KALANGAN intelektual lokal umumnya percaya bahwa adat dan agama
di Aceh pernah berhasil berjalan beriringan dalam membangun sistem sosial dan
politik. Keyakinan ini pula yang nampaknya ingin diwujudkan melalui penegakan
shariah Islam di Aceh.
di Aceh pernah berhasil berjalan beriringan dalam membangun sistem sosial dan
politik. Keyakinan ini pula yang nampaknya ingin diwujudkan melalui penegakan
shariah Islam di Aceh.
Namun harus diakui, kekurangan sumber sejarah, sebagaimana yang
disadari oleh tokoh-tokoh modern di Aceh, menyebabkan sulitnya perancangan dan
penegakkan hukum yang sesuai dengan konteks sejarah masa dahulu sekaligus mampu
melahirkan analisa-analisa progresifitas yang menjembatani persoalan sosial dan
politik hari ini.
disadari oleh tokoh-tokoh modern di Aceh, menyebabkan sulitnya perancangan dan
penegakkan hukum yang sesuai dengan konteks sejarah masa dahulu sekaligus mampu
melahirkan analisa-analisa progresifitas yang menjembatani persoalan sosial dan
politik hari ini.
Tidak sama halnya dengan budaya Afrika yang mengalami proses
Arabisasi total, budaya Aceh tampaknya pernah berjalan secara fleksible dengan
budaya-budaya terdahulu, yaitu Hindu. Sulitnya memisahkan mana budaya Aceh yang
secara orisinil terbentuk setelah Islam datang dengan budaya-budaya Hindu yang
telah mengalami proses pengislaman adalah hal yang mendukung faktor diatas.
Arabisasi total, budaya Aceh tampaknya pernah berjalan secara fleksible dengan
budaya-budaya terdahulu, yaitu Hindu. Sulitnya memisahkan mana budaya Aceh yang
secara orisinil terbentuk setelah Islam datang dengan budaya-budaya Hindu yang
telah mengalami proses pengislaman adalah hal yang mendukung faktor diatas.
Budaya-budaya tersebut misalnya masih dapat disaksikan dalam
upacara-upacara sosial seperti peusijuk, Khanduri laot, Kanduri Blang, dan lain
sebagainya. Hukum-hukum Islam yang ditulis oleh ulama pada abad ke 17 hingga
abad ke 18 barangkali menjadi pedoman populer di Aceh jika membincangkan legasi
hukum yang diterapkan endatu.
upacara-upacara sosial seperti peusijuk, Khanduri laot, Kanduri Blang, dan lain
sebagainya. Hukum-hukum Islam yang ditulis oleh ulama pada abad ke 17 hingga
abad ke 18 barangkali menjadi pedoman populer di Aceh jika membincangkan legasi
hukum yang diterapkan endatu.
Merupakan asumsi yang popular bahwa persatuan adat dan agama di
Aceh telah dicerai-beraikan pada masa penjajahan. Setiap jari barangkali
menuding Snouck Hurgronje sebagai kurator hukum pribumi handal yang legasi
rekonstruksinya masih berlanjut hingga hari ini. Legasi dari
kebijakan-kebijakan yang berhasil membentuk paradigma permusuhan antara hukum
dan adat.
Aceh telah dicerai-beraikan pada masa penjajahan. Setiap jari barangkali
menuding Snouck Hurgronje sebagai kurator hukum pribumi handal yang legasi
rekonstruksinya masih berlanjut hingga hari ini. Legasi dari
kebijakan-kebijakan yang berhasil membentuk paradigma permusuhan antara hukum
dan adat.
Kejeniusan pikiran Hurgronje dan kondisi Aceh yang larut dalam
peperangan panjang menyebabkan praktik-praktik kebudayaan yang dibawa
turun-temurun menjadi hilang satu persatu. Lebih parahnya, ditambah lagi dengan
kealpaan sumber tulisan yang menvalidasikan realita hukum yang pernah berjalan
bersama kian mencuat, seakan menjustifikasi kebenaran asumsi penjajahan.
peperangan panjang menyebabkan praktik-praktik kebudayaan yang dibawa
turun-temurun menjadi hilang satu persatu. Lebih parahnya, ditambah lagi dengan
kealpaan sumber tulisan yang menvalidasikan realita hukum yang pernah berjalan
bersama kian mencuat, seakan menjustifikasi kebenaran asumsi penjajahan.
