Rasisme Kolonial: Kala Haji dan Pribumi Tak Boleh Bersepatu

Mode pakaian Barat yang bercirikhaskan topi,
sarung tangan, jas, kemeja, dasi, celana panjang dan gaun mencapai puncak
trendingnya setelah revolusi industri di Eropa pada abad ke-18. Jaringan
perdagangan tekstil di Samudra Hindia dan Nusantara yang awalnya dikendarai
oleh para pedagang India, termasuk oleh Keling Hindu dan Muslim dari
pelabuhan-pelabuhan pesisiran Koromandel, jatuh dalam monopoli Inggris pada
pertengahan pertama abad ke-19. Sejak saat itu, Inggris mendapat berlipat-lipat
ganda keuntungan dari jaringan perdagangan ini.

Mereka pun
kemudian merajai kemudi warna dan cita rasa berpakaian rakyat di Asia dan
Nusantara, terutama di kalangan menengah ke atas. Dominansi ini berlanjut tanpa
batas ketika mesin jahit menyebar diseluruh pabrik-pabrik tekstil dan industri fashion, menghasilkan berton-ton pakaian
ala barat yang dijual ke seluruh dunia.
Sebelum
rangkulan bulat fashion Barat pada abad ke-20, gaya berpakaian pribumi Indonesia
baik lelaki ataupun perempuan terbilang beraneka ragam dan sejajar, sesuai
budaya dan keyakinan yang dianut. Secara umum yang membedakannya adalah sanggul,
menurut Anthony Reid (2015). Diperkirakan sejak tahun 1850 bangsa barat mulai
memaksakan budayanya sebagai standard peradaban.
Hanya
setelah keseluruhan kesultanan lokal runtuh pada abad ke-20, budaya berpakaian
barat ini mendapat pelukan penuh dari negeri-negeri koloni, pelukan yang
terbentuk dari ‘pemerintahan tanpa kekerasan’ atau tepatnya dikenal dengan kebijakan
politik etik (ethische politiek). Mereka yang berbudaya non-barat dikategorikan
sebagai bangsa yang inferior. Sebaliknya Orang lokal yang berpakaian,
berbicara, dan bersikap kebarat-baratan diperlakukan lebih hormat daripada
mereka yang sebaliknya.
Sebelum
gelombang pakaian Barat ini didesak sebagai standard peradaban di Indonesia, Raja
Mongkut (1851-68) yang merupakan penguasa berpengaruh di Thailand adalah
penguasa terawal yang mengadopsi modernisme, termasuk soal pakaian barat ini,
utamanya pakaian militer. Raja Chulalongkorn telah sepenuhnya mengadopsi
pakaian barat saat ia menjabat menggantikan ayahnya.  
Sepatu Sebagai Hirarki Ras
Banyak sejawaran berpendapat bahwa gaya
berpakaian Eropa tidak lepas dari obsesi hierarki ras yang ditujukan untuk membedakan
mereka dari bangsa lain. Anthony Reid dalam bukunya A History of Southeast Asia: Critical Crossroads mengatakan:
“ (terjemahan).. Adalah Orang
Eropa di Asia yang menjadi obesesif soal kode pakaian seiring idealisme ras
hirarki ditegakkan. Ekperimentasi dan hibriditas tak lagi dapat diterima bagi
orang Eropa yang mengatur ketetapan sejak tahun 1900, oleh karenanya, lelaki
dan utamanya perempuan perlu berpakaian seperti saat mereka ada di Eropa.”
Reid
kemudian juga melanjutkan bahwa diantara pasukan busana barat ini, sepatu punya
identitas yang begitu penting dalam menentukan superiorti ras. Inggris di India
misalnya menjadikan sepatu sebagai kewajiban untuk dipakai oleh pegawai
kolonial, termasuk dari kalangan pribumi.


 

