Pemerintah vs Gampong Pande: Persepsi Sejarah dan Pembangunan

 

3 hari lalu pemerintah kota mengadakan temu wicara Live Walikota Menjawab yang disiarkan youtube.com. Menyimak siaran ini ada 3 hal yang lebih menonjol, Yaitu; A. Imej Baik Pak Walikota; B. Nisan-nisan Pindahan Belanda; C. Sosialisasi. D. Pengalihan bukan wewenang Walikota.

Dalam video berdurasi 1.19.40 detik ini, program dikemudi oleh MC membawa Walikota Banda Aceh, Arkeolog lokal Husaini Ibrahim, Kepala Dinas Pariwisata, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala Bappeda Banda Aceh, dan Pimpinan DPRK Banda Aceh menyampaikan uneg-unegnya soal polemik IPAL Gampong Pande. Termasuk MC, Ke 6 orang pengambil kebijakan Aceh ini berbicara dalam waktu 33 menit keseluruhannnya. Selebihnya adalah sesi tanya jawab lewat telepon dan WA dengan 6 orang masyarakat.

Pak Walikota Berniat Baik

 Walikota Aminullah Usman mengawali temuwicara ini dengan berbicara dalam keseluruhan durasi 3.46 detik soal kesadarannya pada pelestarian nilai sejarah bernilai jual, seperti wisata ziarah, selain penanganannya pada upaya cagar budaya yang ada di Banda Aceh. Tak lupa juga, ia mengklaim dirinya termasuk pihak yang menghentikan proyek IPAL tersebut, tapi anehnya kemudian ia mengirim
surat ke kementrian terkait soal pembukaannya kembali setelah melibatkan tim peneliti dan diskusi dengan pakar. Ia juga tidak lupa menyebutkan bahwa niatnya terhadap cagar budaya adalah baik.

Dalam durasi sesingkat itu barangkali masyarakat telah gagal ia yakinkan. Terutama setelah hampir 2 menit ia coba meluruskan bahwa dirinya adalah orang baik, namun pengiriman surat ke kementrian agar proyek dilanjutkan membuyarkan imajinasi tersebut. Untuk menguatkan kebenaran keputusannya, ia mengatakan, “ini ada 1,2, 3,4,5,6,7 orang disini, semua 7 orang harus bicara!” sambil menghempas tangannya ke udara. Serasa bagaikan auman singa terhadap bawahannya yang hadir. Jelas saja, dari 7 orang tersebut, 5 diantaranya mendukung mutlak keputusan pak Walikota melanjutkan IPAL, sedangkan dua lainnya menyetujui dengan ‘kondisi’ tertentu.

Sepanjang durasi temuwicara ini,  memastikan ‘niat baik’ pak Walikota supaya dipahami betul, seakan menjadi tugas MC yang memegang kunci kendali arah program tersebut agar berjalan sesuai ekspektasi yang bersangkutan. MC berkali-kali mengingatkan ‘prestasi award’ Aminullah Usman, atau dengan mengatakan kalau bukan karena IPAL, tidak akan diketahui penemuan sejarah disana, atau dengan menekankan pembangunan IPAL adalah pembangunan Banda Aceh, dan tanpa IPAL, anggaran nasional tidak bisa dikucurkan. Yah, ungakapan-ungkapan yang diharapkan menciptakan rasa takut bagi masyarakat awam. 

Ilmiah yang tidak Ilmiah

Dalam sesi pembicaran Pak Husaini
Ibrahim MA, ada 3 komponen sejarah di Gampong Pande yang ia sampaikan. Pertama, berdasarkan kata Pande, yang merujuk pada ‘ahli pandai’,
  ia percaya bahwa kampung itu dulunya adalah
bengkel para pandai besi, emas, dan batu.

Kedua, kediaman Sultan dan kerabatnya, termasuk di Kampung Jawa,
Peulanggahan, Merduati, dan Mesjid Raya. Ketiga, itu adalah Kawasan pelabuhan
yang dilayari oleh kapal-kapal. Ia tegaskan tidak semua yang ada disana itu
makam raja. Terdapat juga makam rakyat biasa.

