Sejak berabad-abad, arus manusia yang datang dari India Selatan dikenal sebagai Keling, khususnya oleh orang-orang pribumi seperti di Indonesia dan Malaysia. Ayah saya yang berasal dari Meureudu mengingat memori oral dari orang tua di kampung soal ‘Ureung Kleng’. Memori itu sama sekali tidak mencerminkan stereotip-stereotip negatif. Barangkali ini dikarenakan realita bahwa orang Keling telah berperan secara signifikan bagi Aceh. Keberadaan Keling dalam literature primer Aceh dan Asing terhitung cukup untuk menggambarkan kontribusi Keling di Aceh. Jejak mereka dapat ditelusuri melalui rekaman pelayar dan agen dagang Eropa yang mengunjungi Aceh antara tahun 1700-1899.
Dua hal yang paling penting adalah kesadaran Sultan akan keunggulan Keling masa itu. Sultan Muhammad Syah (1781-1795) misalnya menanyakan pada Thomas Forrest mengenai “Benua Keling”. Sultan Muhammad Syah yang dapat berbahasa Perancis mengerti bahwa benua Keling (Koromandel) sedang dikendalikan oleh bangsa Eropa yang kerap memanfaatkan skill dan fleksibilitas orang-orang Keling dalam berdagang, merawat barang dagangan, membangun kapal, serta pengetahuan Jaringan geografi komersial Samudra Hindia dan Teluk Bengal masa itu. Tanpa Orang Keling, terutama Inggris tidak dapat menjangkau tingkat kekayaan secara economi dan menggenggam kuasa lunak secara politik di India dan Nusantara pada periode ini.
Kelompok keluarga di Aceh yang berasal dari golongan masyrakat Keling biasa dilihat dari budaya panggilan kehormatan seperti Sidi, Faqir (Fakeh), Leube, Poh (Poh Salleh, Poh Rahman), Sab (sahib), Marikan, Ghauth (Ghouse, Ghawth), Panton, Cunda, Tambi, Sally, Malim, dan Nayinar.
Keling dikenal tidak hanya beragamakan Hindu tetapi juga Muslim. Keling Muslim bergerak lebih cair dalam urusan perdagangan dan perpolitikan. Ini barangkali ditenggarai oleh keyakinan mereka yang tidak meletakkan batasan secara kasta dan agama dalam berinteraksi dengan perbedaan citra manusia.
Naiknya Peran
Abad 18 pedagang Keling Chuliah adalah yang paling sering dicatat. Ini karena jumlahnya yang membludak hampir disetiap pelabuhan-pelabuhan kunci di Asia Tenggara. Putaran dagangnya melingkupi Koromandel, Sri Lanka, Aceh, Kedah, Perak, Penang, Thailand, dan Burma. Bulan September hingga Desember masa menunggu arah angin monsoon membaik. Proses penungguan pengutipan lada dan Pinang bisa memakan waktu bermiggu minggu. Ini yang menyebabkan pedagang harus punya izin dagang sekaligus menetap untuk menunggu komplitnya pemungutan barang dagangan. Dalam kondisi perdagangan seperti ini tidak mengherankan jika banyak pedagang ini kemudian menikahi perempuan lokal. Ikatan keluarga barangkali adalah hal yang paling menjamin keberlangsungan dan kemulusan pengawasan proses pengutipan dan penyimpanan barang dagangan.
Perkawinan-perkawinan dengan wanita lokal elit kemudian menjadi gerbang meluaskan pengaruhnya dikesultanan. Sejak periode Sultan Mahmud Syah, terdapat shahbandar bernama Kassim yang lahir di Malabar dam punya jaringan dagang di Koromandel. Kemudian ada juga Poh Salleh, yang menjabat Shahbandar dan penasehat Sultan Muhammad Syah. Ia juga yang memediasi pertemuan Thomas Forrest dan pegawai Inggris lainnya untuk bertemu dengan Sultan. Poh Salleh adalah satu satunya shahbandar Keling Chuliah yange tercatat punya pengaruh besar terhadap Sultan. Pada Masa Sultan Jauhar al Alam Syah, Selain di ibukota, Pedier terekam diatur oleh shahbandar Keling. Sahib Nadar Alam dan Paynton Abdullah adalah dua Keling yang ditunjuk untuk mengawasi perdagangan Shilloch dan Burung (Beureunun),dua kawasan di Pidie. Pada masa Kekuasaan Sultan Mansur Syah dua Keling masing masing di Lhokseumawe dan Kerti (Keureuto) berperan sebagai shahbandar dan penterjemah Sultan. Keling sebagai Shahbdandar di Aceh masih terekam setidaknya hingga tahun 1860an.
