Perempuan dalam Adat Lokal dan Syaria’h Aceh

Ada satu kekosongan logika dalam pemerintahan Syar’i di Aceh. Kekosongan itu adalah alpanya kesetaraan nilai penegakkan hukum dibalik pelatuk bedil yang ditarik untuk menghujam perempuan produktif di Aceh.  Sebagaimana yang diketahui, sejak 5 tahun terakhir, aturan-aturan yang diklaim syari’i dalam pemerintahan kabupaten di Aceh secara berangsur mengeluarkan beberapa aturan yang men-subjekkan hanya pada perempuan. Tahun 2013 misalnya, sebuah aturan yang keluar dari pemerintahan di Aceh Utara secara khusus menyebutkan larangan perempuan berboncengan dengan lelaki non muhrim. Disusul kemudian oleh Pemerintahan kabupaten Aceh Barat yang mengeluarkan aturan larangan bercelana bagi perempuan-perempuan di Aceh. Awal tahun ini, pemerintah Aceh Besar meneken persetujuan paramugari-pramugari penerbangan Aceh-luar negeri untuk berbusana sesuai syariah. Hasilnya, beberapa penerbangan bersikap ‘sopan’ dimuka bisnis dengan menurunkan perintah tersebut pada pwgawainya sedangkan sebagian penerbanan lainnya secara sederhana menolak, juga masih secara ‘sopan’, dengan tidak memperkerjakan langsung pramugari-pramugari tersebut dalam penerbangan rute Aceh.


Baru-baru ini, pemerintah kabupaten Bireun menurunkan aturan ketentuan syari’ah bagi masyarakat sekitar. Dalam total 14 poin yang dikeluarkan, poin ke-7 dan ke-13 adalah yang kontroversial, yang melarang pihak kafe atau restaurant untuk melayani perempuan pada pukul 9 jika tidak didampingi mahramnya dan larangan duduk semeja dengan yang bukan muhrim.




Korban ketidak-adilan dari kedua poin diatas adalah perempuan perantau, yatim-piatu, fakir dan miskin, dan perempuan-perempuan dengan keperluan mendesak. Perantau di kawasan ini kebanyakanya adalah murid/mahasiswi, pegawai sipil, guru, dan pendatang-pendatang yang didasari kebutuhan untuk meneruskan hidup seperti muallaf dan pencari nafkah. Mereka adalah golongan terlemah yang ada dalam setiap masyarakat dan dapat dipastikan hamper setiap masyarakat di Bireun punya satu atau dua kriteria kelompok diatas. Hukum idealnya ditegakkan demi menjaga dan mensejahterakan mereka yang lemah, bukan sebaliknya.

Lebih buruk lagi adalah Bupati Saifannur sebagaimana dilansir dari berbagai media nasional dan lokal yang terbit pada tanggal 4 September 2018 lalu itu menjelaskan bahwa alasan dibalik turunnya aturan aturan tersebut, sayangnya, tidak berdasarkan kajian yang berlandaskan analisa terhadap fakta masyarakat perempuan yang sepatutnya dipenuhi pemerintah setempat tetapi semata-mata berdasarkan paradigma ‘tidak baik bagi perempuan’ oleh karenanya harus didakwahi dengan aturan ‘syariah’. Ini paradigma yang perlu digugat dengan kajian kajian riil dari lapangan. Ini juga paradigma yang perlu diledakkan dengan narasi adat lokal warisan leluhur Aceh.  


Menentang adat lokal
Tidak seperti pada masa lampau dan adalah hal yang patut disesali adalah realita adat lokal perempuan Aceh secara sistematik telah berjalan bersebarangan dengan syariah Islam saat ini.  Saat Islam menyebar di Aceh, tidak ada sumber-sumber sejarah lokal yang meyatakan satu pasalpun soal adanya bunyi hokum dan penerapan pasal-pasal  larangan terhadap aktifitas perempuan dalam ruang publik.
Gambaran rincian sejarah telah begitu familiar, yang mengiluminasikan pasukan perempuan Aceh dan panglima perangnya menjadi saksi kebebasan perempuan dalam ruang publik di Aceh. Setelah Keumalahayati pada tahun 1590an,  dalam masa 60 tahun (1641-1699) kedaulatan Aceh ada ditangan Sultan-sultan perempuan Aceh yang telah terbukti mampu mengkonsolidasi secara imbang antara kepentingan rakyat, para elit kerajaan, dan kesultanan. Dalam kurun waktu 60 tahun, perempuan Aceh dipercayakan untuk terlibat dalam berbagai persoalan ekonomi, sosial, dan politik ditingkat lokal dan internasional memecahkan persoalan-persoalan seputar kepentingan berbagai bangsa dari latar belakang yang beragam. Dalam kurun waktu 60 tahun pula, konflik internal yang seringkali memangsa ratusan korban rakyat jelata terhindari. Barangkali adat lokal bagi kebebasan perempuan dalam ruang publik saat itu dapat diterapkan karena sosok ulama-ulama seperti Saif al Rijal dan Syeikh Abdurrauf al Singkili, pendamping umara yang mengerti pentingnya keharmonisan dan damai, serta sensitif kaum lemah.
Meskipun Sultanah terakhir yang turun tahun 1699 digantikan kembali oleh laki laki, ini tidak kemudian menjadi akhir bagi kiprah perempuan di Aceh. Ada sekian daftar-daftar panjang nama-nama perempuan Aceh yang terus menghiasi perkembangan  naik turunnya pengaruh Kesultanan Aceh di Nusantara, baik dalam damai maupun perang. Ini menandakan bahwa aturan-aturan yang menyudutkan perempuan dalam produktifitas publik tidak dikenal di Aceh. Dan sudah sepatutnya, Anda, pengambil kebijakan bagi rakyat biasa, saat ini bekerja keras mengupayakan minimnya korban dari pihak lemah yang diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan berasaskan ketidak adilan dan diskriminasi jenis kelamin berlabelkan nama syari’ah.