Akibatnya, prolifikasi tulisan Hurgronje terpaksa menggantikan
sumber pribumi dan menjadi satu-satunya peninggalan yang menjelaskan
praktek-praktek hukum dan etnografi Aceh akhir abad ke-19 dan dibaca oleh
banyak generasi Indonesia dan internasional hari ini.
sumber pribumi dan menjadi satu-satunya peninggalan yang menjelaskan
praktek-praktek hukum dan etnografi Aceh akhir abad ke-19 dan dibaca oleh
banyak generasi Indonesia dan internasional hari ini.
Pada hakikatnya, penjajahan Belanda tidak menjadi satu-satunya
sebab perceraian antara hukum Islam dan adat di Aceh. Tanpa disadari, budaya
Aceh telah melalui berbagai proses transformasi dalam kurun waktu lebih kurang
100 tahun terakhir.
sebab perceraian antara hukum Islam dan adat di Aceh. Tanpa disadari, budaya
Aceh telah melalui berbagai proses transformasi dalam kurun waktu lebih kurang
100 tahun terakhir.
Setelah ide-ide Hukum Hurgronje diberlakukan bagi kalangan
pribumi, budaya Aceh secara tidak langsung telah mengalami transformasi lain
yang secara alamiah didominasi oleh pemahaman dan praktek Islam import dari
Timur Tengah. Tentu perkembangan tersebut tidak terlepas dari pahitnya fakta
penjajahan di setiap penjuru negeri Muslim di dunia.
pribumi, budaya Aceh secara tidak langsung telah mengalami transformasi lain
yang secara alamiah didominasi oleh pemahaman dan praktek Islam import dari
Timur Tengah. Tentu perkembangan tersebut tidak terlepas dari pahitnya fakta
penjajahan di setiap penjuru negeri Muslim di dunia.
Sejak masa dibukanya Terusan Suez pada tahun 1869, interaksi
pribumi, terutama dari wilayah-wilayah selain Aceh, dengan Mekkah dan Madinah
meningkat secara signifikan. Wilayah yang juga disebut al-haramain itu berubah
menjadi tempat berkumpul yang krusial dimana setiap bangsa dengan kenyataan
sosial dan politiknya masing masing berbaur dan berbagi informasi.
pribumi, terutama dari wilayah-wilayah selain Aceh, dengan Mekkah dan Madinah
meningkat secara signifikan. Wilayah yang juga disebut al-haramain itu berubah
menjadi tempat berkumpul yang krusial dimana setiap bangsa dengan kenyataan
sosial dan politiknya masing masing berbaur dan berbagi informasi.
Pusat berkumpul lainnya adalah Kairo dan Hijaz yang merupakan
lokasi dimana ide Muhammad Abduh dan Rashid Redha mengkristal dan
dikulminasikan dikalagan pribumi, terutama ketika mesin percetakan dan
selebaran-selebaran koran menjadi kian biasa menyebar dari seluruh pelosok
negeri.
lokasi dimana ide Muhammad Abduh dan Rashid Redha mengkristal dan
dikulminasikan dikalagan pribumi, terutama ketika mesin percetakan dan
selebaran-selebaran koran menjadi kian biasa menyebar dari seluruh pelosok
negeri.
Tidak mengherankan jika kemudian periodikal-periodikal semacam al-Manar (Kairo),al-Munir (Sumatra
Barat), al-Huda al-Iqbal (jawa), al-Imam (Singapura)
dan lain sebagainya memenuhi penerbitan-penerbitan di Nusantara baik secara
terbuka atau rahasia. Kelompok ini diwakili oleh pejuang-pejuang reformis dari
Sumatra Barat, Melaka, dan Singapura yang terinspirasi oleh reformis-reformis
modernisme Timur Tengah seperti Jamal al-Din al Afghani (1838-1897), Muhammad
Abduh (1849-1905), dan Rashid Ridha (1865-1935).
