Tiga tahun yang lalu, di sebuah lokasi Mesjid Raya Baiturrahman, seorang perempuan 30 tahunan terlihat menghisap dalam-dalam rokoknya. Sebagaimana puluhan perempuan lainnya yang lalu lalang di lokasi ini, aku juga mencuri-curi pandang. Perempuan penghisap rokok di hadapan publik adalah pemandangan yang tak biasa. Jika ini sebuah tayangan animasi, maka bentuk pikiran-pikiran negatif dapat dilihat berseliweran di kepala.
Meskipun ini dilakukan di area mesjid termegah di Aceh yang menjunjung penegakan shariat, tidak ada seorang pun yang mendekat dan menegur perempuan tersebut. Barangkali disebabkan oleh tidak populernya aturan shariat untuk perokok di Aceh. Bukan karena tidak ada yang merokok tapi karena tidak ada penekanan-penekanan melalui ijtihad-ijtihad ulama terhadap kebijakan kapitalisme, dalam hal ini kapitalisasi konsumer rokok yang dominannya adalah lelaki di salah satu provinsi termiskin Indonesia ini. Isu terakhir ini barangkali perlu dibincangkan dalam artikel terpisah yang lain.
Dari kejauhan ku mengawasi, mencoba menilai asal perempuan tersebut. Secara keseluruhan ia tampak sebagai seorang muslim yang tidak menjalankan ajaran-ajaran Islam. Ini berdasarkan penilaian terhadap selendangnya yang seakan ‘pasrah’ menutupi setengah kepalanya. Rambut keriting pendeknya dengan jelas dapat terlihat. Pakaian yang dikenakan hanya berupa kemeja kotak-kotak kekecilan dan celana hitam legging. Sesekali terpancar ketidak-nyamanan dalam pandangannya. Berbicara dengan Bahasa Indonesia yang kental dengan logat daerah luar, dengan mudah aku menyimpulkan bahwa ia adalah pendatang.
Seakan setuju dengan pikiranku, seorang ibu yang kebetulan berada di sampingku berujar; “kon ureung geutanyoe nyan. Kadang meuisembahyang tan” yang artinya: bukan orang kita. Mungkin sembahyang pun tidak (dijalankan). Aku hanya bisa tersenyum menanggapi. Nantinya kalimat ini menjadi getir karena meskipun rokok adalah hal yang tidak dianjurkan dalam shariat, pengacuhan pengetahuan yang ditunjukkan oleh mereka yang memahami agama nampaknya meninggalkan kesan yang tidak kurang buruknya. Apalagi setelah mengetahui bahwa ternyata perempuan perokok tersebut adalah seorang muallaf.
Pada akhirnya ku dekati perempuan tersebut dan kita berbincang-bincang, layaknya orang-orang yang baru saling mengenal. Ia Bernama Martha, meninggalkan Medan menuju Aceh dengan mimpinya untuk punya kehidupan rohani dan jasmani yang tenang dan bahagia, menganut Islam dan meninggalkan keluarganya. Dilahirkan Kristen tapi tidak percaya dengan ideologi ketuhanannya. Perceraian orang tuanya menghantarkanya dari rutinitas pendidikan yang padat ke pergaulan bebas.
Keyakinan agamanya tidak bisa menenangkan jiwanya, hingga pertemuannya dengan seorang lelaki Aceh yang menghadiahinya alquran dan buku-buku bacaan pedoman keseharian umat Muslim. Ia katakan, enggan membaca awalnya, tapi terjemahan ayat-ayat al Kaafirun membuatnya ingin menelaah lebih jauh. Orang tuanya tidak peduli. Kerabatnya tidak menyenangi perkembangan ini. Untuk melanjutkan hidup yang dia inginkan, Aceh menjadi tujuan yang menurutnya bisa membangun mimpi-mimpinya.
Namun, kenyataan hidup di sini kemudian ia sadari berlainan. Meskipun secara keseluruhan masyarakat Aceh cinta kedamaian, katanya, menopang hidup di Aceh, terutama jika ia orang luar dan tidak punya apapun, pekerjaan sulit untuk ditemukan. Satu sisi yang berbeda dengan Medan tentunya. Kenyataan ini semakin buruk ketika dikarenakan persoalan finansial, keinginanya untuk belajar Islam secara layak tidak bisa diwujudkan, padahal ia hanya berada beberapa puluh meter dari tempat yang katanya pusat Islam Aceh ini. Dalam perbincangan itu pula aku menyadari bahwa keberadaannya di mesjid ini juga berhubungan dengan upayanya mengumpulkan uang untuk bertahan hidup. Ia tidak meminta-minta di gerbang masuk masjid tapi bekerja sebagai penjaga kebersihan di area taharah perempuan.
