Ini adalah bahan perbicangan Tea Talk dengan pelajar-pelajar Aceh dan Riau di Istanbul pada hari ahad, 26 Januari tahun ini. Isi perbincangan itu saya angkat berdasarkan kajian Joshua Gedacht berjudul Holy War, Progress, and Modern Mohammedans in Colonial Southeast Asia (Perang Suci, Kemajuan, dan pengikut Modern Mohammad) yang dimuat Jurnal the Muslim World, Volume 105, Nomor 4 pada bulan Oktober 2015.
Joshua Gedacht adalah sejarawan muda pentolan Mc Gill Canada dan Wisconsin Madison Amerika. Ia sempat mengabdi sebagai peneliti di sebuah badan Penelitian di Singapura dan Universitas di Brunei Darussalam. Lingkup kajiannya melingkari minat sejarah Asia; kolonialisme, dekolonialisme, interkoneksi antar batasan, dsb. Saat ini Ia mengajar di Universitas Rowan Amerika.
Karyanya diatas berpusat pada fenomena perang sabil, reformasi dan konsolidasi pribumi pada ‘kemajuan modern’ dibawah pimpinan kolonial. Dalam keseluruhan 25 lembar halaman, ia membandingkan perkembangan ini pada dua kawasan; Aceh dan Mindanao.
Mengulik kajian ini, Gedacht berpedoman pada pendekatan arsip dan kepustakaan (Kualitatif) lewat berbagai laporan Belanda, surat-menyurat, koran, dan sumber sumber sekunder. Sayang sekali, penulis tidak berpedoman langsung dengan karya lokal misalnya, kitab-kitab Perang Sabi karangan lokal. Oleh karenanya tidak mengherankan jika tulisan ini bisa dikategorikan sebagai euro-sentrik.
Kajian yang bersangkutan berangkat dari naratif-naratif debat dikalangan para pemikir, barat dan timur, soal perang sabi dan jihad, yang sudah berlangsung sekian lama. Perdebatan ini hangat dibicarakan setelah peristiwa tragis 9/11 di Amerika.
Oleh karenanya ia seperti ingin memaknai perkembangan terhadap pembenaran dan pencemoohan ajaran perang sabi dan jihad sejak masa kolonial. Saat membaca narasi pada periode sensitif ini, ia kemudian menemukan dirinya pada realita transformasi naratif tersebut, diikuti dengan karakter baru (modern) yang disemat bagi muslim. Karakter-karakter tersebut saat ini dikenal dengan berbagai nama lain, yang bisa dikatakan berbeda namun secara sejajar bermakna sama.
Untuk kasus Aceh, menurut Gedacht, yang mengidentifikasikan pertama kali secara ilmiah soal muslim jahat dan muslim baik adalah Snouck Hurgronje. Pendapatnya kemudian seakan menjadi klimaks kepercayaan pemerintahan Belanda selama ini soal adanya Muslim Jahat, yaitu yang melawan pemerintahan dengan ideologi agamanya. Ini juga yang kemudian menjadi alasan langgengnya pemerintahan kolonial. Tidak sampai disitu, reformisme agama dan modernisme kemudian menjadi alat ampuh lainnya untuk tujuan yang sama. Untuk kasus Aceh, ini terlihat sejak ditegakkannya Politik Etik tahun 1901.
Singkatnya, Joshua Gedacht menggambarkan standard pemerintah kolonial dalam menandai Muslim Jahat, Muslim Baik dan Muslim Modern. Muslim jahat berstandard ilmu perang sabil dan jihad. Muslim baik harus diawali dengan berdamai dengan kolonial dan berkonsolidasi dengan sistem pemerintahannya. Muslim modern diakui setelah adanya fase standard Muslim baik kemudian dilanjutkan dengan inisiatif-inisiatif reformasi agama non-kekerasan; menyucikan agama, insyaf, dan terbuka terhadap material-material ‘pencerahan’.
Dalam konteks Aceh, ketiga grup ini secara serentak hidup pada masa yang sama. Dikarenakan berlainan haluan, konfrontasi terjadi. Konflik Muhammadiyah dengan uleebalang kolonial dan PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) adalah salah satu contohnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam karya ini.
Ketika konflik antar kelompok terjadi, peran media cetak sangat berpengaruh. Tidak seperti di daerah Jawa, koran-koran yang dicetak dan tersebar di Aceh dominannya di bawah kuasa kolonial. Oleh karenanya tidak mengherankan jika pemerintah kolonial menggunakan sarana ini untuk meluruskan keuntungan pemerintahan dari konflik –konflik yang terjadi di Aceh. Tidak mengherankan pula jika panah stereotip positif dibangun bagi kalangan ‘muslim baik’ dan ‘muslim modern’, namun tidak bagi kelompok satunya lagi.
Meskipun maksud Gedacht menyampaikan penemuannya tanpa bias, ada beberapa hal yang menurut saya kontroversial. Lewat kesimpulannya. Nilai perang sabi tidak mencerminkan ajaran agama Islam yang tepat. Oleh karenanya ia mendukung keberadaan kelompok-kelompok reformis yang menurutnya ‘meluruskan’ pemahaman agama yang seleweng tersebut. Ini barangkali dikarenakan oleh pemahamannya bahwa perang sabi itu sama berat dengan panggilan perang suci saat perang salib yang terjadi antara Kristen dengan Muslim.
Hal lainnya adalah, Gedacht tak terganggu untuk menjelaskan berdasarkan persepsi mereka yang terjajah. Ia tidak mengangkat persoalan utama perlawanan masyarakat yang bertumpu pada kehilangan tanah, angka kematian sipil, pelecehan traktat perdamaian, pelecehan hukum lokal, dan ketidak adilan lainnya yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Barangkali ini disebabkan sedikitnya sumber-sumber lokal yang digunakan.
Dia juga tidak menjelaskan mengapa ide perang sabi (juga insyaf) bangkit lagi setelah tahun 1940an sebagaimana yang disuarakan oleh penulis-penulis di koran-koran di Aceh yang menurut saya bukan serta merta menandakan perlawanan terhadap modernism, tapi malah sebaliknya.
Sebagaimana Abu Bakar Atjeh menyaksikan, panggilan panggilan perang sabi dan insyaf setelah tahun 1940-an itu didasari oleh kekhawatiran yang tinggi di kalangan masyarakat, tidak hanya di Aceh, tapi juga Indonesia, terhadap menjamurnya ide-ide atheisme dan rangkulan terhadap budaya dan nilai-nilai barat yang berlebihan. Modernisme pada realitanya berjalan lebih baik dengan identitas negeri masing-masing, dan identitas Aceh saat itu adalah nilai-nilai agama Islam.[]