Restoran-restoran ‘fashion’ yang
gemegap, mobil-mobil mengkilap, dan sekolah-sekolah dengan cap ‘Islami’ kerap
membayang dipelupuk mata. Ini adalah fenomena baru di Aceh yang meresahkan.
Tiga hal berbeda yang muncul dari satu sumber persoalan, kapitalisme dan
konsumerisme.
gemegap, mobil-mobil mengkilap, dan sekolah-sekolah dengan cap ‘Islami’ kerap
membayang dipelupuk mata. Ini adalah fenomena baru di Aceh yang meresahkan.
Tiga hal berbeda yang muncul dari satu sumber persoalan, kapitalisme dan
konsumerisme.
Bagi masyarakat Aceh, menyeret
agama Islam demi keuntungan dan gaya hidup duniawi bukanlah hal yang perlu
dibincangkan karena mengambil keuntungan dan mengkonsumsi barang-barang
berlabel ‘Islami’ adalah kegiatan popular dan digandrungi. Bagi mereka, Islami
adalah gaya hidup yang wajib dijalani oleh setiap Muslim, termasuk dalam soal
keuntungan dan mencucurkan pembelian dari pasar-pasar berlabel Islami. Tidak
banyak tokoh-tokoh ekonomi Islam, terutama di Aceh yang mengkritisi gaya hidup
ekonomi Islami masyarakat sekitar. Oleh karena itu wajar banyak masyarakat yang
tidak mengerti se-Islami apakah gaya hidup yang sedang mereka lakoni tersebut.
agama Islam demi keuntungan dan gaya hidup duniawi bukanlah hal yang perlu
dibincangkan karena mengambil keuntungan dan mengkonsumsi barang-barang
berlabel ‘Islami’ adalah kegiatan popular dan digandrungi. Bagi mereka, Islami
adalah gaya hidup yang wajib dijalani oleh setiap Muslim, termasuk dalam soal
keuntungan dan mencucurkan pembelian dari pasar-pasar berlabel Islami. Tidak
banyak tokoh-tokoh ekonomi Islam, terutama di Aceh yang mengkritisi gaya hidup
ekonomi Islami masyarakat sekitar. Oleh karena itu wajar banyak masyarakat yang
tidak mengerti se-Islami apakah gaya hidup yang sedang mereka lakoni tersebut.
Alamiahnya, ekonomi itu universal.
Ekonomi mampu merangkul segala perbedaan, terlepas Anda muslim atau bukan,
ulama atau masyarakat biasa, ekonomi adalah hal penting yang secara natural
mendominasi target-target hidup. Dominasi dan fleksibilitas ekonomi ini
terkadang perlu menyeret agama demi menarik keuntungan. Oleh karena itu kita
banyak melihat bank-bank berlabel syari’ah namun sistemnya riba.
Perusahaan-perusahaan mendampingi pinjaman kredit namun biaya totalnya jadi
lebih besar, dan badan-badan managemen pendidikan swasta merancang sistem
Islami berbasis ‘dakwah’ namun harus dijalani dengan biaya semester yang besar
yang hanya bisa dilakoni oleh anak-anak pejabat dan lingkarannya.
Ekonomi mampu merangkul segala perbedaan, terlepas Anda muslim atau bukan,
ulama atau masyarakat biasa, ekonomi adalah hal penting yang secara natural
mendominasi target-target hidup. Dominasi dan fleksibilitas ekonomi ini
terkadang perlu menyeret agama demi menarik keuntungan. Oleh karena itu kita
banyak melihat bank-bank berlabel syari’ah namun sistemnya riba.
Perusahaan-perusahaan mendampingi pinjaman kredit namun biaya totalnya jadi
lebih besar, dan badan-badan managemen pendidikan swasta merancang sistem
Islami berbasis ‘dakwah’ namun harus dijalani dengan biaya semester yang besar
yang hanya bisa dilakoni oleh anak-anak pejabat dan lingkarannya.
Konsumerisme Syar’i
Bermobil mewah dengan status
hutang, hidup dengan makan di restoran ‘modern’, mendukung anak ke sekolah
Islam swasta adalah gaya hidup baru masyakarat di Banda Aceh dalam beberapa
tahun terakhir ini.
hutang, hidup dengan makan di restoran ‘modern’, mendukung anak ke sekolah
Islam swasta adalah gaya hidup baru masyakarat di Banda Aceh dalam beberapa
tahun terakhir ini.
