Sekilas soal Opium masa Kolonial

Dalam sejarah Indonesia abad ke-19, narasi mengenai peran Opium dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat di wilayah ini nampaknya masih tidak begitu memuaskan. James R Rush, pengarang Opium to Java: Revenue Farming and Chinese Enterprises in Colonial Indonesia 1860-1910, barangkali merupakan satu satunya sejarawan yang memulai konsentrasi penelitian sekitaran Opium. Namun diskusi-diskusi dalam tulisannya hanya berpusat pada masyarakat di Java.  Selain Rush, Tagliocozzo dengan bukunya Secret Trade, Porous Border: Smuggling and States along Southeast Asian Frontier 1865-1915 juga telah memberikan narasi selangkah lebih maju meskipun catatan dan analisanya tidak banyak menguraikan perihal peran Opium dalam masyarakat di Aceh. Tulisan dibawah ini tidak bermaksud menonjolkan penemuan penemuan baru, namun sebaliknya hanya ditujukan sebagai bagian pengamatan awal untuk mendobrak minat terhadap kajian yang lebih mendalam. 
 
Opium dalam Gelanggang Sosial dan Politik Dunia
 
Sebelum berbicara soal opium dalam masyrakat Aceh abd ke-19, tidak ada salahnya jika tulisan ini dimulai dengan gambaran peran Opium di kancah sosial dan politik Dunia. Opium
(candu) bukanlah produk alam yang baru muncul abad terakhir ini, tapi telah
mewarnai lembar lembar catatan sejarah klasik Eropa dan Asia sejak ribuan tahun
yang lalu. Jika candu telah dikenal pada masa kekaisaran yunani kuno, Cina juga
diketahui telah terbiasa hidup berdampingan dengan candu sejak awal abad ke-8. Opium
memiliki berbagai bentuk seperti opium, marijuana, morfin, dan lain sebagainya.
Hingga abad ke-19, opium, morfin, dan marijuana adalah ‘kenikmatan’ yang paling
terkenal.Berangkat dari efek negative terhadap masyarakat,perselisihan politik,
dan perebutan monopoli perdagangan, opium mulai dilarang secara hukum pada abad
ke-19.
 
Opium
adalah bubuk yang dihasilkan dari tanaman poppi yang tumbuh hampir diseluruh
kawasan Eropa Barat. Akar pemakaian tanaman poppi dapat ditelusuri dari zaman
kekaisaran Yunani kuno dan Roma, Turki, Persia, Syiria, Iraq, dan Afghanistan.
Konon, tanaman ini tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan makanan sehari-hari dan
keperluan medis. Namun sejak akhir abad ke-18, bubuk poppi ini lebih terkenal
untuk dihisap seperti rokok zaman sekarang.
 
Sebenarnya,
dari sekian negara yang mengkonsumsi opium, masyarakat Cina diakui sebagai
peminat ekstrem rokok opium. Pengenalan fashion ini diawali dengan defisit
serius perdagangan Inggris dengan Cina pada tahun 1780an. Terjepit antara
krisis ekonomi, Inggris kemudian memperoleh ’solusi’ dengan perdagangan opium
India yang telah familiar dengan Cina sejak pertengahan abad ke-18. Terhitung
sejak awal abad ke-19, peminat candu di Cina meningkat drastis. Apalagi pada
saat itu campuran candu dengan tembakau menjadi bagian dari gaya hidup semua
kelas sosial. Tidak hanya Kaisar dan elit kerajaan yang mencintainya tapi juga
masyarakat biasa yang hidup diperkotaan dan pedesaan. Keterkaitan kronis dengn
candu ini kemudian menjadi penyebab utama melemahnya perekonomian dan lumpuhnya
perpolitikan Cina yang kemudian berujung dengan peperangan melawan opium pada
tahun 1839-1842 dan peperangan yang kedua pada tahun 1856-1860.
 
Di
Indonesia sendiri, tidak jelas kapan tepatnya wilayah ini bersentuhan dengan
penghisapan opium. Belum diketahui dengan pasti keberadaan opium di Indonesia
pada masa Portugis. Namun terdapat catatan laporan bahwa Belanda selama
berabad-abad sejak tahun 1677 membawa berkilo-kilo opium mentah ke Hindia Belanda.
Selain itu ada juga peninggalan korespondensiBelanda yang menggambarkan
peningkatan traffik perdagangan candu yang dimonopoli oleh Inggris dan Belanda
dikawasan Asia Tenggara, termasuk di Singapura, Semenanjung Malaya dan kawasan
Hindia Belanda pada abad ke-18. Jawa misalnya, berdasarkan tulisan Julia Lovell
(2011) diketahui telah menjadi salah satu pemasok opium bagi kapal-kapal dagang
Cina pada pertengahan abad ke-18, abad dimana kekuasaan Belanda kian menguat
disana. Middendorp (1929), menyebutkan Sebelum kehilangan kebebasannya, Negeri
Karo juga diketahui telah bersentuhan dengan perdagangan atau monopoli opium
dengan kerjasama Belanda.
 