Barat), al-Huda al-Iqbal (jawa), al-Imam (Singapura)
dan lain sebagainya memenuhi penerbitan-penerbitan di Nusantara baik secara
terbuka atau rahasia. Kelompok ini diwakili oleh pejuang-pejuang reformis dari
Sumatra Barat, Melaka, dan Singapura yang terinspirasi oleh reformis-reformis
modernisme Timur Tengah seperti Jamal al-Din al Afghani (1838-1897), Muhammad
Abduh (1849-1905), dan Rashid Ridha (1865-1935).
Menariknya, pada saat yang sama, pemikiran-pemikiran terhadap
purifikasi Islam yang mengakar dari reformasi di desa Najd, salah satu
perkampungan di Semenanjung Arab, oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792)
pada pertengahan abad ke-18, yang menemukan momentumnya sepanjang abad ke-19
juga tidak terkucilkan dari interaksi-interaksi dengan para jemaah haji yang
berada dikawasan Timur Tengah. Pemikiran yang lebih populer dengan sebutan
wahabi ini kemudian juga ikut dibawa ke Indonesia oleh mereka yang telah
menunaikan haji atau mereka yang telah menunaikan pendidikan ditempat tempat
tersebut diatas.
purifikasi Islam yang mengakar dari reformasi di desa Najd, salah satu
perkampungan di Semenanjung Arab, oleh Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1792)
pada pertengahan abad ke-18, yang menemukan momentumnya sepanjang abad ke-19
juga tidak terkucilkan dari interaksi-interaksi dengan para jemaah haji yang
berada dikawasan Timur Tengah. Pemikiran yang lebih populer dengan sebutan
wahabi ini kemudian juga ikut dibawa ke Indonesia oleh mereka yang telah
menunaikan haji atau mereka yang telah menunaikan pendidikan ditempat tempat
tersebut diatas.
Maka tidak mengherankan jika kemudian yang berkembang di kawasan
Indonesia adalah idealime yang lebih komplikasi, hasil dari telaah-telaah
tumpang tindih antara pemikiran dari pihak reformis yang berusaha menyesuaikan
modernisme dan agama dengan pemikiran pihak yang juga menyebut diri reformis
yang melawan segala manisfestasi penjajahan dan berpedoman pada pemusnahan
budaya-budaya lokal yang dituduh tidak Islami. Tanpa ingin mengingkari adanya
aplikasi bidah dalam beberapa budaya tertentu, tidak berarti ideologi-ideologi
untuk pemusnahan keseluruhan peninggalan budaya lokal dapat dibenarkan.
Indonesia adalah idealime yang lebih komplikasi, hasil dari telaah-telaah
tumpang tindih antara pemikiran dari pihak reformis yang berusaha menyesuaikan
modernisme dan agama dengan pemikiran pihak yang juga menyebut diri reformis
yang melawan segala manisfestasi penjajahan dan berpedoman pada pemusnahan
budaya-budaya lokal yang dituduh tidak Islami. Tanpa ingin mengingkari adanya
aplikasi bidah dalam beberapa budaya tertentu, tidak berarti ideologi-ideologi
untuk pemusnahan keseluruhan peninggalan budaya lokal dapat dibenarkan.
Berbeda dengan Aceh yang terus berada dalam kondisi peperangan,
Pulau Jawa yang telah terlebih dahulu tunduk pada penjajahan barangkali
menyebabkan betapa mudahnya penyerapan ide-ide versi Timur Tengah yang digaungkan
oleh para reformis-reformis disana. Itu disebabkan oleh impian mereka untuk
mengusir penjajah dari negeri sendiri sudah begitu lama tertunda.
Pulau Jawa yang telah terlebih dahulu tunduk pada penjajahan barangkali
menyebabkan betapa mudahnya penyerapan ide-ide versi Timur Tengah yang digaungkan
oleh para reformis-reformis disana. Itu disebabkan oleh impian mereka untuk
mengusir penjajah dari negeri sendiri sudah begitu lama tertunda.
