Miris dan lucu, ketika menemukan bahwa kejadian teraneh dalam
sepanjang sejarah perusahaan mobil Chevrolet Amerika itu ternyata terjadi di
Aceh. Ini berdasarkan laporan berita dari the Brownsville Herald,
salah satu koran tertua didunia yang masih eksis hingga hari ini.
Brownsville Herald (BH) adalah koran harian yag terbit dengan dua bahasa, Inggris
dan Spanyol, didirikan oleh perusahaan dengan nama yang sama sejak tahun 1901
hingga kini. Sebagaimana koran lainnya pada masa itu, publikasi BH berorientasi
pada berita kekinian dan laporan dari dalam dan luar negeri perihal ekonomi,
politik, dan sosial. Ini menurut kajian singkat Library of American Congress (chroniclingamerica.loc.gov).
Berita kocak nan satiris dari Langsa pun mendarat dalam
lembaran ke 11, bertanggal Mei 19, 1929, bertajukkan Chevrolet Has New
Incident (Insiden Baru Chevrolet), didampingi satu kolom foto berjudul
menggelitik, Chevrolet Delivered Peacemeal! (Chevrolet Dikirim
Sepotong-potong).
Sebagaimana diketahui bahwa pada periode Politik Etik
(1901-1942), hampir semua pelabuhan kunci di Aceh diblokade, termasuk pelabuhan
Meulaboh di bagian barat atau Langsa di bagian Utara. Tampaknya import mobil
Chevrolet ini mengikuti rute dagang hasil perkembangan territorial politik baru
saat itu. Untuk Sumatra misalnya terdapat Medan yang mulai menjadi kunci
pelabuhan baru bagi segala komoditas didunia, termasuk komoditas otomotif
seperti Chevrolet.
Setibanya di Meulaboh, badan mobil Chevrolet yang telah
dibeli dan dikirim dari Amerika itu harus dibongkar dan dibawa satu persatu ke
pihak pembeli, yaitu juragan Belanda yang sedang berada sejauh 220 miles (354
km).
Ya, Aceh tahun 1929, khususnya dari Sigli ke Meulaboh, sedang
dalam masa pembangunan infrastruktur rel kereta api. Berdasarkan berita dalam
koran diatas, terdapat 220 miles (354 km) jarak yang menghubungkan Sigli dan
Meulaboh. Rel kereta api yang sudah dibangun dari Meulaboh adalah hanya 50
miles (80 km). Selebihnya, setidaknya hingga Langsa, hanya ada jalan setapak
yang bisa dilewati pelayat berkuda atau pejalan kaki. Oleh karena itu tidak
mengherankan ketika mobil tersebut tiba, terdapat kendala untuk dikemudi karena
ketiadaan jalan.
*Jadi Tugas Kuli*
Nah, ternyata dalam kendala ‘delivery’ ini, jasa kuli
tampaknya menjadi satu satunya solusi. Tidak dapat dipastikan mengapa karafan
berkuda tidak dipakai. Barangkali kelamiahan sifat hutan rimba Aceh yang lebat,
terjal, dan dipisahkan oleh banyak anak sungai, yang menyebabkan masalah
efektifitas karafan.
Potongan-potongan Chevrolet, mulai dari ban mobil, tabung
silinder, mesin, dan badan, dijinjing satu persatu oleh kuli selama satu bulan,
melewati berbagai fisik alami hutan, termasuk bergantung pada tali kawat karena
harus menyebrangi sungai deras.
Kita perlu tau bahwa tidak seperti dikawasan lain yang
terlebih dahulu takluk dibawah Belanda dan kuli menjadi kelas bawah baru yang
menyaksikan timpangnya kebijakan politik dan militer secara 2 hingga 3 generasi
sejak tahun 1840an, kuli di Aceh baru tampak bertambah jumlahnya dalam periode
Politik Etik tersebut.
Politik Etik adalah kebijakan yang memusat pada program-program
kesejahteraan rakyat pribumi. Ini dipantulkan lewat akses sekolah, rumah sakit,
irigasi, kebijakan perkebunan, pertanian, dan pembangunan rel kereta api yang
semata-mata hasilnya untuk dinikmati rakyat pribumi jajahan (Brooshooft, 1901).
Politik Etik ini semakin banyak digagaskan sejak tahun 1880an
oleh pemikir Kristen Katolik socialist dan liberal Belanda seperti Hendrikus
Hubertus Van Kol (1852-1925), Cornelis Pijnaker Hordijk (1847-1908), Conrad
Theodore Van Daventer (1857-1915), dan Pieter Brooshooft (1845-1921) yang
belajar dalam masa jabatan politik soal kondisi keuangan pemerintahan Belanda
yang hampir bangkrut karena berperang dengan Aceh.
Karena alasan ini pula akhirnya Snouck Hurgronje mendukung
gagasan tersebut, meskipun dengan kondisi tertentu khusus untuk Aceh, yang
kemudian diproklamirkan secara resmi oleh Ratu Wilhelmina tahun 1901. Meskipun
begitu program kesejahteraan ini nyatanya tidak mengurangi angka kuli yang
bekerja dengan kontrak berat sepihak dan upah kecil di ladang-ladang gula,
kopi, dan pertambangan minyak dan emas, atau kuli-kuli yang dipakai untuk
membangun semua fisik konkrit program-program tersebut.
*Berperang tak lagi Pahlawan*
Tidak terdapat persoalan khusus dengan publikasi koran
diatas. Sebagai gantinya, terdapat gaya pernyataan yang menjadi tanda bahwa
zaman telah bertukar dari lama ke baru. Dari pemerintahan tradisional kesultanan
ke pemerintahan modern nan saintis yang penuh pembangunan.
Meskipun penulis koran ini menyadari bahwa masih ada perang
dinegeri ini, bahwa karena hal tersebut maka pembangunan tertinggal, Ia
menyampaikan bahwa pembangunan jalan perlu dilakukan demi bisa mengolah
tanah-tanah subur dan minyak Aceh, sebagaimana kutipan salah satu paragraf dari
halaman ini yang bertuliskan:
“One of the last provinces of the Dutch East Indies to
submit to Dutch Rule, Acheen has never been totally free from recurring outbursts
of trouble. As a result, progress has lagged. Because it is rich in oil and endowed
with fertile soil, steps have been taken by the government to penetrate it with
roads.”
Terjemahan:
“Salah satu provinsi terakhir di Hindia Belanda yang tunduk pada
Pemerintahan Belanda, Aceh tidak pernah benar-benar bebas dari ledakan masalah
yang berulang. Akibatnya, kemajuan menjadi terhambat. Karena kaya minyak
kemudian dikaruniai tanah yang subur, pemerintah mengambil langkah untuk
menembusnya dengan jalan.”
Paragraf diatas hanya menyampaikan fakta, dan tentu saja
tidak berfokus pada pikiran penulis soal perang. Tapi secara tersirat, pembaca
mendapatkan bahwa Barangkali pada masa ini, kepahlawanan lewat perang di
Indonesia dan Aceh, khususnya, tidak lagi lebih bernilai dari upaya-upaya
pemerintah Belanda yang membangun kesejahteraan untuk masyarakat pribumi,
terutama setelah Sultan dan pemimpin kunci lainnya secara popular diberitakan
telah menyerahkan diri pada tahun 1903.
Mesjid Suleymaniye, Istanbul, 18 November 2021
Lihat juga: https://www.acehtrend.com/2021/11/18/insiden-chevrolet-dan-kuli-di-aceh-1929/