Mengomentari Walter D Mignolo Soal Dekolonialitas

Bekerjasama dengan badan kajian Theory from the Margins, Prof. Walter D Mignolo dua hari lalu baru saja menyudahi bincangan perkenalan untuk buku barunya yang akan terbit pada bulan Mei tahun 2021.Buku ini berjudul, the politics of decolonial investigations (Politik Penyelidikan Dikolonial). Ia adalah pemikir terkemuka yang melahirkan teori-teori dalam bidang dekolonisasi epistemik. Ia juga terkenal sebagai salah satu pendiri mazhab modernitas- kolonialitas dalam dunia ilmu sosial.

Ia menyadari bahwa pada dasarnya, topik dekolonialitas bukanlah tema yang baru muncul dalam 10 tahun terakhir, tetapi tema lama yang sempat usang dan tenggelam setelah perang dunia II, namun bangkit kembali dan menguat untuk merespon krisis peradaban Barat, termasuk yang dipicu oleh polemik yang terjadi di Amerika dan Eropa terhadap mantan-mantan generasi jajahannya seperti Afrika, Hispania, dan Asia akhir-akhir ini.

Jika Walter D Mignolo melandaskan inspirasinya pada Chicana-Chicano dan Carl Schmitt, maka kalangan intelektual di Malaysia, Singapura, Philipina, dan Indonesia telah terbiasa dengan pemikiran-pemikiran legendari keluarga al Attas, al Farouqi, San Jose, Farish a Noor, Ahmad Murad Merican dan lainnya yang menyuarakan signifikansi untuk merekonstruksi pemahaman seputar pengetahuan diri; sosial dan politik pemerintahan dan
masyarakat. Jika Mignolo menamai teorinya sebagai dekolonialitas, maka pemikir-pemikir Asia Tenggara mengenalnya dengan teori post-kolonialisme, Eurosentrisme dan Islamisasi Pengetahuan. Terlepas keterkaitannya dengan agama, inti dari upaya-upaya ini adalah sama; membangun kembali pengetahuan pribumi tanpa mutlak bersandar pada pengetahuan-pengetahuan warisan kolonialisme, baik secara institusi maupun tidak.

Lalu mengapa narasi dekolonialitas itu begitu hangat diterima saat ini? selain karena jawaban yang terlah tersebut diatas, barangkali jawaban lainnya adalah karena umat manusia sedang menyaksikan peningkatan krisis peradaban barat. Krisis yang dihasilkan oleh dampak modernitas seperti pengungsian, genosida, penolakan warga negara, dll,  yang mengorbankan tidak hanya muslim tapi juga menyinggung sejagat jiwa-jiwa non-putih.

Saat cendekiawan Asia Tenggara meretas konsep dan teori Islamisasi Pengetahuan, banyak yang pesimis dan sinis, namun banyak pula yang mengakui pentingnya rekonstruksi ini dilanjutkan. Barangkali jika ingin dipertegas, potret bias media, kriminalisasi dan diksriminasi terhadap umat Muslim terus berlangsung dalam setiap abad, yang baru jelas terlihat dan dimanuti selama era sosial media dimana masing-masing penduduk dibumi punya kuasa penuh terhadap akses informasi yang tak lagi dikendalikan oleh otoritas. Inilah yang melahirkan produktifitas konsep-konsep dan teori intelektual seperti diatas.

Dengan bangkitnya perhatian pada dekolonialitas, seakan membuktikan bahwa Islamisasi Pengetahuan tidak hanya dapat diterapkan untuk kaum Muslim tapi juga untuk beragam kaum yang berbeda.

Dalam durasi hampir dua jam perbincangan dengannya, ada beberapa aspek yang akan terus segar diperbincangkan. Itu adalah seputar kolonialitas dan modernisme.  

“Kolonialisme telah selesai. Tapi kolonialitas masih ada disegala penjuru”. Ini adalah kalimat salah seorang teman sejawatnya yang terus melekat dalam pikiran Mignolo. Kolonialitas secara spesifik ditujukan pada cara melihat dan menilai sesuatu ala kolonial, terbersit dalam bentuk pengetahuan personal, kelompok, dan negara yang secara mekanisme telah sekian lama merata dalam sistem pendidikan.

Kolonialitas, lanjutnya, tidak bisa dipisahkan dari modernitas. Begitu juga, modernitas tidak bisa dipisahkan dari kolonialitas. Untuk meraksasakan modernitas, maka harus ada kolonialitas. Jika bangsa Barat mencoba menaik-naikkan diri dengan mengatakan bahwa peradabannya telah dimulai sejak dari masa Yunani, maka itu adalah rekayasa yang dibangun kemudian (abad ke-19). Peradaban Barat akarnya ada pada masa Reinassance tahun 1789.

Rekayasa ini dibangun untuk melanggengkan keabsahan superioriti, hegemoni, dan monopoli ekonomi imperial dinegara-negara jajahan dan non-jajahan seperti Turki.

Pada akhirnya, Bangsa Barat harus mengakui adanya ‘abrasi’ modernitas, yakni ketika modernitas pada kenyataanya tidak bisa menyenangkan setiap orang.

Mignolo berpendapat sebelum peradaban eurocentrik, dunia sudah terlebih dahulu langgeng dengan peradaban polisentrik.

Politik dekolonial, menurutnya hanya bisa disembuhkan dengan koalisi dengan cara bersanding secara sejajar dalam pluraliversalitas.

Bincangan dekolonialitas sepatutnya tidak hanya terbatas antara mantan penjajah dan yang terjajah, namun juga bagi negeri-negeri yang tak sempat berada dalam penjajahan, seperti Turki. Kegelisahan sebagian bangsa Turki yang merasai keterikatan leluhur pada bangsa Yunani dan peradaban barat pasca terbentuknya sistem ilmiah dan analisa arkeologi begitu meninggi pada abad ke 20, terutama dengan realita tarik ulur pengakuan barat terhadap Turki sebagai bagian dari ‘keluarga’. Pengetahuan gen supreme ini juga bisa didapati di India yang meyakini geneologi Aryan (India putih) sebagai ukuran supreme order, setelah penguatan dari elaborasi kesejarahan dan arkeologi. Ini pula yang membentuk pandangan bahwa bangsa Dravidia (India Hitam) yang kebanyakannya di bagian India Selatan dikategorikan bangsa rendahan. Tentu ini juga tidak terlepas dari fakta keyakinan berdasarkan perbedaan kasta.

Jika dekolonialitas adalah soal pembaharuan matakunci pengetahuan dan reformasi sistem institusinya, maka setiap negara perlu merekonstruksikan kembali hal-hal yang tidak terinstitusi. Dan ini tidak semata-mata berarti kembali pada konservatisme, tapi juga bagaimana menciptakan kemajuan yang sesuai bagi setiap negara.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―