Dan ide-ide yang mereka dengar dan baca dari seorang
revolusioner seperti Muhammad Abduh dan Rashid Redha telah mewakili apa yang
tidak mampu mereka tunaikan di negeri sendiri. Namun, mereka lupa, bahwa ketika
mereka kembali ke tanah air, ide-ide tersebut perlu diakomodasikan dengan
ketentuan-ketentuan budaya Islam lokal yang pada realitanya semakin
terpinggirkan.
revolusioner seperti Muhammad Abduh dan Rashid Redha telah mewakili apa yang
tidak mampu mereka tunaikan di negeri sendiri. Namun, mereka lupa, bahwa ketika
mereka kembali ke tanah air, ide-ide tersebut perlu diakomodasikan dengan
ketentuan-ketentuan budaya Islam lokal yang pada realitanya semakin
terpinggirkan.
Ketika ide-ide reformisme semakin mengaum di Nusantara pada awal
abad ke-20, perseteruan antara ulama tradisional terhadap ide modernisme yang
dibawa oleh para reformis tersebut, yang tidak hanya menganjurkan persatuan
antara ilmu pendidikan Barat dan Islam tapi juga mengajak pada perbaikan
pandangan keagamaan melalui jembatan-jembatan modern sekaligus penolakan
terhadap kurafat, kian menajam.
abad ke-20, perseteruan antara ulama tradisional terhadap ide modernisme yang
dibawa oleh para reformis tersebut, yang tidak hanya menganjurkan persatuan
antara ilmu pendidikan Barat dan Islam tapi juga mengajak pada perbaikan
pandangan keagamaan melalui jembatan-jembatan modern sekaligus penolakan
terhadap kurafat, kian menajam.
Tidak jauh berbeda dengan yang terlihat hari ini, hal-hal baru
yang dibawa oleh golongan yang disebut juga Kaum Muda tersebut dicemooh oleh
ulama tradisional yang bahkan sampai melabel mereka wahabi, antek kafir,
murtad, dan lain sebagainya. Tentang perseteruan ini saya kira, Hamka telah
mengulas dengan baik dalam bukunya, Ayahku.
yang dibawa oleh golongan yang disebut juga Kaum Muda tersebut dicemooh oleh
ulama tradisional yang bahkan sampai melabel mereka wahabi, antek kafir,
murtad, dan lain sebagainya. Tentang perseteruan ini saya kira, Hamka telah
mengulas dengan baik dalam bukunya, Ayahku.
Namun sebaliknya, jika respons ulama tradisional terhadap
perkembangan praktek-praktek wahabi sepertinya mendapatkan tempat yang lebih,
itu hanya dalam konteks melawan situasi penjajahan dan legasi yang
ditinggalkan, bukan disebabkan oleh ideologi wahabi dianggap sebagai ajaran
paling benar dari tuhan, apalagi karena ideologi bahwa orang Arab lebih
superior dalam mendakwahkan ajaran-ajaran Islam sebagaimana yang dipercayai
oleh beberapa orientalis Barat.
perkembangan praktek-praktek wahabi sepertinya mendapatkan tempat yang lebih,
itu hanya dalam konteks melawan situasi penjajahan dan legasi yang
ditinggalkan, bukan disebabkan oleh ideologi wahabi dianggap sebagai ajaran
paling benar dari tuhan, apalagi karena ideologi bahwa orang Arab lebih
superior dalam mendakwahkan ajaran-ajaran Islam sebagaimana yang dipercayai
oleh beberapa orientalis Barat.
Namun perlu diingat bahwa ketika dunia Muslim sedang bergelut
dengan perubahan ideologi semacam ini, Aceh masih merupakan kawasan yang paling
terisolasi, bahkan dari perjalanan haji sekalipun. Oleh karena itu, beberapa
perkembangan keagamaan yang terjadi perlu dibicarakan dengan meletakkan Aceh
diluar itu semua.
dengan perubahan ideologi semacam ini, Aceh masih merupakan kawasan yang paling
terisolasi, bahkan dari perjalanan haji sekalipun. Oleh karena itu, beberapa
perkembangan keagamaan yang terjadi perlu dibicarakan dengan meletakkan Aceh
diluar itu semua.
