Intellectual Pilgrimages and local norms in fashioning Indonesian Islam yang ditulis John R Bowen (2008) menguraikan tentang bagaimana Indonesia telah sampai pada bentuk karakter Islami sekarang. Indonesia yang dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki mayoritas populasi Muslim terbanyak didunia diketahui sebagai penganut Islam yang moderat dan terbuka akan segala perbedaan. Berbicara tentang Islam di Indonesia dengan melewatkan perkembangan Islam di Aceh merupakan hal yang hampir mustahil bagi banyak intelektual luar dan dalam negeri. Sama halnya dengan Bowen.
Ia mengangkat ulasannya dari perjalanan haji Indonesia pada abad ke-19 hingga abad ke 20 dan perannya
dalam memodelkan Islam diwilayah tersebut. Dibagian ini, Bowen bercerita tentang adanya peningkatan jumlah haji sejak dibukanya terusan Suez pada abad ke 19, yang kemudian terus berkembang jumlahnya selama penegakkan dekolonisasi oleh Belanda sejak awal abad ke-20. Ia menyatakan perkembangan Pan-Islamisme di Mekka dan sekitarnya yang mempionerkan persatuan umat dalam melawan penjajahan dan
ide-ide pembaharuan antara Islam dan modernisme, telah berpengaruh besar pada pembentukan pola pikir masyarakat pribumi Indonesia, yang menyebar setelah mereka kembali ke tanah air. Tidak hanya secara lisan, fenomena Pan-Islamisme ini kemudian diperkuat dengan peredaran Koran al-Munir dan al-Imam di Nusantara.
dalam memodelkan Islam diwilayah tersebut. Dibagian ini, Bowen bercerita tentang adanya peningkatan jumlah haji sejak dibukanya terusan Suez pada abad ke 19, yang kemudian terus berkembang jumlahnya selama penegakkan dekolonisasi oleh Belanda sejak awal abad ke-20. Ia menyatakan perkembangan Pan-Islamisme di Mekka dan sekitarnya yang mempionerkan persatuan umat dalam melawan penjajahan dan
ide-ide pembaharuan antara Islam dan modernisme, telah berpengaruh besar pada pembentukan pola pikir masyarakat pribumi Indonesia, yang menyebar setelah mereka kembali ke tanah air. Tidak hanya secara lisan, fenomena Pan-Islamisme ini kemudian diperkuat dengan peredaran Koran al-Munir dan al-Imam di Nusantara.
Meski mengaku mendengar dari seorang gurunya di kawasan pedalaman Gayo bahwa ada peredaran lembaran-lembaran bertemakan Islam modern dari satu kota ke kota lainnya di Sumatra pada awal abad ke-20, untuk kasus Aceh, argumen tersebut nampaknya tidak berlaku karena Aceh bergelut dengan peperangan yang panjang yang menyebabkan terbatasnya interaksi dengan Mekka, apalagi menimbang berdasarkan keterangan dari Hikayat Prang Goempeuni bahwa ulama Aceh telah mewajibkan perang fisabilillah diatas penunaian ibadah haji. Hal ini kemudian terkonfirmasi dengan hasil penelitian Jacob Verdenbregt (1962) yang menunjukkan kecilnya angka haji dari Aceh pada masa peperangan. Itu artinya, dalam beberapa aspek, kelenturan pandangan Aceh terhadap hukum-hukum Islam masih erat kaitannya dengan budaya klasik yang masih kental.
Bowen kemudian melanjutkan uraiannya mengenai perkembangan universitas sejak tahun 1970an. Indonesia pada masa ini telah banyak menghasilkan pentolan pentolan handal dari universitas-universitas Eropa, meski ada juga beberapa figur ternama yang berhasil melalui pendidikan lokal. Ia mengatakan bahwa kelompok yang pertama keluar sebagai pemikir pemikir liberal, meskipun tidak dapat disangkal, juga ikut menghadirkan kelompok agamis yang mencoba menjembatani pemerintahan liberal dengan asas-asas Islam. Ada senarai pergulatan antara kelompok tersebut. Namun, untuk fenomena Islam Aceh, Bowen mengangkat kelebihan al Yasa’ Abu Bakar yang meskipun medapat binaan pendidikan di Kairo dan tidak memiliki pendidikan resmi dalam sejarah dan teologi, menekankan bahwa penegakkan hukum Islam perlu melalui konteks sosial dan sejarah, pikiran yang seiring dengan yang pernah dikeluarkan Azyumardi Azra dan Nurcholis Madjid.
