Jejak Tamam di Gampong Pande

 

 

Sebagai orang Aceh yang datang dari kabupaten Lhokseumawe, aku tidak mengenal Gampong Pande hingga dua tahun setelah tsunami. Saat itu, tepatnya tahun 2007, aku diajak oleh seorang rekan kerja untuk ikut melihat prosesi peresmian pembangunan Gampong Pande, yang artefak sejarahnya selamat dari tsunami, sebagai kota budaya. Saat peresmian itu dilakukan baru ada satu plakat bundar bertorehkan kilas sejarah berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam.

Aku tidak menyadari bahwa acara peresmian yang dihadiri berbagai pejabat Ibukota provinsi lini 1 seperti Illiza Saadduddin Jamal dan aktris kawakan nasional pelakon Cut Nyak Dhien, Christine Hakim itu, ternyata didanai lewat anggaran dari BRR yang berjumlah 5 Milyar. Aku juga tidak menyadari ketika beberapa orang yang ditunjuk sebagai penuntun para hadirin memberi penerangan soal apa yang akan dibangun sambil menjajaki kawasan-kawasan di Gampong Pande dengan percaya diri yang tinggi dan semangat cinta sejarah yang mewarnai raut mukanya itu menjadi bagian dari korban penyalahgunaan sistem kalangan elit.

Plakat Gampog Pande, kredit foto detiknews.com

 

Pembangunan itu dipercayakan pada dua yayasan yang baru dibentuk pasca tsunami, dipentoli oleh orang-orang terbaik asal Aceh yang punya jaringan budaya intelektual di Pulau Jawa.  

Hingga tahun 2010, tak ada konkrit ‘budaya’ yang dibangun. Blue print arsitektur yang termasuk pemberdayaan Krueng Aceh itu gagal diwujudkan. Gampong Pande tahun 2008-2009 kosong dan tandus. Air bah hitam dari tsunami masih bisa tercium. Hewan ternak hanya satu-satunya yang menemani kesepian Gampung Pande. 

Hidup dan mata pencaharian masyarakat masih ‘senormal’ masa konflik dulu; melaut, mencari kerang, berternak, dan membuat kapal.   

Aku baru mengetahui kegagalan Proyek 5 milyar pasca tsunami itu dari laporan detiknews.com. Sarat korupsi dan indikasi penyalahgunaan kuasa. Laporan dibalas dengan laporan. Tidak ada pengadilan. Tidak ada tuntutan. Tidak ada tersangka. Tidak ada satu pun orang yang ditangkap untuk mempertanggungjawabkan.

Akhir tahun 2013, penemuan dirham emas di Krueng Doy Gampong Pande mengemparkan dunia maya dan nyata, dari nasional hingga internasional. Trimakasih untuk emak-emak pencari kerang yang pertama kali menjumpai peti dalam kondisi didiami belasan kerang. Masyarakat berduyun-duyun mengunjungi lokasi. Pihak keamanan bersigap. Elit kantor kementrian terkait lebih bergegas mengeluarkan tanggapan pada media. 

 

Dengan dalih ‘melindungi’ penemuan purbakala, Sungai Krueng Doy dijerat tali kepolisian. Pihak Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh (Dikbud) sepakat mengatakan akan meneliti nilai dan makna kesejarahannya dan menyarankan koin-koin sejarah ini disimpan di Museum Nasional atau Daerah (lihat:news.okezone.com). 

 

Foto kredit Serambinews.com

Tapi apa yang terjadi? Tidak terdengar khabar apapun setelah ini. Teman-teman dari lembaga swadaya masyarakat yang menggiati aktivitas nilai sejarah menyampaikan berita buruk soal koin-koin ini. Koin-koin tersebut telah dijual secara ilegal diperkirakan dalam beberapa gelombang pada kedai-kedai emas oleh orang-orang yang belum diketahui identitasnya. 

Pada tahun 2017, masyarakat digegerkan dengan seruan untuk melindungi benda-benda sejarah Gampong Pande yang dipercayai akan tergusur punah lewat program ‘Perkembangan’ yang dikenal dengan IPAL. Pada tahun 2015, Pembangunan IPAL di 1,6 hektar tanah bagi 5000 rumah mulai dianggarkan dengan dana 15 Miliyar dari APBN dan 2,3 Milyar dari Anggaran daerah. Pada tahun selanjutnya penganggaran dana untuk pembangunan ini mencapai 45 milyar begitu juga pada tahun 2017 yang mencapai keseluruhan 107,3 milyar (lihat: kompas.com).  

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani, bersama Wali Kota non-aktif Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal, dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono saat mengunjungi pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Gampong Jawa, Banda Aceh, Kamis (24/11/2016) / Foto dan caption credit Kompas.com)

Dengan petisi dan lobi-lobi negosiasi didaerah dan tingkat nasional, pada tahun 2017 IPAL dihentikan.
Dalam penghentian ini, tekanan dari rakyat biasa, Organisasi Sipil, dukungan media direspon oleh Irwandi Yusuf yang memegang kewenangan penuh pengembangan Aceh dengan menyetujui penghentian proyek tersebut bersamaan dengan dukungan dari Fadli Zon yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua DPR RI (lihat: serambinews.com)  

Tapi kemudian ketiadaan vokalitas seorang Irwandi Yusuf seakan berdampak ‘baik’ bagi kelanjutan proyek IPAL. Irwandi Yusuf didepak dengan kasus 1,5 milyar korupsi yang ia lakukan, dipercayai bukan untuk menggelemmbungkan kantong rumah pribadinya, tetapi untuk melancarkan pendanaan program marathon yang harus segera dituntaskan awal tahun 2019, sebuah resiko yang ia ambil karena harus menambal kelemahan sistem pendanaan program pemerintah provinsi Aceh yang kerap telat penggelontorannya hingga menjelang akhir tahun.

Dengan begitu banyak dokumen bocor yang menggambarkan indikasi penyalahgunaan anggaran dibawah penggantinya, Gubernur Nova Iriansyah yang dari partai nasional itu seakan memberikan lampu hijau bagi elit-elit rakus. Mereka terlihat lebih berani dan blak-blakan dengan bahasa dibuat seringan mungkin untuk melakukan apapun yang membahagiakan patron politiknya, termasuk menggerus Gampung Pande dan segala peninggalan sejarahnya.

Jika proyek IPAL betul-betul untuk masyarakat maka pemerintah kota perlu jujur mengakui bahwa secara umum, Aceh punya banyak masalah kebutuhan primer dan sekunder, termasuk pasokan air bersih dan listrik yang harusnya menjadi alasan untuk mengalihkan proyek IPAL dari Gampong Pande. Baru kemudian merancang kembali proyek kesejahteraan, dengan mempertimbangkan keseimbangan dan sinergisitas antara nilai-nilai kebutuhan benda-tak benda manusiawi dengan Perkembangan Pembangunan, tidak hanya bagi Gampong Pande dan kota Banda Aceh tapi juga bagi seluruh provinsi Aceh. 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―