Bagi pengamat masyarakat korban
konflik, perkembangan seperti ini bukanlah hal mengejutkan dan dipercayai
sebagai fase yang alamiah yang kerap dilalui oleh masyarakat yang baru pulih
dari konflik panjang. Masyarakat yang sebelumnya hanya melihat hutan dan
perang, tiba tiba dihadapkan pada inovasi inovasi kreatif dan canggih dengan
sumber dana yang banyak, tentu tergoda untuk mencicipi gaya hidup lebih tinggi.
Namun sebagaimana sifat-sifat kealamiahan yang lain dan dikarenakan fakta
lingkungan dan mesin sosial yang korup, pendidikan rendah dan kemiskinan yang
tinggi, implikasi ‘mudarat’ nya adalah lebih besar oleh karena itu agama menalikan
sifat-sifat alami tersebut dengan aturan-aturan fleksible mengikuti lingkungan
dan budaya masyarakat setempat.
konflik, perkembangan seperti ini bukanlah hal mengejutkan dan dipercayai
sebagai fase yang alamiah yang kerap dilalui oleh masyarakat yang baru pulih
dari konflik panjang. Masyarakat yang sebelumnya hanya melihat hutan dan
perang, tiba tiba dihadapkan pada inovasi inovasi kreatif dan canggih dengan
sumber dana yang banyak, tentu tergoda untuk mencicipi gaya hidup lebih tinggi.
Namun sebagaimana sifat-sifat kealamiahan yang lain dan dikarenakan fakta
lingkungan dan mesin sosial yang korup, pendidikan rendah dan kemiskinan yang
tinggi, implikasi ‘mudarat’ nya adalah lebih besar oleh karena itu agama menalikan
sifat-sifat alami tersebut dengan aturan-aturan fleksible mengikuti lingkungan
dan budaya masyarakat setempat.
Kendaraan-kendaraan mewah yang
semakin tinggi jumlahnya di Aceh tersebut berstatus hutang pada bank. Realita ini berangkat dari fakta bahwa prolifirasi profesi di Aceh sangat
terbatas. Rata-rata pekerjaan tetap adalah pegawai negeri sipil yang bergajikan
pokok antara 1,5 juta hingga 8 juta rupiah perbulan. Belum termasuk pendapatan sertifikasi yang mencapai belasan rupiah itu. Selebihnya didominasi oleh
profesi pedagang, petani, dan nelayan. Perusahaan-perusahaan produksi induk di
Aceh masih terhitung dengan jari. Dengan kondisi pemasukan seperti ini, siapa
saja dapat berargumen bahwa mobil-mobil berbagai macam yang kita lihat di jalan
yang hanya berkisar antara jutaan hingga milyaran itu tentu diperoleh dengan
cara hutang pada bank-bank ‘Syari’ah’. Apakah rata-rata masyarakat Aceh
berstatuskan penghutang membutuhkan kajian terpisah lainnya.
semakin tinggi jumlahnya di Aceh tersebut berstatus hutang pada bank. Realita ini berangkat dari fakta bahwa prolifirasi profesi di Aceh sangat
terbatas. Rata-rata pekerjaan tetap adalah pegawai negeri sipil yang bergajikan
pokok antara 1,5 juta hingga 8 juta rupiah perbulan. Belum termasuk pendapatan sertifikasi yang mencapai belasan rupiah itu. Selebihnya didominasi oleh
profesi pedagang, petani, dan nelayan. Perusahaan-perusahaan produksi induk di
Aceh masih terhitung dengan jari. Dengan kondisi pemasukan seperti ini, siapa
saja dapat berargumen bahwa mobil-mobil berbagai macam yang kita lihat di jalan
yang hanya berkisar antara jutaan hingga milyaran itu tentu diperoleh dengan
cara hutang pada bank-bank ‘Syari’ah’. Apakah rata-rata masyarakat Aceh
berstatuskan penghutang membutuhkan kajian terpisah lainnya.