Pembangunan IPAL, lanjutnya adalah tantangan arkeologi dan pembangunan IPAL adalah kebutuhan. Berdasarkan kebijakan pemerintah,  ia termasuk salah satu pengkaji, selain melibatkan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), Balai Arkeologi Sumatra Utara (Balar SUMUT), organ kampus, dan LSM. Dari hasil penelitian, diputuskan ada 4 Zona yang menjadi pertimbangan dalam upaya pembangunan, yaitu zona inti, zona penyangga, zona pengembangan, dan zona pemanfaatan. Ia lebih lanjut mengatakan pembangunan IPAL dan pelestarian cagar budaya, dua-duanya perlu dilakukan.

Sebagai seorang arkeolog, Pak Husaini Ibrahim berupaya memberikan pengimbangan informasi soal posisinya yang tak ingin dilihat sebagai orang yang mengerti sejarah tapi tak mengerti pembangunan. Dan beginilah seharusnya kelayakan seorang penggerak perubahan sosial. Yang menjadi persoalan itu, temuan-temuan sang arkeolog tidak sepenuhnya ilmiah. Misalnya dari pemahaman Gampong Pande sebagai bengkel. Sejauh sumber yang kita baca, tidak ada manuskrip, surat-surat, hikayat, atau laporan-laporan dari abad ke-13 hingga abad ke 19 soal keberadaan bengkel yang dimaksud
tersebut. Bukankah kita bicara soal ‘ilmiah’?.

Poin ketiga adalah pendapat umum yang disepakati oleh banyak ilmuwan sosial. Tapi kajian pada fakta kelanjutan dari point ketiga ini, seperti keramik langka, koin, dan nisan-nisan lainnya  belum sama sekali dilakukan. Fakta-fakta poin ketiga ini dipercayai menjadi kunci yang menghubungkan dunia global dan nusantara pada Aceh. Secara langsung ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memberikan akses peluang bagi pelaksanaan kajian lebih lanjut, melibatkan nuasa ahli beragam, tidak hanya dominan dari petugas pemerintahan yang secara jelas tidak punya kebebasan mengutarakan pendapat.

Yang jelas, bentuk keilmiahan yang merupakan fakta di Gampong Pande adalah nama-nama mereka yang terukir diatas nisan. Siapa, bagaimana, mengapa adalah pertanyaan-pertanyaan penting yang perlu perhatian pemerintah untuk kajian lebih dalam.

Nah, tidak perlu menyalahkan masyarakat dan kelompok sipil dengan mengatakan sudah 3 tahun sejak 2017, diberi waktu untuk melakukan kajian. Kita jangan lupa angka professional sejarawan, filolog, dan arkeolog lokal itu bisa dihitung dengan sebelah tangan. Dengan situasi ekonomi dan kelancaran akses yang hanya berpihak pada birokrat dan lingkaran kroninya, bagaimana bisa kajian dengan ‘timeframe’ berabad-abad itu bisa ditemukan dan dilakukan secara independen dalam waktu 3 tahun!

Nisan-nisan Pindahan Belanda

Nisan-nisan di Gampong Pande tidak seperti yang diyakini selama ini. Ungkapan ini telah lama terdengar, namun saya tidak menyangka akan mendengarnya sendiri dari Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Banda Aceh, Dr. Saminan, yang ia sampaikan tanpa rasa ragu dan blak-blakan sekali.

Pada menit ke 29.50 ia menyampaikan soal keberadaan sebuah buku yang judulnya ia sebutkan secara tak lengkap yang ia katakan ditulis oleh De Petten (bukan ejaan sebenarnya) pada halaman 183.
Para pemirsa yang menyimak ingin langsung memeriksa sumber secara pasti tentu terkendala. Mesin pencari goggle pun kebingungan. Yah, dari segi ini saja, sumber yang akan ia kutip itu kita nilai tidak kredibel.

Sumber yang perlu ditelusuri kredibilitasnya ini menguraikan bahwa karena Belanda kesulitan masuk ke Aceh dikarenakan lokasi yang dipenuhi rawa, mereka menemukan batu-batu nisan yang kemudian dijadikan tempat pijakan para pasukan untuk melanjutkan penyerangan menuju mesjıd Raya.

