Ragam Identitas politik pada non-Muslim

 


Sebagai seorang sejarawan yang mempelajari sejarah Aceh, perkembangan keagamaan yang kita lihat di Aceh semakin banyak yang bertentangan dengan apa yang tercatat dalam sejarah. Sejarah Aceh tak bisa dipisahkan dari gelombang-gelombang samudra yang menghubungkan berbagai benua. Layaknya lautan samudera begitulah hubungan Aceh dengan perbedaan. Dalamnya tak terukur, pecahnya demi menyatu kembali. Identitas Aceh tidak hanya bagian dari Muslim, tapi juga non-Muslim.

Akar Prasangka

Tapi mengapa banyak masyarakat Aceh saat ini mengabaikan keistimewaan ini? Diantara sekian banyak jawaban, perkembangan nasionalisme dan buku-buku sejarah post-kolonial adalah dua poin yang paling banyak mendapat perhatian. Nasionalisme adalah ideologi umat manusia yang memuja kebangaan kesukuan, tanah kelahiran, dan budaya leluhur yang menekankan batasan-batasan dan antipati pada unsur-unsur bersifat asing. Asal-usul ideologi ini dipercayai berasal dari akhir abad ke-18 dan memuncak abad ke-19, dari ajaran-ajaran Injil yang dikuasai oleh Mesin ekstrimis kekaisaran zionis Kristen Inggris demi memperadabkan India, Afrika, dan Asia Tenggara.

Nasionalisme di kawasan jajahan tumbuh bagai jamur bukan dikarenakan perubahan agama tetapi karena anti-kolonialisme. Ideologi nasionalisme menjembatani suara perlawanan terhadap rezim kolonial, namun ideologi ini juga yang menyebabkan masyarakat bekas jajahan dilingkungkan untuk
mengutamakan internalisasi kebangsaan diiringi dengan prasangka ilmiah terhadap unsur-unsur luar, termasuk pada masyarakat dan keturunan bersuku campur.

Aceh yang hamper 150 tahun dalam kondisi berperang menyebabkan alam bawah sadar menyimpan sensitivitas pada unsur-unsur konflik bersifat agama yang hanya menunggu petikan api untuk menyala. Unsur-unsur luar yang semakin disikapi dengan agama itu adalah faktor kelompok
asing Non-Muslim.  

Poin kedua adalah literatur-literatur pasca kolonialisme yang diterbitkan antara tahun 1945-1990 yang semakin banyak menonjolkan keutamaan kebebasan setara konstruksi ilmu sejarah, sosial, ekonomi, politik dengan nilai-nilai kepribumian dan menggugat pemaksaan standard-standard orientalisasi dan westernisasi. Bagi masyarakat Aceh, literature-literatur pasca kolonial yang paling berpengaruh diantaranya adalah karya Van Daalen, H.C. Zentgraff, Van der Velde, Denys Lombard, Anthony Reid, Muhammad Said, Zainuddin, dan banyak lagi. Karya-karya ini dinyatakan mampu berbicara mewakili pandangan-pandangan rakyat bekas jajahan secara lebih simpatetik. Literature-literatur ini juga yang mengebalkan cermin pengingat akan kejahatan ‘asing non muslim’ dan pengkhianatan masa lampau.

Yang alpa dan terus pudar adalah literatur-literatur yang mewakili hubungan lintas samudra, hubungan Aceh dengan agen-agen mobilitas luar. Sifat politik Aceh dengan dunia global yang pernah
ada dan memuncak dengan landasan Islam yang mengukur kompatibiliti tersebut telah lama tenggelam dan dilupakan. Maka, tidak mengherankan jika sekarang kita mendengar orang Aceh mengatakan “Pane na non-Muslim lam sejarah Aceh!” (tidak ada non Muslim dalam sejarah Aceh).

Non-Muslim adalah Bagian dari Kita   

Tidak seperti di Timur Tengah, Islam di Aceh tidak dibawa dengan perang melainkan dengan relasi dagang antar pesisir. Itu sebabnya mengapa hingga awal abad ke-17, masih ada kawasan pedalaman Aceh yang penduduknya belum mengenal Islam. Ini menandakan tidak ada pemaksaan dalam menganut Islam, namun Islam datang secara berangsur dan pasti lewat berbagai hubungan manusia. Sifat tanpa-perang dalam beragama ini diwarisi melalui relasi dagang antara pesisir Aceh yang terhubung erat dengan rute dagang dipesisir Selatan Yaman dan Selatan India. Jadi, saya tidak bisa lebih setuju ketika mendengar dalam salah satu ceramah Almarhum Ahmad Deedat yang lahir di Surat-India itu berujar, “Orang India itu Muslim toleran. Muslim Arab tidak. Mereka bahkan tidak mengijinkan mereka (non-Muslim) mendekati Mesjid.”