Pada masa
kolonial dan perjuangan kemerdekaan di Burma, sepatu bahkan dipolitisasi oleh
penjajah Inggris karena penganut Budha menentang kebijakan ganda yang
membolehkan orang Eropa untuk memakai sepatu saat berada dalam Pagoda dan sebaliknya
mengangkat topinya sebagai bentuk hormat pada rumah ibadah umat budha ini. Inggris
juga terlihat berkenan untuk berperang demi mempertahankan budaya bersepatunya
yang mereka anggap tumbuh dari monarki yang lebih superior daripada budaya
rakyat Burma yang melepaskan alas kaki dan merangkak didepan raja.
Apa yang
terjadi di India dan Burma tidak jauh berbeda dengan yang terekam di Hindia
Timur (Indonesia). Meskipun kawasan ini dijajah
oleh Belanda, budaya yang mereka banggakan merujuk pada bangsa Eropa,
termasuk Inggris.
Di Jawa
misalnya sepatu pernah bersaksi sebagai citra kelas juga, diperuntukkan sebagai
pemisah ras bangsa putih dari bangsa ‘berwarna’. Bangsa ‘berwarna’ disini
dimaksudkan bagi mereka yang berkulit hitam (Afrika), coklat (Jawa, Ambon, Yaman,
India Selatan), dan kuning (Cina) sebagaimana yang diutarakan oleh Daschel
(1899). Daschel juga mengatakan 25 juta orang Jawa memang bangsa yang paling
terzalimi di Hindia Timur. Mereka pintar dan suka damai. Meskipun begitu, jangkauan
mereka terhadap peradaban dibatasi oleh Belanda yang memposisikan mereka
sebagai kelas separuh budak. Pendidikan mereka hanya diterima dari para haji
dan Kiayi. Mereka tidak diizinkan untuk memakai pakaian Barat atau bahkan
memakai sepatu.
Berbeda
dengan orang terdidik Maluku dari bangsa Ambon atau Manado yang melayani
pemerintah Belanda sebagai tentara istimewa atau lebih dikenal dengan sebutan Orang
Belanda Hitam (the Black Dutchmen). Menurut Hulsbosch (2014) Golongan bangsa
ini ditentukan sebagai kelas kedua setelah Belanda. Dikarenakan profesi sebagai
tentara secara penuh, kebanyakan mereka menghabiskan hidupnya di barak militer
yang kemudian dibentuk mengikuti hirarki militer Belanda dan standard Eropa.
Mereka menjadi suku yang homogenous dan punya otoritas tersendiri. Maka tidak
mengejutkan jika orang Maluku Ambon atau Menado tidak punya kendala dalam
berbudaya barat, dibayar lebih banyak daripada tentara-tentara dari suku lain,
hidup dengan makanan barat dan lingkungan yang lebih baik. Anak-anaknya
diberikan prioritas belajar di sekolah-sekolah elit Belanda.
Alas Kaki Lokal
Terdapat
cukup rekaman soal alas kaki masyarakat lokal di Asia Tenggara sebelum  periode modernisme. Pribumi sudah tercatat
punya alas kaki jauh sebelum periode awal modernisme barat masuk Asia Tenggara
tahun 1850. Kamus Melayu-Inggris karya William Marsden (1812) menerangkan keberadaan
alas kaki, seperti kata Sapatu, kasut dan Kaus (kaki). Ia memberikan contoh
kalimat yang menunjukkan kesemua ini dipakai untuk menghindari najis saat
berjalan. Kosa kata lainnya dari karya yang sama adalah lapik yang
diterjemahkan juga sebagai alas kaki (footstool). Kesaksian alas kaki abad
ke-19 itu masih bisa diperthanakan dengan merujuk pada kosa kata pribumi yang
tidak berasimilasi barat misalnya, Kasut (Melayu), Silop (Aceh), dan lain
sebagainya.
Namun jika
berbicara soal civilitie (peradaban),
kealpaan sepatu gaya barat tampaknya begitu menarik perhatian bangsa-bangsa
Kulit putih ini. Putnam (1929) misalnya mencatat berdasarkan peninggalan
lukisan kayu perwira Amerika tahun 1845 tentang keberadaan seorang Po Adam di
kawasan Barat Aceh. Po Adam orang yang berpengaruh di Pulau Kio dimana ia punya
benteng pertahanan dilengkapi dengan kapal dan penjaga bayaran, dikenal sebagai
mediator pedagang internasional, khususnya pedagang Amerika di Aceh barat
selama 8 tahun, selain sebagai penterjemah dan penyelamat pedagang Amerika pada
tahun 1831 dari sengketa di kawasan tersebut. Ia digambarkan sebagai orang
lokal yang berkelas. Dalam lukisan ini ia dicitrakan bersepatu. Ada perdebatan
soal sejauh mana kebenaran sepatu ini ketika narasinya bertentangan dengan Reynolds
(1835) yang menggambarkan fisik Po Adam dan kebiasannya bertelanjang kaki.
Apapun jawabannya, keributan soal sepatu orang pribumi ini hanya diutarakan
oleh kelompok pendukung hirarki ras dan agenda kolonial.    
 
Oleh
karenanya tidak mengejutkan pula jika banyak yang bertanya, mengapa masyarakat
pribumi, dari anak-anak hingga lansia, yang kita lihat dalam foto-foto jadul
masa kolonial itu pada bertelanjang kaki?, seperti misalnya rakyat Aceh atau
rakyat non bangsawan di kawasan lain?. Tentu alasan blokade dagang, kelumpuhan
tekstil pribumi, dan runtuhnya otonomi ekonomi pribumi akibat penjajahan baru
terdengar dalam debat-debat ilmiah orientalisme dalam periode
post-kolonialisme. Pun begitu, hingga saat ini topik ini masih terus hangat
dibicarakan.  
Referensi
Dachsel,
Paul. (1899). Eight Years Among the
Malays
, Milwaukee: J.H. Yewdale & sons Co, 1899.
Reid,
Anthony. (2015). A History of Southeast
Asia: Critical Crossroads
, Malaysia/UK: Wiley Blackwell.
Gilleberti, Christian. (May 20 2019). “The
Shoe Question in Colonial Burma”, diunduh dari
https://www.myanmore.com/2019/05/the-shoe-question-in-colonial-burma/pada tanggal
17 April 2020.
Reynolds. J.N. (1835). Voyage of the United States Frigate Potomac Under the Command of John
Downes Years 1831 , 1832, 1833, and 1834: Including a Particular Account of the
Engagement at Quallah Batoo, on the Coast of Sumatra
, Newyork: Harper and
Brothers.
Putnam, George Granvell. (1922). Salem vessels and their voyages; a history
of the pepper trade with the island of Sumatra
, Salem, Mass., The Essex
institute.
 Marianne Hulsbosch Marianne.
(2014). Pointy Shoes and Pith Helmets:
Dress and Identity Construction in Ambon from 1850-1942,
Brill.
 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―