Perdagangan
di Selat Melaka merupakan perdagangan yang dangkal dimana opium dapat
diselundupkan ke perairan Sumatra tanpa harus melalui monopoli Batavia. Secara
statistik, Singapura tampaknya merupakan fokus kegiatan semacam ini, sedangkan
Penang dan Malaka  punya andil dalam mendistribusikan candu-candu
tersebut.
 
Pada
hakikatnya, Belanda melakukan kesepakatan dengan Inggris terhadap monopoli
perdagangan opium dimana Inggris memegang kendali perdagangan opium di kawasan
selain Hindia Timur. Setelah Belanda mendapatkan kesepakatan sebagai penjual
utama candu di Hindia Timur, Opium
Society
dibentuk pada tahun 1754. Organisasi ini bergerak tidak hanya sebagai
pusat penyimpanan opium tapi juga bertanggung jawab mengontrol penjual-penjual
opium grosiran yang kebanyakannya dimiliki oleh saudagar-saudagar Cina yang
kaya. Baru kemudian pada tahun 1808, sistem pembelian dijalankan. Dalam sistem
ini Belanda menentukan daerah-daerah legal opium. Masyarakat di Jawa dan Madura
misalnya memiliki akses tak terbatas. Bersamaan dengan aplikasi aturan baru
ini, Belanda juga mengeluarkan kebijakan hukuman – dari denda berupa bayaran
hingga hukuman mati- bagi penjual penjual kecil dan pemakai di wilayah illegal
candu atau menyediakan candu tanpa melewati kesepakatan dengan Belanda.
Intrinya, Belanda mengendalikan secara penuh keuntungan yang didapat dari
perdagangan candu.
 
Opium di Aceh
 
Di
Aceh sendiri catatan peredaran opium banyak didokumentasikan selama masa
peperangan sejak tahun 1870an. Scheltema (1907) menyebutkan bahwa gedung yang
pertama dibangun Belanda ketika berhasil menapakkan kakinya di Aceh bukan
gereja atau sekolah melainkan sarang opium.
 
Scheltema
memaparkan beberapa paragrapgh dalam tulisannya The Opium Trade in the Dutch East Indies tentang bagaimana pemimpinmuslim
di Batam, Lombok, dan Sumatra menanggapi perokok candu. Katanya, jika
dibandingkan dengan pemikiran terbelakang orang kulit putih, pemimpin-pemimpin
tersebut menegaskan hukum pemakaian candu sama dengan minuman memabukkan.
Bahkan di Banten, candu memiliki hukum yang sama dengan judi, fitnah, dan lain
sebagainya. Sebaliknya, katanya lagi, orang kulit putih yang tahu persis
manfaat dan kerugian opium mempopulerkan opium hanya untuk kepentingan politik
dan ekonominya.
 
Pantauan
Scheltema tersebut sepertinya dapat dipertahankan menimbang adanya
catatan-catatan sejarah yang mendiskripsikan sikap pemimpin di Aceh terhadap
pemakai opium sebagaimana yang ia gambarkan. Pecandu di Aceh diketahui
mendapatkan hukuman mati. Misalnya, Teuku Muda Nyak Malim, seorang uleebalang,
pedagang, anggota Dewan Delapan sekaligus ulama Simpang Ulim pernah menghukum
penghisap candu dengan hukuman mati. Hukuman serupa juga sudah terlebih dahulu
ditegakkan ketika Habib abd al-Rahman al-Zahir menjabat malikul Qadi di Aceh
pada pertengahan abad ke-19. Meskipun hukuman yang diberikan sangat berat,
penyelundupan opium masih terus dilakukan tidak hanya oleh Belanda tapi oleh
kalangan pejuang-pejuang Aceh sendiri yang terjepit dengan kondisi peperangan
 
Dalam
sebuah surat kabar yang beredar di Nusantara bertahun 1874, Dewan Delapan
(sebutan yang diberikan oleh Anthony Reid), organ diplomasi kesultanan Aceh
yang bermarkas di Penang diketahui  menyelundupkan tidak hanya amunisi
tapi juga opium ke Aceh. Petugas mariner Hindia Belanda A. J. Kruijt menyatakan
bahwa Belanda tidak mampu mencegah sekutu Belanda, raja-raja di pesisiran Aceh,
untuk tidak menyelundupkan opium kepada pejuang-pejuang Aceh. Pedagang Cina
yang datang dari Penang juga diketahui ikut menyelundupkan opium. Lebih jauh
lagi, Tagliocozzo (2005) menyebutkan bahwa berdasarkan catatan yang didapat
dari mata-mata Belanda, opium terus tersedia bagi pejuang-pejuang Aceh dan
harganya meningkat drastis jika dibandingkan ketika sebelum terjadinya
peperangan.  Padahal Belanda telah melarang peredaran dan konsumsi opium
secara resmi dan wilayah pesisiran Aceh telah diblokade sejak 3 tahun belakangan.
 