Meskipun ada komunitas yang menetap di Mekkah dan memiliki
jaringan dagang dan politik yang kuat di Penang dan Singapura, transfer ide-ide
semacam ini tidak mungkin bisa dilakukan dalam waktu singkat. Pada hakikatnya,
belum ada kajian extensif mengenai respon di Aceh terhadap reformisme Islam
pada abad ke-19.
jaringan dagang dan politik yang kuat di Penang dan Singapura, transfer ide-ide
semacam ini tidak mungkin bisa dilakukan dalam waktu singkat. Pada hakikatnya,
belum ada kajian extensif mengenai respon di Aceh terhadap reformisme Islam
pada abad ke-19.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa Aceh baru terekspos dengan
ideologi pembaharuan tersebut pada awal abad ke-20 sebagaimana yang terlihat
dari adanya kontak pendidikan dengan madrasah-madrasah modern di Sumatra Barat.
Atau ide reformis tersebut baru terlihat batang hidungnya sejak tahun-tahun
akhir penjajahan Belanda.
ideologi pembaharuan tersebut pada awal abad ke-20 sebagaimana yang terlihat
dari adanya kontak pendidikan dengan madrasah-madrasah modern di Sumatra Barat.
Atau ide reformis tersebut baru terlihat batang hidungnya sejak tahun-tahun
akhir penjajahan Belanda.
Ini bisa dibuktikan dengan keterlibatan Syeikh Muhammad Salim
al-Kalali (w.1946), seorang Arab dari Singapura yang wafat di Aceh. Bersama
dengan reformis terkenal lainnya, Syeikh Jalaluddin Thahir (1869-1956) dan Syed
Syeikh al-Hadi (1867-1934), ia mengkontribusikan sejumlah dana dan tulisan
untuk penerbitan al-Imam (1906-1909), sebuah koran yang terinspirasi oleh surat
kabar al-Manar dan koran-koran reformis lainnya. Sejauh apa peredaran koran ini
di Aceh belum dapat dipastikan.
al-Kalali (w.1946), seorang Arab dari Singapura yang wafat di Aceh. Bersama
dengan reformis terkenal lainnya, Syeikh Jalaluddin Thahir (1869-1956) dan Syed
Syeikh al-Hadi (1867-1934), ia mengkontribusikan sejumlah dana dan tulisan
untuk penerbitan al-Imam (1906-1909), sebuah koran yang terinspirasi oleh surat
kabar al-Manar dan koran-koran reformis lainnya. Sejauh apa peredaran koran ini
di Aceh belum dapat dipastikan.
Pasca kemerdekaan, seorang tokoh Aceh bernama Teungku Muhammad
Hasbi ash-Shiddiqi (1904-1975), seorang yang pernah berguru bahasa Arab dengan
Syeikh Muhammad Salim al Kalali, juga disenaraikan sebagai salah satu reformis
yang terinspirasi pembaharu pembaharu dari Timur Tengah.
Hasbi ash-Shiddiqi (1904-1975), seorang yang pernah berguru bahasa Arab dengan
Syeikh Muhammad Salim al Kalali, juga disenaraikan sebagai salah satu reformis
yang terinspirasi pembaharu pembaharu dari Timur Tengah.
Syeikh Ahmad Surkati (1874-1943) adalah seorang reformis dari
Sudan yang mengajar di madrasah al-Irsyad (Jawa) dimana beliau mengecap
pendidikan keduanya setelah dayah, sosok dan tempat yang disebut-sebut telah
membentuk perangai pemikiran keagamaanya yang moderat. Ini pun dikuatkan
kemudian dengan keputusannya menjadi anggota Muhammadiyah ketika kembali ke
Aceh. Tafsir al Bayan yang ia lahirkan telah menjadi rujukan keilmuwan Tafsir
di Nusantara hingga hari ini.
Sudan yang mengajar di madrasah al-Irsyad (Jawa) dimana beliau mengecap
pendidikan keduanya setelah dayah, sosok dan tempat yang disebut-sebut telah
membentuk perangai pemikiran keagamaanya yang moderat. Ini pun dikuatkan
kemudian dengan keputusannya menjadi anggota Muhammadiyah ketika kembali ke
Aceh. Tafsir al Bayan yang ia lahirkan telah menjadi rujukan keilmuwan Tafsir
di Nusantara hingga hari ini.
