlah ureung tuha lebih sering hanya mencapai empat orang. Sedang wilayah lain bisa mencapai hingga dua belas orang.
 
Transformasi Gampong
Dalam upaya menjelaskan sejauh mana perubahan terjadi pada struktur dan fungsi gampong di Aceh pasca kemerdekaan, Isa Sulaiman mengambil gampong Lampeuneun sebagai salah satu lapangan etnografinya. Dari keseluruhan 5351 desa, Lampeueneun merupakan salah satu wilayah ibukota Mukim
IX yang diubah fungsinya menjadi sebuah desa. Terletak di Darul Imarah kecamatan Aceh Besar. Sebelum masa kemerdekaan, Lampeuneun beserta 6 desa lainnya (Kutakarang, Deunong, Leungeu, Lamsidaya, Paya Raoh, dan Lamteuen) merupakanbagian dari mukim uleesusu, dibawah uleebalang Mukim IX.
 
Jika hendak ditelusuri, Lampeueneun memiliki catatan sejarah yang panjang. Disana terdapat dua kubur ulama terkemuka, makam Teungku Lampeuneun dan Teungku Chik Kuta Karang. Teungku Lampeuneun merupakan seorang pembaharu dalam dunia pertanian, terutama pertanian lada. Sedangkan Teungku Chik Kuta Karang adalah pahlawan yang berjuang lewat tulisan dan fisik melawan penjajahan Belanda pada abad ke-19.
 
Isa Sulaiman beranggapan bahwa antara tahun 1945 hingga tahun 1946, konflik yang terjadi pada golongan bangsawan juga menjadi faktor yang menyebabkan beberapa struktur fisik wilayah Aceh berubah. Kawasan uleebalang IX mukim digolongkan ke dalam kecamatan Darul Imarah dengan Lampeuneureut Blang sebagai ibukotanya. Sejak saat itu, Lampeuneun dan kawasan-kawasan uleesusu lainnya menjadi bagian dari kecamatan Darul Imarah.
 
Sejak masa independen pula, tradisi-tradisi kegiatan meunasah mengalami modifikasi. Bahkan struktur meunasah pun berganti dengan struktur yang baru. Institusi tradisional Aceh mengalami perubahan dengan keberadaan gedung PKK bagi peningkatan aktifitas perempuan dan Posyandu yang bertujuan mengontrol keluarga berencana. Tambahan sistem pemerintahan Indonesia lainnya yang hadir dalam pusat desa seperti Lampeuneuret Blang adalah Puskesmas (pusat kesehatan masyrakat pembantu), BRI Unit Desa (Bank Rakyat Indonesia), KUD (Koperasi Unit Desa yang memfokuskan kerjasama antara rakyat dengan nelayan), dan PPL (penyuluh pertanian Lapangan).
 
Dalam hasil penelitiannya, Isa Sulaiman melihat bagaimana proses adaptasi antara meunasah dengan institusi pemerintah. Pada masa ini, setidaknya untuk desa yang dimaksud, meunasah telah memiliki institusi pendamping, yaitu: gedung PKK disebelahnya. Meunasah selain berfungsi sebagai tempat melaksanakan ibadah sembahyang wajib dan sunnah, senandungan dalael khairat, dan pusat belajar mengajar ilmu keagamaan, meunasah juga berfungsi sebagai pusat pembahasan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan pemerintahan Republik Indonesia, terutama yang berkenaan dengan pembangunan pertanian dan aspek-aspek lainnya.
 
Salah satu pertanyaan krusial dalam kajian ini adalah, apakah perubahan gampong Aceh ke desa menyebabkan pergeseran nilai dan fungsi gampong? Jawaban yang beliau temukan adalah tidak. Meskipun ada beberapa proses adaptasi yang tidak bisa disangkal, perubahan terhadap struktur dan fungsi gampong Aceh ternyata tidak begitu signifikan karena, menurutnya, meskipun keuchik saat itu telah diganti panggilannya menjadi kepala desa atau lurah, kenyataannya kepala desa tetap memenuhi fungsi sosialnya sebagai agen pemerintahan sekaligus kepala gampong Aceh secara tradisional.
 
Sebaliknya yang berkontribusi terhadap perubahan-perubahan digampong perkembangan transportasi dan media komunikasi dalam kehidupan masyarakat Aceh. Kedua perubahan diatas, meskipun berdampak pada pergeseran nilai-nilai tradisional, juga, disisi lain, menyebabkan pudarnya keterasingan
desa Lampeuneun dari kawasan luar bahkan lebih meningkatkan integritasnya dengan wilayah-wilayah di Banda Aceh.
 
Meskipun media komunikasi umumnya mempromosikan pembangunan-pembangunan pemerintahan baik dalam konteks sosial maupun politik bukan berarti ia telah membuka jalan yang lebih besar untuk mengenyampingkan kandungan lokal. Sebaliknya, media-media yang berbasis budaya dan adat Aceh juga tidak kalah berkembang. Contohnya, Serambi Indonesia merupakan sebuah media penggagas kebudayaan Aceh. Media yang masa eksis hingga hari ini, pernah menyediakan kolom berbahasa Aceh, puisi-puisi atau pribahasa berbahasa Aceh sekaligus menyediakan kolom pengajaran agama Islam. Contoh lainnya adalah Banda Aceh juga memiliki gedung siaran seperti Radio Kuta Kencana dan Radio Baiturrahman yang memiliki program siaran berbahasa Aceh dan pengajaran pendidikan Islam. Disamping itu, Pemerintah Indonesia juga telah membuktikan intensinya untuk merawat kebudayaan lokal lewat pemnebtukan LAKA (Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh).
 
Menimbang tulisan ini hadir di sela-sela ketakutan dan prasangka antara Pemerintah Indonesia dan Aceh, Apa yang coba diuraikan oleh Isa Sulaiman barangkali ditujukan untuk menciptakan jembatan damai, setidaknya dalam sebuah kolom sudut pandang, antara kedua pihak yang bertikai. Jika Beliau masih hidup hari ini dan melihat kedamaian telah terbangun, saya yakin, ada banyak hal yang akan Beliau lakukan demi menciptakan Aceh yang sejahtera dan sadar budaya, termasuk barangkali menciptakan solusi terhadap tantangan yang kadang-kadang mengancam fleksibilitas antara ideologi kebangsaan Indonesia dengan kebijakan-kebijakan lokal sebagaimana yang terlihat akhir-akhir ini.
Semoga Allah mengampuni dosa-dosa almarhum dan memberkatinya.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―