Masih dalam bagian yang sama dari tulisan Bowen, Ketika wilayah lain di Indonesia membahas tentang perlunya aplikasi hukum Islam berdasarkan identitas budaya dan kebiasaan di wilayah setempat sebagaimana yang dicetuskan Prof. Hazairin, seorag ahli hukum Universitas Indonesia pada tahun 1960an, dan kemudian dilanjutkan oleh muridnya Muhammad Daud Ali pada tahun 1980an hingga 1990an, Aceh telah terlebih dahulu sadar untuk memilah hukum mana yang sesuai dengan budaya masyarakat Aceh. Tidak jarang, hukum-hukum keagamaan dalam undang-undang pemerintah Indonesia tidak mendapat aplikasi di Aceh. Contohnya, para hakim di provinsi Aceh mengatakan bahwa Aceh termasuk salah satu daerah yang tidak menegakkan doktrin fiqh pemerintah yang baru tentang menggantikan ahli waris karena yang demikian itu tidak sejalan dengan apa yang dipraktekkan dalam masyarakat Aceh. Sejak tahun 2002, Aceh kemudian diberikan kebebasan menentukan hukumnya sendiri berdasarkan shari’ah dengan runut budaya lokal.
Masih dalam rekaman Bowen, sejak tahun 2001, wacana pelaksanaan Shariah Islam di Aceh menuai berbagai respons. Namun, dari kalangan intelektual Aceh sendiri, termasuk al-Yasa Abubakar, mengemukakan bahwa adat yang pernah dijalankan oleh masyarakat Aceh tidak bertentangan dengan shari’ah, hingga kedatangan penjajah Belanda yang memisahkan praktek adat dan agama yang menjadi sebab sulitnya penegakkan shariah hari ini.
Bowen kemudian meyakini bahwa Jika Aceh memiliki legitimasi politik yang dibalut hukum Islam dalam
sejarahnya, maka dapat dipahami jika apa yang coba disodorkan oleh al-Yasa Abubakar lebih merupakan contoh-contoh adat yang telah melalui proses Islamisasi. Misalnya, pada tahun 2000 dia mengatakan akan pentingnya membangun kembali system lama administrasi gampung yang bercirikhaskan ukuran besar seperti mukim. Pada tahun 2006 dalam wawancara dengannya, ia juga memberikan contoh bagaimana masyarakat saat itu telah kebingungan dengan fungsi meunasah yang bukan hanya merupakan tempat suci tapi hakikatnya tempat untuk segala aktifitas positif.
sejarahnya, maka dapat dipahami jika apa yang coba disodorkan oleh al-Yasa Abubakar lebih merupakan contoh-contoh adat yang telah melalui proses Islamisasi. Misalnya, pada tahun 2000 dia mengatakan akan pentingnya membangun kembali system lama administrasi gampung yang bercirikhaskan ukuran besar seperti mukim. Pada tahun 2006 dalam wawancara dengannya, ia juga memberikan contoh bagaimana masyarakat saat itu telah kebingungan dengan fungsi meunasah yang bukan hanya merupakan tempat suci tapi hakikatnya tempat untuk segala aktifitas positif.
Berdasarkan kesaksian Bowen, pada awal February tahun 2007, dalam sebuah debat yang dihadiri oleh intelektual intelektual Aceh, al-Yasa Abubakar dalam pidato resminya mengatakan bahwa “adalah keinginan masyrakat Aceh untuk memberlakukan Shari’ah Islam di Aceh, bukan kehendak pemerintah pusat”. Ia juga mengatakan bahwa “hukum Islam di Aceh merupakan adaptasi pemahaman ulama di Aceh, tidak semata mata mengambil dari mazhab atau dari hukum negara-negara lain”. Akan tetapi pernyataan di atas tidak diterima begitu sahaja oleh para hadirin. Debat tentang sasaran qanun-qanun yang dikeluarkan sudah tepat atau tidak masih terus diperdebatkan.