Tidak diketahui seberapa besar dampak pemikiran beliau kepada
rakyat Aceh. Namun fakta bahwa organisasi Muhammadiyah tidak mendapatkan tempat
yang istimewa dikalangan intelektual Aceh sendiri menuntun pada keraguan adanya
intervensi atau asimilasi pemikiran moderat as-Shiddieqy terhadap masyarakat
Aceh. Apalagi kemudian pada tahun 1951 ia memilih melanjutkan kariernya di
Yogyakarta.
rakyat Aceh. Namun fakta bahwa organisasi Muhammadiyah tidak mendapatkan tempat
yang istimewa dikalangan intelektual Aceh sendiri menuntun pada keraguan adanya
intervensi atau asimilasi pemikiran moderat as-Shiddieqy terhadap masyarakat
Aceh. Apalagi kemudian pada tahun 1951 ia memilih melanjutkan kariernya di
Yogyakarta.
Kepergian penjajahan Belanda dan Jepang dari tanah air secara
total pada tahun 1947 tidak lantas menyelesaikan segalanya. Banyak kawasan
termasuk Aceh, harus menjalani kebijakan-kebijakan warisan kolonial dan
terpaksa menghadapi realita untuk memperbaiki setiap sendi ekonomi, pendidikan,
politik, dan aspek-aspek lain yang telah terguncang sepanjang masa penjajahan.
Hingga saat ini pun, aspek-aspek diatas belum bisa disembuhkan sepenuhnya
secara merata di seluruh pulau di Indonesia, apalagi di Aceh.
total pada tahun 1947 tidak lantas menyelesaikan segalanya. Banyak kawasan
termasuk Aceh, harus menjalani kebijakan-kebijakan warisan kolonial dan
terpaksa menghadapi realita untuk memperbaiki setiap sendi ekonomi, pendidikan,
politik, dan aspek-aspek lain yang telah terguncang sepanjang masa penjajahan.
Hingga saat ini pun, aspek-aspek diatas belum bisa disembuhkan sepenuhnya
secara merata di seluruh pulau di Indonesia, apalagi di Aceh.
Namun disisi lain, sejak tahun 1960an, importasi ide-ide Islam
dari Timur Tengah semakin tak terbendungkan. Tanpa bisa dihindari,
panggilan-panggilan yang bernafaskan reformisme bercampur aduk dengan
suara-suara wahabi yang menyebabkan peningkatan analisa terhadap teks-teks
qurani yang merespon pada adjustifikasi modernisme di satu sisi, tapi disisi
lain juga menyebabkan penistaan terhadap bukti-bukti bahwa di Aceh, adat dan
hukum pernah bagaikan dua koin yang tak terpisahkan.
dari Timur Tengah semakin tak terbendungkan. Tanpa bisa dihindari,
panggilan-panggilan yang bernafaskan reformisme bercampur aduk dengan
suara-suara wahabi yang menyebabkan peningkatan analisa terhadap teks-teks
qurani yang merespon pada adjustifikasi modernisme di satu sisi, tapi disisi
lain juga menyebabkan penistaan terhadap bukti-bukti bahwa di Aceh, adat dan
hukum pernah bagaikan dua koin yang tak terpisahkan.
Mungkin kita ingat senarai perdebatan mengenai Islami atau
tidakkah peusijuk di Aceh yang sudah terdengar sejak tahun
1980an. Sebagian kalangan menolak bahkan melarang pelaksanaan peusijuk di Aceh,
sebuah budaya yang telah lama menjadi bukti kemampuan adat lokal berjalan
beriringan dengan agama. Pun hingga hari ini, masyarakat Aceh sendiri masih
terpecah belah dalam memahami dan mengaplikasikanpeusijuk.
tidakkah peusijuk di Aceh yang sudah terdengar sejak tahun
1980an. Sebagian kalangan menolak bahkan melarang pelaksanaan peusijuk di Aceh,
sebuah budaya yang telah lama menjadi bukti kemampuan adat lokal berjalan
beriringan dengan agama. Pun hingga hari ini, masyarakat Aceh sendiri masih
terpecah belah dalam memahami dan mengaplikasikanpeusijuk.