Secara psikologis dan merupakan
naturalnya sifat kapitalisme, kepemilikan mobil selalu perlu dibarengi dengan ‘upgrade
fashion’ pengendaranya. Untuk masyarakat Aceh tentu sahaja kita bicara tentang
busana ‘Islami’ yang dipakai. Busana Islami telah punya trade mark tertentu
yang sangat popular dikalangan pecinta hijab Aceh. ‘Swag’ nya busana Islami ini
adalah terulur-ulur hingga diatas lutut dengan berbagai macam model rancangan
pada muka jilbab. Ada yang merupakan potongan fashion, ada pula yang ditemani
dengan blink-blink yang menekankan cita rasa ‘mahal’. Bagi sebagian khalayak,
fashionista ‘Islami’ ini belum klop jika tidak ditemani dengan make up
plus berkulit pucat trendy yang hanya bisa didapat dengan prosedur-prosedur
kimiawi nan klinis. Kegandrungan pada kulit pucat ini secara berangsur akan
mengkristalkan ‘standard cantik’ bagi masyarakat Aceh, terutama perempuannya,
yang dominannya berkulit asli hitam dan sawo matang, suatu penyakit mental yang
akan banyak ditemui dimasa depan. Upgrade
fashion ini juga dialami oleh pihak lelaki yang juga terbilang fashionista
dengan model rambut terkini dan penampilan ‘ternama’. Pakaian-Pakaian Islami
ini berkisar antara 800 ribu hingga jutaan rupiah.
naturalnya sifat kapitalisme, kepemilikan mobil selalu perlu dibarengi dengan ‘upgrade
fashion’ pengendaranya. Untuk masyarakat Aceh tentu sahaja kita bicara tentang
busana ‘Islami’ yang dipakai. Busana Islami telah punya trade mark tertentu
yang sangat popular dikalangan pecinta hijab Aceh. ‘Swag’ nya busana Islami ini
adalah terulur-ulur hingga diatas lutut dengan berbagai macam model rancangan
pada muka jilbab. Ada yang merupakan potongan fashion, ada pula yang ditemani
dengan blink-blink yang menekankan cita rasa ‘mahal’. Bagi sebagian khalayak,
fashionista ‘Islami’ ini belum klop jika tidak ditemani dengan make up
plus berkulit pucat trendy yang hanya bisa didapat dengan prosedur-prosedur
kimiawi nan klinis. Kegandrungan pada kulit pucat ini secara berangsur akan
mengkristalkan ‘standard cantik’ bagi masyarakat Aceh, terutama perempuannya,
yang dominannya berkulit asli hitam dan sawo matang, suatu penyakit mental yang
akan banyak ditemui dimasa depan. Upgrade
fashion ini juga dialami oleh pihak lelaki yang juga terbilang fashionista
dengan model rambut terkini dan penampilan ‘ternama’. Pakaian-Pakaian Islami
ini berkisar antara 800 ribu hingga jutaan rupiah.
Hal lain yang mengikuti gaya
hidup ini adalah bagaimana anda menghabiskan uang diluar. Untuk masyarakat Aceh
yang baru melihat ‘restoran-restoran modern’ yang baru masuk ‘kampung’, adalah
hal yang kolot jika tidak bisa duduk dan menyantap masakan dalam warung-warung
tersebut dengan harga berkisar antara 29,000 hingga 70,000 rupiah per-piring.
Apalagi jika restoran tersebut mengklaim sedekah hingga ke Somalia dan
Palestina untuk menyumbangkan keuntungan dari restoran modernnya yang dibangun
dengan biaya satu milyaran lebih. Tidak perlu diperbincangkan apakah keuntungan
tersebut diamalkan atau tidak. Yang terlihat jelas adalah, ‘berdakwah’ atau
terlihat ‘Islami’ adalah kunci untuk meraup keuntungan di Aceh.
hidup ini adalah bagaimana anda menghabiskan uang diluar. Untuk masyarakat Aceh
yang baru melihat ‘restoran-restoran modern’ yang baru masuk ‘kampung’, adalah
hal yang kolot jika tidak bisa duduk dan menyantap masakan dalam warung-warung
tersebut dengan harga berkisar antara 29,000 hingga 70,000 rupiah per-piring.
