Hak Tanah Dalam Memori Klasik

Ada beragam memori kolektif masyarakat di Indonesia yang menyangkut dengan hak tanah. Pada masa sekarang atau tepatnya sejak nationalisme mengambil panggung utama dalam bernegara dan bermasyarakat awal abad ke-20, secara berangsur, tanah, gunung, hutan, dan udara berada dalam posesi penuh pemerintahan. Kemudian administrasi dan aturan-aturan baru lahir bagi rakyat yang ingin memiliki tanah, termasuk soal pajak dan ketentuan pembelian yang harus ditransaksikan langsung dengan pemerintahan terkait.
Bukan hal yang tabu bahwa pada dasarnya kinerja dan proses adminsitrasi pertanahan berlandaskan tata cara pemerintahan yang diwariskan kolonial. Laporan laporan berkaitan pengadilan dan keputusan hukum legal yang dijatuhkan pada terpidana pribumi menggambarkan, dalam beberapa aspek, kesamaan yang tidak bisa dipungkiri. Ketentuan-ketentuan pajak dan aturan lainnya berkaitan dengan pembelian tanah adalah salah satu contoh yang barangkali tidak sepenuhnya berakar dari budaya pribumi.
Dalam perbincangan saya dengan beberapa Abu Syik dan Nek Syik (orang tua uzur laki laki dan perempuan) dari Lamgugop dan Indra Puri di Aceh, saya mendapatkan betapa memori terhadap hak tanah pada masa lalu masih melekat dengan kuat. Pada hakikatnya, mereka mengeluhkan aturan pajak dan prosesi pembelian tanah-tanah. Salah satu Nek Syik yang biasa dipanggil Po Mah mengeluhkan bahwa ia memiliki tanah secara turun temurun dari kakeknya yang mulai dikenakan pajak semenjak periode kemerdekaan. Katanya:
“meunyoe jameun, tapeugleih tanoh tsoh meuuteun kajuet taduk hana tso peukaru teuh. Yang dilakee hasee
lampoh sagai diyu jok keu ureung uroh gampong.”
Terjemahannya:
“Kalau dulu, kita bersihkan pertanahan yang kosong dan berhutan sudah langsung bisa diduduki tanpa ada yang mengganggu. Yang dituntut hanya hasil perkebunan untuk diserahkan pada pengurus kampung.”
 
Keterangan ini sebenarnya sering kita dengar dari mulut para tetua yang sudah uzur. Bahkan nenek saya yang sudah berumur sekitar 80 tahunanpun masih mengingat hal yang sama soal tanah.
Apakah memori kolektif terhadap kepemilikan tanah ini benar?

Sebuah laporan akan keputusan terhadap kasus-kasus sipil yang telah disidangkan di pengadilan di kawasan-kawasan Selat Melaka menjelaskan bahwa tradisi kepemilikan tanah di atas menunjukkan kebenaran. Dalam laporan yang ditulis oleh kepala hakim, Sir. P.B. Maxwell, O.J.untuk kasus yang terjadi pada bulan Maret 1870 itu disebutkan:

“ (On possessing a land after clearing forest and swamp). A similar customs or laws prevailed in Sumatra. In Java every Javanese has the right to occupy uncleared land, paying for it by giving the state his personal labor on road making or similar public work, one day in five, or now under the Dutch one day in seven; and though it might seem unreasonable in England that one person should acquire an indefensible tittle to occupy the land of the other by felling his forest and ploughing the land, I think that, the circumstances of these countries, it is neither unreasonable nor impolite for the sovereign power to offer such terms to person willing to reclaim and cultivates its waste land.”
Terjemahannya:
“(Soal kepemilikan tanah setelah pembersihan hutan dan paya)… kebiasaan yang sama juga dipraktekkan di
Sumatra. Di Jawa setiap orang Jawa punya hak untuk menduduki tanah yang tidakterawat, membayar tanah tersebut dengan menyerahkan tenaga buruhnya dalam pembuatan jalan atau pekerjaan publik lainnya, satu hari dalam lima hari, atau sekarang di bawah Belanda satu hari dalam tujuh hari; dan meskipun nampaknya
ini tidak masuk akal di Inggris dimana seseorang harus punya gelar yang tak perlu dibela (baca:gelar tinggi) untuk menduduki tanah orang lain dengan membersihkan hutan dan membajak tanahnya, saya berpikir bahwa, ciri ciri negeri-negeri seperti ini bukanlah tidak masuk akal atau tidak beradab bagi kekuasaan yang
berdaulat untuk menawarkan persetujuan-persetujuan semacam itu bagi orang yang ingin mereklaim dan menanami tanah kosong itu”
Kalimat-kalimat di atas barangkali menunjukkan secelah kebenaran dalam memori kolektif masyarakat Aceh
khususnya, terhadap kepemilikan tanah. Dalam kalimat kalimat di atas juga dapat ditemukan bagaimana pemerintah pemerintah kolonial Belanda dan Inggris menambahkan aturan-aturan baru yang meguntungkan bagi rezim kolonial masa itu. Jika satu paragraf laporan di atas mengingatkan Anda pada tradisi gotong royong yang hampir punah, maka barangkali ada benarnya bahwa itu merupakan perkawinan
tradisi pribumi dan kolonial yang kemudian di sulap menjadi alat bernegara dan berbangsa dengan menghapus kebebasan tradisional dalam bertanah. Untuk membuktikan hal ini, penelitian lebih lanjut tentu sangat diperlukan.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk meminta pengembalian hak tanah klasik tetapi sekedar mengingatkan bahwa berbangsa dan berbenegara pada hakikatnya ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Jika tanah, gunung, dan hutan-hutan di Aceh telah menjadi milik negara, maka kewajiban pemerintah untuk menjadikan tanah-tanah tersebut aktif dan ditujukan untuk mobilitas dan produktifitas masyarakat tanpa dipungut biaya
yang tak masuk akal, maka dapat diyakini bahwa kepemilikan pemerintah terhadap tanah-tanah itu tidak melawan hak azasi manusia (baca: halal), artinya tanpa mengedepankan investasi investasi raksasa yang melibatkan destruksi hutan yang hanya menguntungkan pengusaha-pengusaha rakus dan sebagai gantinya mengundang musibah bagi rakyat lokal, tapi sebaliknya tidak lelah melibatkan para ahli dalam dan luar negeri untuk terus mencerdaskan masyarakat lokal akan proses kesejahteraan mereka dan anak cucunya.
*Mahasiswi sejarah dan peradaban pasca-sarjana Universitas Internasional Antarabangsa Malaysia
sekaligus relawan di Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki.
Telah terbit sebelumnya di www.acehtrend.co

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―