Tampaknya, keberlanjutan pengabaian lokalisasi budaya Islam
lokal di Aceh lebih banyak disebabkan oleh konflik kebijakan antara Indonesia
dan Aceh sejak awal tahun 1950an. Kemudian disusul oleh konflik lainnya yang
berlangsung selama 30 tahun. Kita tidak mungkin lupa, bagaimana para
pejuang-pejuang GAM atas nama Islam menghukum perempuan-perempuan di Aceh
karena pakaian mereka, membakar mall dan tempat-tempat yang dinilai tidak
Islami.
lokal di Aceh lebih banyak disebabkan oleh konflik kebijakan antara Indonesia
dan Aceh sejak awal tahun 1950an. Kemudian disusul oleh konflik lainnya yang
berlangsung selama 30 tahun. Kita tidak mungkin lupa, bagaimana para
pejuang-pejuang GAM atas nama Islam menghukum perempuan-perempuan di Aceh
karena pakaian mereka, membakar mall dan tempat-tempat yang dinilai tidak
Islami.
Namun disisi lain, mereka juga melarang anak-anak belajar
dibawah kurikulum Indonesia dan ikut terlibat dalam pembakaran sekolah dan
pemutusan sarana publik seperti listrik dan lain sebagainya. Selain itu, klaim
bahwa arak-arakan dan penelanjangan di sepanjang desa bagi penzina merupakan
ketentuan adat kampung, perlu dikaji kembali karena hingga saat ini dasar klaim
tersebut ini belum bisa ditemukan dimanapun kecuali secara oral, dan itupun
berasal dari mereka yang hidup selama masa pertikaian GAM dan RI.
dibawah kurikulum Indonesia dan ikut terlibat dalam pembakaran sekolah dan
pemutusan sarana publik seperti listrik dan lain sebagainya. Selain itu, klaim
bahwa arak-arakan dan penelanjangan di sepanjang desa bagi penzina merupakan
ketentuan adat kampung, perlu dikaji kembali karena hingga saat ini dasar klaim
tersebut ini belum bisa ditemukan dimanapun kecuali secara oral, dan itupun
berasal dari mereka yang hidup selama masa pertikaian GAM dan RI.
Tentu kita tidak patut menyalahkan apa yang terjadi pada masa
kelam ini pada satu pihak saja, karena perkembangan seperti ini secara alami
selalu mengekori sebuah peperangan.
kelam ini pada satu pihak saja, karena perkembangan seperti ini secara alami
selalu mengekori sebuah peperangan.
Namun, kesan yang ditimbulkan, secara langsung atau tidak, telah
membentuk paradigma masyarakat umum akan ‘metode’ penegakkan hukum Islam yang
masih terus melekat dalam memori masyarakat kita. Paradigma yang mirisnya,
semakin menambah daftar kealpaan fleksibilitas antara adat dan hukum Islam.
membentuk paradigma masyarakat umum akan ‘metode’ penegakkan hukum Islam yang
masih terus melekat dalam memori masyarakat kita. Paradigma yang mirisnya,
semakin menambah daftar kealpaan fleksibilitas antara adat dan hukum Islam.
Masih berlanjut hingga hari ini, ketidak-populeran budaya
tradisional dikalangan masyarakat bawah juga dipengaruhi oleh
kebijakan-kebijakan budaya pemerintah Indonesia yang tidak memberi ruang bagi
pelaksanaan-pelaksanaan aturan yang seharusnya didampingi dengan budaya-budaya
lokal. Misalnya undang undang pemerintahan desa tahun 1975 pasal 75 ayat 5 yang
tidak menyertakan fungsi keunchik dan imam sebagai dua bagian tidak terpisahkan
dalam budaya Aceh.
tradisional dikalangan masyarakat bawah juga dipengaruhi oleh
kebijakan-kebijakan budaya pemerintah Indonesia yang tidak memberi ruang bagi
pelaksanaan-pelaksanaan aturan yang seharusnya didampingi dengan budaya-budaya
lokal. Misalnya undang undang pemerintahan desa tahun 1975 pasal 75 ayat 5 yang
tidak menyertakan fungsi keunchik dan imam sebagai dua bagian tidak terpisahkan
dalam budaya Aceh.
