Beberapa sejarawan terkemuka
seperti Prof. A.H. John dan Prof. Anthony Reid mengakui bahwa kurangnya sumber
primer sejarah Aceh pada abad ke-18 menyulitkan para ahli dalam membangun
narasi-narasi sosial dan politik masyarakat Aceh yang memadai untuk kala itu. Abad
in adalah fase fase penting dimana peralihan catur permainan dagang dan politik
dunia bertukar dari tangan Muslim ke tangan kerajaan-kerajaan Eropa. Kekurangan
sumber ini menyebabkan adanya celah besar dalam konstruksi sejarah Aceh. Jika
pada abad ke-17 Aceh diketahui masih sedang dalam fase ‘peradaban’ sekaligus
fase awal mula keruntuhan, maka kekurangan sumber tertulis pada abad ke-18
menetralkan anggapan bahwa Aceh masih dalam proses keruntuhan. Lebih parahnya
lagi, rekod-rekod yang bisa dijadikan interpretasi sikap Aceh terhadap
perubahan itu tidak punya tebakan pasti.
kemudian langsung dihadapkan pada meruahnya sumber-sumber primer pada
pertengahan abad ke-19 yang diartikan dalam era perluasan hegemoni, penjajahan,
dan imperialisme Eropa sekaligus era keruntuhan entitas politik Aceh secara
menyeluruh.
seputar Barat muncul, narasi yang mewakilkan perspektif Aceh berputar pada ‘kemarahan’
terhadap hegemoni Eropa, Penjajahan, dan Westernisasi yang menimbulkan sikap
skeptikal dan agnostik terhadap segala apa yang berasal dari Barat. Persepsi
sinis terhadap zat-zat material dan immaterial yang dibawa Barat bagi generasi-generasi yang hidup saat ini barangkali salah satu implikasinya. Tentu tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa aspek Barat telah mengomandoi
perubahan-perubahan ekonomi dan politik diseluruh Negara-negara Muslim dan
non-Muslim di dunia, setidaknya hingga beberapa tahun terakhir.
sikap yang fleksible terhadap prinsip dan nilai Barat dan pada faktanya telah
mengadopsi demokrasi sejak 20 tahun lalu, bagi Aceh yang masih dalam pergulatan
untuk keluar dari mindset konflik dan penderitaan, segala hal yang datang merupakan fenomena
baru yang mulai memiliki beragam pengikut dengan gayanya tersendiri. Walaupun
begitu, meskipun dikatakan saat ini ada sekitar lebih dari 2000 lulusan Eropa,
suara-suara yang mengakomodir nilai-nilai Barat di Aceh sangat minoritas. Lebih
minoritas lagi adalah suara-suara dari kelompok yang berusaha menjembatani
nilai-nilai Barat dengan Islam yaitu, suara-suara yang tidak menolak
nilai-nilai dan aplikasi Barat tetapi mempercayai adjustasinya dengan nilai
Islam. Sayangnya, setelah Aceh diberi otonomi termasuk untuk hukum lokal,
pendapat-pendapat yang diterima oleh pihak berwenang cenderung masih dalam
prioritas tradisionalisme meskipun banyak pihak yang menyadari bahwa pedoman hidup pemerintah pasca damai hingga 12 tahun yang lalu adalah Hasan Ditiro, seorang yang merupakan produk perkawinan antara nilai-nilai Islam dan Barat. Padahal jika saja kita sudi untuk mendengarkan masyarakat biasa di perkampungan dan pedalaman, maka saya yakin bagi mereka traditionalisme atau bukan tidak menjadi persoalan mendasar namun yang mereka butuhkan adalah pergerakan dari stagnansi yang diakibatkan oleh konflik berdarah yang berkepanjangan. pergerakan dari stagnansi ini hanya bisa dilakukan dengan mengawinkan pencapaian Barat dengan nilai nilai moral Islam.
Apakah benar kondisi ini disebabkan oleh besarnya celah
kosong dalam sejarah Aceh sebagaimana yang terlihat sepanjang abad ke-18 hingga permulaan abad ke-19? Atau perspesi ini hanya dilatarbelakangi oleh stagnansi yang disebabkan oleh realita peperangan yang baru saja benar-benar berhenti 12 tahun yang lalu? Pertanyaan ini butuh kajian lebih mendalam.
masyarakat Aceh terhadap Barat bertitik pada narasi-narasi tidak harmonis yang didasari oleh kecilnya keingintahuan dan besarnya prasangka. Meskipun
begitu, perlu rasanya memijakkan pandangan pada realita yang telah disaksikan
oleh kakek, orang tua, dan kita sendiri bahwa Aceh bukan lagi sebuah Negara
tetapi telah mengerucut menjadi provinsi yang dikomandoi oleh Indonesia yang
prinsip kenegaraannya menembus multidimensional, bahwa nilai-nilai Barat telah
menjadi salah satu yang membentuk masyarakat kita sejak lebih dari seratus tahun yang lalu. Apa yang perlu dilakukan
sekarang adalah mengakui bahwa Aceh perlu jembatan (baca: kesetaraan) yang bisa menghubungkan
pandangan antara nilai nilai Barat dan nilai-nilai Islam. Jembatan ini perlu
dibentuk demi pembangunan yang damai dan progressif.