Menyedihkan. Kenyataan di lapangan berbanding terbalik dengan wacana yang sambung-menyambung bagaikan lalapan api di media sosial. Juga menyedihkan, mereka yang tidak menjalankan ajaran Islam dengan benar dan tidak punya pengetahuan banyak tentang Pendidikan Islam merupakan kelompok yang paling keras suaranya menentang kebijakan-kebijakan shariat yang kontroversial. Kelompok ini sering kali dengan bangga berujar “kamoe sembahyang tan, tapi bek hina agama kamoe. Meunyoe kon parang kupeupo”.
Lewat kelompok ini pula, tindakan-tindakan radikal terjadi. Penggiringan dan penyesatan opini bisa dengan mudah diarahkan sesuai mata politik golongan tertentu. Pakar politik dan sosiologi tahu benar bahwa kelompok-kelompok ini sangat bermanfaat untuk ‘meluruskan’ permainan politik negeri tertentu. Tidakkah kita merasa lelah dengan kebanggan jahiliyyah seperti ini?. Tidakkah kita berpikir apa yang kita junjung membawa kemuliaan atau kemurkaan dari Allah?.
Kenyataan yang menimpa Martha hanya sekedar contoh yang paling sederhana yang real ada di sekitar kita. Barangkali solusi bagi para muallaf seperti ini adalah terdapatnya dukungan berupa organisasi yang berbasis motivasi moril dan immoril, dijalankan atas dasar tanggungan dari pemerintah sebagai bentuk tanggung jawab negeri pendiri shariat terhadap masa depan para muallaf.
Shariat Islam di Aceh merupakan hal yang fenomenal jika tidak dimanipulasi untuk kepentingan politik dan ditelanjangi oleh tindakan korupsi, baik secara materi maupun secara moral. Selayaknya dengan karakter masyarakat pedesaan yang dimiliki oleh Aceh, hubungan sosial antara sesama masyarakat sangat berperan dalam proses optimalisasi nilai-nilai shari’at. Dengan demikian kecacatan shariat yang terlihat dalam sektor-sektor publik dapat secara berangsur disembuhkan. Tidak perlu menyangkal dengan mengatakan sektor publik masyarakat Aceh telah sepenuhnya menganut nilai nilai shari’at. Jika memerlukan contoh, maka kebijakan-kebijakan yang dijalankan oleh sektor kesehatan, rumah sakit, pekerja-pekerja medis misalnya telah banyak mencerminkan ketidak-Islamian. Ini bukan hanya soal mal praktek kedokteran yang tak kunjung melihat pengadilan atau kebijakan orientasi uang pakar-pakar dokternya.
Orientasi penegakkan shari’at Islam harus dikembalikan pada porosnya di mana nilai-nilai tersebut dijalankan demi menyediakan kemudahan bagi hidup masyarakat dengan hak-hak mereka yang terpenuhi. Aceh bukanlah masyarakat yang modern, melainkan tradisional. Meskipun begitu, trandisionalisme Aceh punya peran tertinggi dalam pelaksanaan shari’at ini.
Oleh karena itu pengambil kebijakan di Aceh perlu bekerjasama dengan para ahli di setiap sektor publik masyarakat meskipun ahli tersebut harus digapai lewat partai oposisi. Sikap ini tidak menunjukkan pengerucutan kedaulatan melainkan perluasan kekuasan pemerintah. Setiap sektor publik di Aceh berhak mendapat hak untuk peng-Islamian kebijakan dan aplikasinya. Setiap institusi dan pekerja baik itu disektor kesehatan, Pendidikan, perikanan, perkebunan, pertanian, dan sektor sosial lainnya perlu melihat sisi baru kebijakan yang bernilai Islami, adil, dan bebas korupsi.
Sederhananya, pemerintah dan golongan ‘arus mainstream’ masyarakat harus mengerti bahwa akar penegakkan shari’at Islam bukan dilingkari oleh ‘boleh dan tidak boleh’, melainkan kelenturan yang mampu berjalan seiring perkembangan zaman
http://www.acehtrend.co/martha-syariat-dan-ketidaramahan-orang-aceh/