Berdasarkan keterangan Jao de Barros dalam catatan travelnya Casados da Asia, Pada abad ke-16, Patung umat Hindu masih berdiri tegak di Pasai. Ini bisa jadi menandakan adanya komunitas Hindu yang berdiam di Pasai sambil berdagang dan wara wiri di Samudra Hindia.

Ditambah lagi dengan kesaksian Augustine de Beauliue yang datang ke Aceh abad ke-17 itu soal Kampung-kampung non-Muslim yaitu Kampung Cina, dan Kampung Inggris di ibukota Aceh. Kita juga tidak lupa keberadaan Kampung Portugis di Lamno yang saat ini masih mendesak untuk dikaji lebih mendalam.

Antara tahun 1750 hingga 1850, Aceh menyaksikan peningkatan peran non-Muslim dalam Kesultanan Aceh. Thomas Forrest yang menemui Sultan Mahmud Syah dan Sultan Muhammad Syah pada paruh ketiga abad ke-18 menceritakan pertemuannya dengan seorang penterjemah Sultan, orang Yahudi bernama Abraham. Forrest tanpa malu-malu juga menyampaikan bahwa ketika ia menyerahkan kitab injil pada ulama kesultanan, ia bisa merasakan antusiasme dan penuh rasa ingin tau. Ia juga menyerahkan Sultan karya renaissance Voltaire yang terkenal sinis dengan agama namun beriman pada superioriti akal manusia itu. Atau juga mengenai bagaimana Forrest memainkan seruling dan biola dihadapan Sultan yang menyimak dengan penuh kekaguman.

Sultan Jauhar Al Alam yang menjabat antara tahun 1795-1823 itu tercatat bekerja lebih akrab dengan non-Muslim. Penasehat politik dan ekonominya adalah orang Denmark- Tranquebar dan Inggris bernama Francis L’Etoile dan Cuthbert Fenwick yang membimbing Sultan antara tahun 1810-1815. Sultan Jauhar al Alam juga mempekerjakan seorang penterjemah Arab-Kristen bernama Nathaniel Sabat. Belum lagi soal penyewaan militer Sepoy yang tidak semuanya Muslim itu.

Rival Sultan Jauhar al Alam, yaitu Sultan Saif al Alam, cicitnya Sultan Hadhrami, al Jamal al Layl dari awal abad ke-18 memiliki sederetan nakhoda perang non Muslim. Salah satunya adalah Richard Glassume, orang Amerika yang mengawal kapal Elphinstone milik Sultan dari serangan Inggris.

Kita juga tidak lupa bahwa Sultan termasyhur abad ke- 19, Sultan Ibrahim Mansur Syah mengirimkan dua pengantar surat non-Muslimnya ke Istanbul sebelum Muhammad Ghauth yang datang tahun 1849. Sultan juga berhubungan dekat dengan seorang Itali bernama Cesar Moreno yang menjadi semi diplomat Aceh antara tahun 1859-1867.

Saya juga ingin mengingatkan berdasarkan catatan koran yang terbit tahun 1873, ketika Aceh diserang Belanda, informan Inggris yang sedang berada di Aceh mengatakan perihal gereja yang dibangun tak jauh dari pusat Istana, sekaligus sejumlah penasehat Eropa, termasuk beberapa orang Denmark pada tahun 1874 yang kebablasan ditangkap oleh Belanda dikarenakan tuduhan komplot.

Sejarah mengajarkan bahwa Non Muslim tidak bisa dipisahkan dari bagian kita. Aceh kini melupakan budaya politik dan ekonomi luwes warisan leluhur yang jelas mengutamakan qualifikasi daripada jenis Agama dan Suku. Dan sebegitulah sepatutnya umat manusia dan peradaban saling membangun.

 lihat juga di  https://portalsatu.com/opini/2021/07/non-muslim-dalam-identitas-kita/

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―