Syari’ah Ramah Adat Lokal
Berbagai kajian seputar aplikasi ajaran-ajaran Islam telah dilakukan diberbagai Negara Muslim. Tidak sedikit ahli-ahli hukum dan agama menyutujui bahwa ketentuan interpretasi dan penegakkan ajaran Islam berjalan lebih baik ketika mengayomi atau berjalan beriringan secara sejajar dengan norma-norma, budaya, dan struktur sosial masyarakat setempat. Oleh karena alasan inilah, kita dapat melihat perbedaan aplikasi hukum Islam antara satu Negara berbeda dengan Negara lainnya. Shah Waliullah, salah satu ulama reformis paling produktif dari India pada abad ke- 18 menegaskan pentingnya karya-karya keagamaan dan penerapan hukum Islam yang sesuai dengan norma, budaya dan watak masyarakat dikawasan ini. Sebagaimana diketahui sejak berabad-abad Indian menaungi komunitas masyarakat paling kompleks didunia. Tidak hanya dikarnakan letak geografi dan iklimnya yang beragam tapi juga soal realita ratusan suku-suku berlainan secara kontras dan puluhan agama yang dianut. Kesultanan Muslim yang memerintah saat itu telah kewalahan menghadapi berbagai peperangan sipil yang diiringi dengan tidak bergeraknya perekonomian dan kesejahteraan rakyat, berbanding terbalik dengan kekayaan kesultanan yang melimpah ruah. Shah Waliullah menganggap pengabaian pada nilai nila lokal inilah yang menyebabkan Islam tidak berhasil memberikan solusi terhadap perkara-perkara kemanusiaan yang kompleks yang terus menggerogti masyarakat-masyarakat Utara dan Barat India ini. Untuk menanggapi persoalan ini, ia telah menulsikan beragam karya dengan tujuan satu, Islam sebagai jembatan bagi perbedaan. Diantara karya-karyanya yang monumental selain tafsir dan terjemahan alquran dari bahasa Arab ke bahasa Persia adalah Hujjatul Baligha yang menjadi karya ikonik bagi menjembatani keberagaman.
Atau jika contoh diatas agak sulit dipahami, Barangkali contoh berkenaan yang paling familiar adalah anutan ke-4 mazhab dalam dunia muslim. Ketika Masyarakat Muslim di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan beberapa kawasan di India bagian Barat menganut mazhab Syafi’i, masyarakat di Turki menganut mazhab Hanafi dan masyrakat di Pakistan dan Afrika menganut mazhab Maliki dan Hanbali.
Jika Islam adalah agama monoton, umatnya yang secara total berjumlah 1,8 trilliun di dunia ini hanya akan memiliki satu tipe warna aturan-aturan hukum Islam dihujjahi dari satu orang. Tapi kenyataannya adalah tidak. Dan ini  tidak jauh dari sebab faktor natural yang Allah ciptakan dalam tempat-tempat berbeda seperti misalnya faktor iklim, geografi,  dan watak manusia yang mendiami tempat tersebut. Ajaran-ajaran Islam yang semata mata hanya mencontek dari pelakasanaan ajaran Islam kawasan lain tanpa mempertimbangkan kajian-kajian terkait masyarakat lokal ditempat sendiri akan mengakibatkan impotennya hukum-hukum Islam tersebut. Dalam realita lebih jauh, pelaksaan syariah seperti ini dapat dipastikan tidak hanya bergesekan dengan nilai-nilai dan budaya lokal tetapi juga cenderung menimbulkan jurang lebih besar bagi prospek-prospek ketidak-adilan yang akan dihadapi rakyat. Ketika saat-saat seperti ini muncul, olok olok dari golongan golongan yang tidak mengerti Islam secara natural tidak bisa dihindari. Meskipun dalam berbagai ayat al Quran Allah telah menegaskan  azab yang pedih bagi pengolok-olok hukumNya, adalah kewajiban umatnya untuk menjalankan ajaranNya tanpa meninggalkan ketentuan-ketentuan umum hak-hak dan kewajiban pada nilai kemanusiaan, termasuk pada perempuan. Syari’ah Islam di Aceh dapat berjalan secara optimal jika ikut menggandeng budaya dan adat lokal.
*Mahasiswi program Doktor bidang Sejarah dan Peradaban di Universitas Islam Antarbangsa Malaysia yang peduli pelestarian adat lokal benda dan tak benda

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―