Mengapa
penyelundupan opium terus menerus terjadi sedangkan Belanda dan Aceh sama sama
telah megeluarkan pelarangan konsumsi opium?.Sejauh pengamatan saya ada
beberapa alasan untuk menjawab pertanyaan ini. Opium mengandung zat morphine
yang melahirkan kondisi analgesic. Ia memberikan rasa kebal sakit bagi
korban-korban perang yang terluka. Dalam kondisi perang dan blokade dagang yang
dijalankan Belanda, pejuang-pejuang Aceh dipastikan kesulitan untuk mendapatkan
dokter yang layak atau bepergian menuju rumah pesakit. Rumah pesakit
sebagaimana diketahui hanya ada di kawasan pos militer Belanda. Opium menjadi
satu-satunya jalan untuk dapat mengobati korban-korban perang.Julia Lovell
(2011) juga menyebutkan opium mampu memperlambat proses pencernaan, akan baik
bagi penderita diare atau disentri. Ia juga dapat meringankan batuk.
Pertimbangan medis semacam ini adalah alasan yang pertama. Alasan yang kedua,
opium dapat difungsikan sebagai taktik untuk menjatuhkan kekuatan militer
Belanda. Bukan hal yang tabu jika opium seringdigunakan sebagai salah satu
racun untuk membunuh lawan apabila diberikan dalam dosis kuat yang menyebabkan
hilangnya kesadaran, tidak hanya melalui minuman atau makanan tapi juga melalui
tembakan. Tembakan ini menyebabkan lumpuhnya kontrol saraf kepala yang
mengendalikan pernapasan hingga menyebabkan kematian. Taktik seperti ini pernah
dialami oleh seorang pangeran Cina. Yang ketiga, opium juga dimanfaatkan
sebagai pengganti bayaran untuk memperoleh persenjataan demi melawan Belanda.
Ada beberapa daftar pedagang Cina yang tercatat dalam laporan Belanda yang membantu
penyelundupan opium dari Aceh untuk dijual di Penang atau sebaliknya. Sebagian
laporan ini telah dikonsultasikan oleh Eric Tagliocozzo dalam dissertasinya ‘Secret Trade of the Straits: Smuggling and
State Formation Along the Southeast Asian Frontier 1870-1910’
yang
diselesaikan pada tahun 1999. Dikarenakan sumber yang tidak mencukupi,
argumen-argumen diatas perlu ditelaah kembali.
 
Sebagaimana
halnya Belanda mengerti manfaat-manfaat candu seperti yang tercantum diatas, keberadaan
opium bagi mereka lebih dari sekedar medium pertolongan medis. Perdagangan
opium mampu membiayai perang terhadap pembangkang-pembangkan di Aceh sekaligus
melemahkan sendi-sendi sosial dan agama masyarakat koloninya.
 
Disisi
lain, saat dunia masih belum dapat dipisahkan dari ketergantungan terhadap
opium, tanaman Marijuana (ganja), berdasarkan penemuan Eric Tagliocozzo, sudah
mulai menjajaki Asia tenggara antara tahun 1870 hingga 1910. Tidak sepopuler
penyelundupan opium yang telah diregulasikan peredaran dan pelarangannya oleh
Inggris dan Belanda pada paruh ketiga abad ke-19, marijuana dapat dengan mudah
dibawa dan ditanam dikawasan-kawasan potensial. Belanda adalah bangsa Eropa
pertama yang menanam bibit marijuana di Aceh. Sebagaimana Belanda lebih
mementingkan perluasan sarang opium, marijuana juga mendapatkan perhatian yang
sama.
 
Marijuana
umumnya ditanam dan dipanen di kawasan Selat. Pada masa itu, marijuana lebih
terkenal dalam bentuk adonan atau cairan kental seperti selai yang dapat
dikonsumsi dengan apa saja. Pada akhir abad ke-19 atau lebih tepatnya pada
tahun 1898 Inggris mengeluarkan larangan pemakaian dan perdagangan ganja yang
baru efektif pelaksanannya setahun kemudian. Larangan ini diperuntukkan hanya
terhadap jenis cannabis. Meskipun
begitu, peraturan tersebut tidak bisa menghentikan penyebaran marijuana dan
pertaniannya masih terus berlanjut di beberapa kawasan di Nusantara hingga saat
ini.
Daftar Bacaan
Middendorp, W. (1929). The Effect of
Western Influence on Native Civilization in the Malay Archipelago, Dr. B.
Schrieke (ed). The administration of the
outer provinces of the Netherlands Indies
, (34-70). Batavia: G.Kolff &
co.
Lovell, Julia, (2011),the Opium War: Drug, Dream, and the Making
of China
, London: Picador & Macmillan Distribution.
Tagliacozzo, Eric. (2005). Secret trades and porous borders: smuggling
and state along Southeast Asian frontiers, 1865-1915
. USA: Yale University
Press.
Reid,
Anthony. (2005). Asal mula konflik Aceh:
dari perebutan pantai Timur Sumatra hingga akhir Kerajaan Aceh abad ke-19
,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Scheltema, J.F, (July, 1907), The Opium Trade in the Dutch East Indies
dalam American Journal of Sociology, Vol.3. No1., p. 79-112. Diunduh tanggal 29
Maret 2016 di
http://www.jstor.org/stable/2762537?seq=1#page_scan_tab_contents

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―