Apalagi jika restoran tersebut mengklaim sedekah hingga ke Somalia dan
Palestina untuk menyumbangkan keuntungan dari restoran modernnya yang dibangun
dengan biaya satu milyaran lebih. Tidak perlu diperbincangkan apakah keuntungan
tersebut diamalkan atau tidak. Yang terlihat jelas adalah, ‘berdakwah’ atau
terlihat ‘Islami’ adalah kunci untuk meraup keuntungan di Aceh.
Nah, setelah punya mobil dengan
hutang ’Islami’, fashionista Islami, dan makan di restoran Islami, gaya hidup
selanjutnya adalah mengirim anak pada sekolah-sekolah swasta Islami yang
memprioritaskan hafalan al-Quran. Sekolah-sekolah ini tidak terjangkau rakyat
miskin dan papa sebagaimana semestinya sebaliknya hanya mampu dijangkau oleh
mereka yang berpangkat dan PNS bergolongan atas.
hutang ’Islami’, fashionista Islami, dan makan di restoran Islami, gaya hidup
selanjutnya adalah mengirim anak pada sekolah-sekolah swasta Islami yang
memprioritaskan hafalan al-Quran. Sekolah-sekolah ini tidak terjangkau rakyat
miskin dan papa sebagaimana semestinya sebaliknya hanya mampu dijangkau oleh
mereka yang berpangkat dan PNS bergolongan atas.
Demikian menjamurnya
sekolah-sekolah swasta berlabel Islami berteknologi di Banda Aceh, yang seakan telah menormalkan
stigma bahwa sekolah Islam adalah belajar, menghafal al-Quran dan menutup
aurat. Stigma yang sayang sekali melekat bagi pendidikan anak Muslim yang belum
berumur baligh. Sebagaimana yang telah sangat familiar diketahui, bahwa
umur-umur sekolah dasar adalah masa-masa kunci penanaman etika dan moral yang
tidak bisa dibantu hanya dengan hafalan al-Quran dimana anak lebih ditekankan
untuk menghafal tapi akalnya belum bisa menjangkau makna terjemahannya. Tidak
juga dengan pemakaian hijab, yang ia tidak pahami sama sekali mengapa rambutya harus ditutupi, suatu gejolak yang akan ia hadapi saat remaja. Etika
dan moral yang dimaksud disini tidak hanya seputar adab dengan ibu bapanya,
temannya, tetangganya, tapi juga adab terhadap lingkungan, hewan, teknologi, dan
lebih penting terhadap dirinya sendiri. Adab untuk mengerti cinta pada dirinya
sendiri.
sekolah-sekolah swasta berlabel Islami berteknologi di Banda Aceh, yang seakan telah menormalkan
stigma bahwa sekolah Islam adalah belajar, menghafal al-Quran dan menutup
aurat. Stigma yang sayang sekali melekat bagi pendidikan anak Muslim yang belum
berumur baligh. Sebagaimana yang telah sangat familiar diketahui, bahwa
umur-umur sekolah dasar adalah masa-masa kunci penanaman etika dan moral yang
tidak bisa dibantu hanya dengan hafalan al-Quran dimana anak lebih ditekankan
untuk menghafal tapi akalnya belum bisa menjangkau makna terjemahannya. Tidak
juga dengan pemakaian hijab, yang ia tidak pahami sama sekali mengapa rambutya harus ditutupi, suatu gejolak yang akan ia hadapi saat remaja. Etika
dan moral yang dimaksud disini tidak hanya seputar adab dengan ibu bapanya,
temannya, tetangganya, tapi juga adab terhadap lingkungan, hewan, teknologi, dan
lebih penting terhadap dirinya sendiri. Adab untuk mengerti cinta pada dirinya
sendiri.