Tidak mencerminkan Budaya Lokal
Melihat realita hari ini dan mempertimbangkan ide awal yang dikemukakan al Yasa’ Abubakar mengenai shariah Islam versi budaya lokal, hukum Islam yang telah diundang undangkan pemerintah Aceh berjalan tanpa usaha penyesuaian dengan budaya lokal. Jelasnya, jika memang wawancara yang dilakukan Bowen dengan al-Yasa’ Abubakar adalah benar, maka pihak terkait belum bekerja cukup keras untuk mengefektifkan administrasi mukim dan nampaknya juga telah melupakan ide-ide untuk merevitalisasi fungsi meunasah.
Administrasi mukim, jika merunut pada kenyataan-kenyataan dari sumber sejarahh tentang budaya lokal maka akan termasuk pengajian-pengajian di balai-balai atau meunasah disetiap desa untuk anak-anak dari umur 8 tahun. Meunasah yag menumbuhkan kembali surah-surah (pembahasan) akidah dari kitab-kitab lama seperti masailal muhtadi yang diketahui telah lama menjadi budaya tidak hanya di Aceh tapi juga di Kelantan (Malaysia) dan Pattani (Thailand) (Ozay, 2011).
Jika ide diatas terhalangi oleh kebijakan-kebijakan yang telah disahkan oleh pemerintah pusat, yang tidak mengakomodasi persatuan antara hukum dan agama seperti bunyi undang undang no 5/75 tentang pemerintahan desa, dimana keuchik diberikan otoritas penuh sebagai kepala tunggal dan oleh karenanya telah secara tidak lagsung mengurangi peran teungku imeum meunasah, tidak lantas menjadi alasan bahwa hukum Islam hanya bisa dijalankan dengan cara pemerintah pusat.
Namun disisi lain, yang tak kalah penting adalah pada masa ini, popularitas teknologi melebihi popularitas balai-balai pengajian. Kegandrungan generasi muda Aceh terhadap media sosial, luasnya akses berinternet, dan konsistennya penggunaan televisi menjadi akar-akar baru yang menggantikan kebudayaan moral dan etika dari didikan orang tua dan meunasah. Ini adalah sumber persoalan yang perlu dipecahkan, tentunya bukan dengan melarang interaksi dengan teknologi atau dengan menaikkan jumlah cambuk yang harus diterima.
Selanjutnya, berbicara tentang aplikasi hukum Islam berdasarkan budaya lokal, pihak terkait juga perlu melihat kewajiban untuk melakukan pengislamian pikiran, prilaku, dan penampilan para penegak hukum-hukum Islam terlebih dahulu, terutama dari pegawai-pegawai Dinas Syariat Islam dan kanto-kantor dinas terkait. Bukan hal baru jika sepanjang sejarah Aceh, yang mengatur kehidupan sosial dahulunya adalah, misalnya, ulama-ulama yang teruji pengetahuan dan kemampuannya, atau tuha peut dan tuha lapan terpilih yang merefleksikan bunyi al-Quran, sunnah rasul, dan cinta ilmu. Namun kenyataan yang terjadi hari ini adalah kebalikan dari semua itu. Berangkat dari sini, qanun yang mengatur pegawai internal nampaknya harus dikeluarkan, barangkali, dengan tambahan poin tunjangan yang cukup sekaligus hukuman yang lebih berat.
Apa yang kita saksikan dalam aplikasi Shariah Islam versi pemerintah saat ini adalah sebuah jalan raya yang mengarah pada lorong yang sempit. Qanun-qanun tersebut, meskipun memiliki manfaat, dikarenakan kondisi sosial dan buruknya pendidikan moral di Aceh berpotensi pada penyempitan pemahaman hukum Islam dan peningkatan jumlah penolakan akan kelanjutan pemberlakuan lebih jauh. Hukum Islam diturunkan agar menjadi bimbingan untuk kehidupan yang bermartabat dan damai didunia dan diakhirat.
Telah terbit sebelumnya di Koran Serambi Indonesia. Atau bisa juga dilayari melalui www.serambinews.com