Undang-undang tersebut meski telah diatur kembali dalam
UU/11/06, disusul kemudian dengan kebijakan pemerintah daerah yang tertuang
dalam qanun no 9 tahun 2008 tentang pembinaan kehidupan adat istiadat,
dan qanun nomor 10 tahun 2008, tentang lembaga adat, fungsi Imeum masih belum
bisa dijalankan sesuai dengan kandungan lokal.
UU/11/06, disusul kemudian dengan kebijakan pemerintah daerah yang tertuang
dalam qanun no 9 tahun 2008 tentang pembinaan kehidupan adat istiadat,
dan qanun nomor 10 tahun 2008, tentang lembaga adat, fungsi Imeum masih belum
bisa dijalankan sesuai dengan kandungan lokal.
Lebih menyedihkan lagi, perkembangan zaman menjadi sebab lainnya
mengapa memori adat dan hukum Islam di benak masyrakat Aceh kian terpinggirkan.
mengapa memori adat dan hukum Islam di benak masyrakat Aceh kian terpinggirkan.
Sebagaimana menurut Prof. Al-Yasa’ Abubakar dalam salah satu
tulisan dalam blognya, alyasaabubakar.blogspot.com, ada banyak generasi
Aceh yang tidak lagi mengenal cerita-cerita moral Islami dari hikayat-hikayat
Aceh secara khusus dari pihak dilingkungannya melainkan beberapa sahaja yang
mendengarnya melalui bacaan atau ceramah. Anak-anak tingkat TK/SD lebih mengenal
program program kartun popular dari televisi dan lebih dipengaruhi oleh
program-program semacam ini.
tulisan dalam blognya, alyasaabubakar.blogspot.com, ada banyak generasi
Aceh yang tidak lagi mengenal cerita-cerita moral Islami dari hikayat-hikayat
Aceh secara khusus dari pihak dilingkungannya melainkan beberapa sahaja yang
mendengarnya melalui bacaan atau ceramah. Anak-anak tingkat TK/SD lebih mengenal
program program kartun popular dari televisi dan lebih dipengaruhi oleh
program-program semacam ini.
Hari ini, masyrakat Aceh masih tidur dalam mimpi bahwa hukum dan
adat sudah berjalan sebagaimana mestinya di Aceh. Tapi pada kenyataanya, ada
banyak pseudo-teori asas hukum dan adat Aceh yang masih harus diperbaiki secara
bersama-sama, yang harus melibatkan setiap pemikir dan pekerja dari berbagai
bidang disiplin untuk merajut kembali apa yang telah lama hilang dan
mensosialisakan proses dan hasilnya kepada masyarakat bawah, dipinggiran kota
dan pedesaan yang telah lama tidak tersentuh dengan cahaya-cahaya pengetahuan
kekinian.
adat sudah berjalan sebagaimana mestinya di Aceh. Tapi pada kenyataanya, ada
banyak pseudo-teori asas hukum dan adat Aceh yang masih harus diperbaiki secara
bersama-sama, yang harus melibatkan setiap pemikir dan pekerja dari berbagai
bidang disiplin untuk merajut kembali apa yang telah lama hilang dan
mensosialisakan proses dan hasilnya kepada masyarakat bawah, dipinggiran kota
dan pedesaan yang telah lama tidak tersentuh dengan cahaya-cahaya pengetahuan
kekinian.
Setiap program rekontsruksi identitas harus melibatkan praktik
dan perspektif ke-Islaman lokal yang masih mampu dijejaki. Ini merupakan salah
satu jalan yang tidak hanya akan mencerdaskan bangsa tapi juga membangun jalan
menuju kemakmuan fisik dan mental. Â Â
dan perspektif ke-Islaman lokal yang masih mampu dijejaki. Ini merupakan salah
satu jalan yang tidak hanya akan mencerdaskan bangsa tapi juga membangun jalan
menuju kemakmuan fisik dan mental. Â Â