Oleh karena label Islami
sekolah-sekolah swasta ini, masyarakat Aceh menyambut dengan segenap hati
meskipun kemudian menyadari bahwa sekolah berlabel Islam ini mutunya hampir sama
dengan sekolah-sekolah negeri lokal. Selain kurikulumnya yang berbeda,
manajemen dan kualitas gurunya terlihat sejajar dengan sekolah lain
dilingkungan sekitar. Lebih buruk lagi, bukan berkonsentrasi pada peningkatan
mutu immaterial, sekolah ini, sebagaimana penuturan dari seorang guru
yang saya temui juga melakukan diskriminasi berbentuk bias gaji dan pelayanan.
sekolah-sekolah swasta ini, masyarakat Aceh menyambut dengan segenap hati
meskipun kemudian menyadari bahwa sekolah berlabel Islam ini mutunya hampir sama
dengan sekolah-sekolah negeri lokal. Selain kurikulumnya yang berbeda,
manajemen dan kualitas gurunya terlihat sejajar dengan sekolah lain
dilingkungan sekitar. Lebih buruk lagi, bukan berkonsentrasi pada peningkatan
mutu immaterial, sekolah ini, sebagaimana penuturan dari seorang guru
yang saya temui juga melakukan diskriminasi berbentuk bias gaji dan pelayanan.
Yang Tersingkir
Ekonomi rakyat lokal ambruk
ketika mereka tidak mampu bersaing dengan inovasi pasar import yang
dapat diperoleh dengan cara kredit. Misalnya, angka labi-labi di Aceh terlihat
turun drastis dikarenakan semakin banyaknya angka mobil pribadi import yang
dapat diperoleh dengan cara menghutangi bank. Begitu juga dengan kondisi
penarik becak yang kalah saing dengan efisiensi Grab yang lahir dari Singapura
atau Gojek yang lahir dari Jawa.
ketika mereka tidak mampu bersaing dengan inovasi pasar import yang
dapat diperoleh dengan cara kredit. Misalnya, angka labi-labi di Aceh terlihat
turun drastis dikarenakan semakin banyaknya angka mobil pribadi import yang
dapat diperoleh dengan cara menghutangi bank. Begitu juga dengan kondisi
penarik becak yang kalah saing dengan efisiensi Grab yang lahir dari Singapura
atau Gojek yang lahir dari Jawa.
Ini juga terjadi pada ekonomi
petani lokal yang secara perlahan ambruk ketika semakin tingginya import produk
dari luar Aceh, sebagaimana Medan merajai import pangan diwilayah Sumatra.
Pedagang-pedagang kecil yang membawa hasil panen langsung dari kampung dan
menjajakan dipinggiran jalan menghadapi akses pasar secara terbatas. Sepanjang pemerintah Aceh tidak mampu melahirkan dan mengontrol inisiatif-inisiatif baru bagi perkembangan
petani dan pedagang lokal, maka kesejahteraan mereka khususnya dan kesejahteraan
masyrakat umumnya akan sulit tercapai.
petani lokal yang secara perlahan ambruk ketika semakin tingginya import produk
dari luar Aceh, sebagaimana Medan merajai import pangan diwilayah Sumatra.
Pedagang-pedagang kecil yang membawa hasil panen langsung dari kampung dan
menjajakan dipinggiran jalan menghadapi akses pasar secara terbatas. Sepanjang pemerintah Aceh tidak mampu melahirkan dan mengontrol inisiatif-inisiatif baru bagi perkembangan
petani dan pedagang lokal, maka kesejahteraan mereka khususnya dan kesejahteraan
masyrakat umumnya akan sulit tercapai.
Untuk merawat ingatan, bermewah-mewah
mengebalkan hati terhadap kelompok lemah yang dalam Islam telah dikategorikan
dalam bentuk usia, kemiskinan, kerendahan literasi dan ketidakberdayaan fisik
dan mental. Anda tidak perlu terkejut jika melihat sekelompok keluarga tidak
lagi terperanjat saat melihat kemiskinan disekitarnya atau sebaliknya, terlompat
kegirangan penuh apresiasi saat melihat kekayaan, kepopuleran, dan jabatan
lebih tinggi yang muncul dilingkungannya.
mengebalkan hati terhadap kelompok lemah yang dalam Islam telah dikategorikan
dalam bentuk usia, kemiskinan, kerendahan literasi dan ketidakberdayaan fisik
dan mental. Anda tidak perlu terkejut jika melihat sekelompok keluarga tidak
lagi terperanjat saat melihat kemiskinan disekitarnya atau sebaliknya, terlompat
kegirangan penuh apresiasi saat melihat kekayaan, kepopuleran, dan jabatan
lebih tinggi yang muncul dilingkungannya.
Banda Aceh, November 2018