Persoalan yang masih perlu dipikirkan oleh seorang Dr Saminan adalah jika benar nisan-nisan tersebut dipindahkan, ada berapa jumlah keseluruhan yang telah diangkat? Jika memang benar ada nisan yang dipindahkan, bukankah itu artinya nisan-nisan tersebut berasal dari lokasi tak jauh dari tempat mereka berlabuh, misalnya Gampong Pande, Gampong Jawa, atau Gampong Pesisiran lainnya?. Bukankah itu artinya nisan-nisan ini berasal dari lokasi yang sama? Kita tidak mungkin mengatakan nisan-nisan tersebut diangkat dari satu tempat ke tempat lainnya dengan helikopter karena helikopter tidak ditemukan tahun 1873.  Jadi bagaimana mereka memindahkan nisan-nisan tersebut?!.

Bukannya menelusuri lebih lanjut bacaan yang didapat, Dr Saminan lebih memilih mengambil uraian itu sebagai dasar persetujuan pembangunan, meskipun ada potensi gerusan benda sejarah, sebagaimana yang ia sebutkan, “artinya semua batu nisan yang didapatkan dan digali oleh masyarakat ataupun digali oleh pemerintah, kita berkeyakinan bahwa batu-batu nisan tersebut tidak semuanya berada pada batu nisan sesungguhnya”.

Ucapan tambahannya adalah “ apapun bentuknya, sesuai arahan pak Walikota untuk menjaga dan merawat, batu-batu nisan tersebut walaupun ditemukan masyarakat, kita akan coba peduli…”. Ucapan yang tidak meyakinkan sama sekali.

Secara umum, sosialisasi dan
musyawarah lebih lanjut dimanuti oleh setiap pengambil kebijakan yang hadir, meskipun sebagiannya hanya polesan lipstik belaka. Dari 6 warga yang menelpon, 3 diantaranya menanyakan kemungkinan proyek ini dialihkan ke tempat lain. Mereka mendapat jawaban datar dari pak Walikota bahwa, pengalihan IPAL bukan wewenang Walikota, tapi nasional. Jawaban ini bagaikan kunci mati dan suara-suara tentangan dari masyarakat hanya angin lewat, meskipun disisi lain, terdapat landasan-landasan hukum yang bisa dijadikan poin bargain untuk mengalihkan proyek tersebut. 

Intisari

Temuwicara ini bukan untuk menenangkan rakyat. Tapi upaya defensif pejabat pemerintah yang mencoba mengedepankan argumen bahwa mereka benar dan paling ilmiah, bahwa dengan aplikasi metode ilmiah itu, kalangan pemerintah berada pada titik keraguan, yang menjustifikasi sepihak kelanjutan pembangunan IPAL. Siaran Walikota Menjawab memperlihatkan pada rakyat secara gamblang bahwa soal pelestarian sejarah, Banda Aceh hanya punya dua kubu: 1. Kubu Skeptik sejarah. 2. Kubu optimistik sejarah. Yang hilang dan diperlukan untuk Aceh adalah kubu kubu yang rendah hati saling mengisi dan saling memahami diantara keduanya.   

Rakyat Gampong Pande telah mengeluarkan keputusan menolak proyek IPAL. Ini barangkali disebabkan oleh ketiadaan;

1). Transparansi perencanaan dan blue print design arsitektur pemugaran cagar budaya Zona Inti, Penyangga, Pengembangan, dan Pemanfaatan yang melibatkan masyarakat. Pemerintah perlu mendirikan satu posko resmi di lokasi yang melayani keluhan-keluhan masyarakat setempat.

2). Amandemen aturan yang memastikan cagar budaya yang ada sekarang dan yang akan ditemui nanti selama proses pengerukan, berhak dilindungi hukum dan secara simultan menjadi bagian dari perencaan awal, sebagai bentuk pelestarian sejarah, tentu melibatkan diskusi dengan pihak-pihak sipil terkait.

3). Komunikasi dan dukungan terbuka- -tidak hanya dibibir- dan berkelanjutan dengan rakyat, perangkat desa, dan organisasi sipil.

4). Transparansi soal potensi kerugian bagi alam dan masyarakat setempat yang diamandemenkan dengan aturan-aturan kompensasi.

5). Amandemen denda bagi petugas dan non-petugas perusak situs sejarah, penyebar kegelisahan rakyat dan yang bertindak secara tak bertanggung jawab selama proses pembangunan IPAL.  

Proyek IPAL bukan hanya tiket menuju Senayan, tapi juga medium kesejahteraan dan keadilan sosial-budaya bagi masyarakat.

Artikel ini dapat juga dibaca di: https://portalsatu.com/pendapat/2021/03/pemerintah-vs-gampong-pande-imej-skeptik-dan-kunci-mati/

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―