Mereka juga dipercayakan sebagai mediator. Ini disebabkan oleh kemampuan berbahasa mereka yang beragam. Kassim yang menjadi shahbandar Sultan Mahmud Syah mampu berbahasa Arab, Melayu dan Hindustani. Po Salleh mampu berbahasa Melayu, Hindustani dan Bahasa Aceh. Tahun 1868 2 orang Keling Tambi di Lhokseumawe dan Kerti berbahasa Melayu, Inggris dan Hindostani. Keling lainnya yang punya skill bahasa signifikan adalah Muhammad Ghauth, utusan Sultan Mansur Syah di Istanbul, juga berbahasa Arab disamping Melayu. Sidi Muhammad, utusan Sultan Masur Syah juga berbahasa Perancis, disamping Arab, Aceh, dan Melayu. Seorang mediator Raja Muda Ibrahim yang merupakan abangnya ibu Jauhar al Alam, seorang dari Malabar malah bisa bahasa Spanyol, Perancis, Inggris, dan Melayu.
Keling yang menikah dengan lokal kemudian menjadi pribumi yang sangat berpengaruh adalah Teungku Ja Pakeh di Pidie. Selain Ia, terdapat juga Leube Dappa, raja Otonom (uleebalang) di Kawasan Barat Aceh. Pelabuhan penting dibawah kendalinya termasuk Susoh, Barus, dan Singkil. Ia disebut begitu kaya hingga mampu membiayai pemberontakan melawan kebijakan Sultan Jauhar al Alam Syah.
Turunnya Pengaruh
Ada beberapa hal yang memyebabkan turunnya pengaruh orang Keling. Diantaranya adalah perang sipil yang kerap terjadi sejak penggulingan Sultanah Aceh yang terakhir tahun 1699. Pertikaian suksesi Kesultanan dominanya terjadi antara pendukung dinasti Arab dan dinasti Bugis yang terus berlangsung hingga penggulingan Sultan Saif al Alam yang merupakan cicit dari Sultan Jamal al Alam Badr al Munir. Ini mengacaukan proses perdagangan. Pidie dan Aceh Barat yang merupakan pemasok utama Pinang dan lada terganggu. Tercatat dalam beberapa dekade abad ke-18 dan 19, kultivasi lahan dan pemasokan hasil panen terganggu secara serius. Alasan lain adalah menumpuknya hutang. Hutang yang terakumulasi karena ketakutan Sultan dari ancaman internal yang berujung pada penyediaan tentara asing, kapal perang, dan perlengkapan senjata dari Inggris dan Perancis. Hutang Sultan menumpuk karena penyewaan dan pembelian secara kredit. Pernah, saat Sultan ada dalam kesulitan finansial, Mohammad Hafas, Seorang Keling Chuliah membantu menutup hutan-hutan itu, namun lain waktu, Sultan harus memberlakukan konsensi tertentu dimana pajak dagang untuk badan dagang Inggris ditiadakan. Ini menyebabkan bentroknya putaran masukan untuk kesultanan.
Selain dua alasan diatas terdapat juga peningkatan kekacauan di laut seperti yang disaksikan dalam kasus Annaporney yang menjadi korban upaya Sultan Jauhar al Alam Syah mengemulasi sistem Inggris. Ini menyebabkan ketajaman konflik dimana keturunan Keling melayangkan protes nasehat-nasehat dan regulasi dagang dari Eropa di Aceh yang menyebabkan L’Etoille dibunuh. Alasan terakhir adalah penjajahan Belanda. Dalam masa Penjajahan yang terjadi antara tahun 1873-1903 terdapat 3 macam respon dari keturunan-keturunan Keling. Diantaranya ada yang mengungsi dari Aceh dan melanjutkan dukungan terhadap Aceh di Pinang sebagaiman ayang terlihat dilakukan oleh keluarga Merikan. Ada yang menetap sebagai asisten Belanda seperti Panglima Tibang dan Teuku Itam. Ada pula yang menetap untuk melawan Penjajahan sebagaimana yang diperlihatkan oleh Keturunan Labbai, Teungku Syeikh Saman di Tiro.
Pergerakan Keling di Aceh patut dikagumi dan dihargai. Keberadaan mereka menjelaskan bahwa sebelum ideologi berbangsa dan bernegara menjadi trend pada abad ke-20, Keling menjadi saksi akan cairnya hubungan dalam perbedaan di Aceh.
Telah terbit sebelumnya di https://aceh.tribunnews.com/2019/10/25/orang-keling-di-aceh