Ketika menemukan informasi tentang apa yang dialami oleh serdadu tentara Belanda saat berpatroli, menjadi lebih jelaslah mengapa pertahanan Belanda sejak tahun 1874-1890an hanya mengandalkan sistem pemerintahan konsentrasi lini yang mengitari 50 Km wilayah Aceh Besar. Ini disebabkan oleh beruntunnya serangan-serangan dadakan yang menewaskan dan melukai serdadu-serdadu dan kapteinnya ketika berpatroli dikawasan ini.
Tidak hanya tentara Belanda yang dirugikan, anggota penyerang dari pihak Aceh pun tidak pernah menyelesaikan serangan tanpa angka kematian.
Ini tergambar dalam edaran koran Java Bode bertanggal 23 September 1876 halaman 6 yang bisa diperiksa banding di laman website sejarah terkemuka: (https://www.europeana.eu/en/item/9200359/BibliographicResource_3000113006822)
Koran berbahasa Belanda, Java Bode, berdiri antara tahun 1852-1957. Edaran awalnya adalah 2 kali seminggu hingga kemudian menjadi koran yang terbit harian. Berayahkan ide liberal, de Java Bode ternyata mengarungi masa terpanjangnya dalam bimbingan konservatif yang dipimpin oleh Conrad Baskent Huet sejak tahun 1869. Dalam periode pemerintahan politik etik, de Java Bode dikuasi oleh pemikiran-pemikiran sayap kanan yang kental.
Tersebar di kawasan Hindia Belanda, ada beragam macam informasi dan berita-berita yang dihidangkan koran ini. Termasuk diantaranya perkembangan pada perang Aceh yang menjadi sumber keingin-tahuan pembaca nasional dan internasional kala itu.
Informasi yang dimuat dalam edaran tersebut diatas itu adalah berdasarkan telegram bertanggal 18 September, yang melaporkan peristiwa pada tanggal 13, 14, 15, 16, dan 17 September di Aceh. Deretan tanggal itu adalah kejadian peristiwa saat berpatroli antara Lamprit dan Lamnyong, dua kawasan pusat di Banda Aceh saat ini, serta peritiwa yang melibatkan ‘gangguang’ dari orang Gayo di Langkat.
Bulan September, cuaca di Negeri Bawah Angin sering dilalui dengan badai dan hujan yang deras dan terus menerus. Meskipun begitu para prajurit di Aceh Besar saat itu menampakkan semangat dan stamina yang baik, tulis De Java Bode.
Informasi berlanjut, “Belanda menurunkan pasukan di passar Koeroeng-Tjoek (Krung Cut), dilengkapi dengan (pengawasan) pembangunan jembatan di atas sungai dan laguna (rawa), membuat benteng dan membuka persekutuan dengan Lamprit”.
Keesokan harinya, pada tanggal 14 September, Kaptein Nuijsink berpatroli dari Lamprit ke Lamnjong dalam kondisi stabil. Namun kaptein lainnya, van de Groen mengalami serangan tembak dari pejuang Aceh yang menewaskan seorang pekerja dibagian selatan.
Kaptein Nuijsink membalas serangan tersebut. Laporan koran ini melanjutkan, “Nuijsink, beserta Letnan Roersch dan sekitar 20 tentara, membuat jalan memutar di sepanjang tepi kanan Tjoet, menyerang musuh di sayap kiri, mengejarnya, meninggalkan 14 orang tewas di belakang”.
Meskipun belasan pejuang Aceh tewas, Kaptein Nuijsink juga terluka parah dan kehilangan 4 prajurit. Pasukan sayap Keukenbrink no 69546, memapah Kaptein Nuijsink yang berkaki patah disebabkan 5 pahat klewang dalam kondisi masih tidak bergerak.
Masih Pandemi Kolera
Beberapa sumber menyebutkan bahwa sepanjang sejarah, wabah kolera selalu berulang mengikuti era perang yang alamiahnya merusak ekosistem alam. Rusaknya ekosistem alam mengkibatkan banyak hal termasuk penyebaran wabah kolera.
Kolera di Aceh dipercaya pertama kali merantai di Aceh pada tahun 1873. Namun bisa jadi lebih awal. Kolera menjadi faktor utama kegagalan pemerintahan kolonial di Aceh yang masih sedikit dibicarakan dalam diskusi-diskusi mendalam dunia akademik.
Tahun 1876, selain serangan yang dihadapi, pendudukan militer Belanda di Aceh Besar juga masih menghadapi penyebaran penyakit kolera. Di dalam Kraton atau Istana Aceh, penyakit kholera menyebabkan banyak tentara yang demam dan gangguan pencernaan yang semakin terus menyebar.
Pada tanggal 12 dan 17 September, kolom penyelamatan mengevakuasi 123 tentara tingkat bawah yang sakit. Dilanjutkan keesokannya dengan Mayor Ruempol, den Berger, Dokter De Wolff, 40 kuli dan 50 pekerja paksa yang ievakuasi melalui Padang.
Meski hanya satu kalimat, penting menyebutkan disini, bahwa edaran koran ini dengan jelas memisahkan kategori kuli (Koelie) dan Pekerja Paksa (dwangarbeiders) yang saya asumsikan punya latar belakang identitas dan fungsi yang berbeda yang perlu dipelajari lebih lanjut.
Serangan Gayo
Jauh di bagian Utara Aceh, terdapat Langkat yang dijadikan Belanda sebagai pelabuhan baru dengan peningkatan dagang luar negeri dan pertahanan pemerintahan kolonial. Pada tanggal 18 September, Langkat telah dikosongkan, disebabkan serangan dari orang orang Gayo, menurut transkrip yang diterima dari pemerintah dari panglima pasukan di pantai timur Sumatera ditujukan kepada Panglima Angkatan Darat di Deli.
4 hari sebelum gangguan dari Orang Gayo ini, telah naik permintaan evakuasi disebabkan beberapa kompi hunian yang terlebih dahulu diserang. Dalam masa 2 hari, 4 perwira dan 150 anak di bawah umur, di bawah komando Kapten Vogel kemudian dikirimkan ke Timbang Langkat.
Memang pekerjaan memerintah di Aceh tidaklah gampang. Pemerintah Belanda harus menghadapi berbagai tantangan dalam durasi hanya satu minggu.
Inilah sejarah. Sejarah untuk diingat tapi bukan untuk didendami dengan sakit hati. Merangkul dan memaafkan antagonis-antagonis dan kesalahan masa lalu adalah jalan masa depan. Hanya dengan begitu kita bisa bergerak maju dengan inovasi-inovasi yang dibangun dari fondasi-fondasi nilai keberanian, perjuangan dan tujuan hidup yang telah diwarisi. Semerdeka apapun mimpi kita, perjuangan lewat perang dan pertumpahan darah tidak perlu berulang lagi.
Link orijinal Java Bode
Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie – 1876-09-23 – National Library of the Netherlands, Netherlands – Public Domain.
https://www.europeana.eu/en/item/9200359/BibliographicResource_3000113006822
https://www.europeana.eu/en/item/9200359/BibliographicResource_3000113006822