Nuansa Geopolitik Kewilayahan Pengungsi Rohingya

PERMASALAH Arakan pada hakikatnya bukan semata-mata persoalan kemanusiaan. Tapi lebih kepada persoalan yang bersumber dari perkara global kewilayahan. Jika kita terus menerus berargumen bahwa ini persoalan keadilan dan kemanusiaan, maka kita tidak bisa menemukan penyebabnya dan yang lebih
penting adalah solusinya. Persoalan utama kaum Arakan ini adalah tentang sekelompok manusia yang tidak bisa hidup di tanah leluhur mereka secara otonom dengan martabat dan kehormatan.
Jika kita memantau sejarah Myanmar, ada sekitar 135 suku yang hidup di sana. Dan suku Arakan adalah salah satunya. Suku Arakan hidup di kawasan yang langsung terbuka dengan teluk Bengal, lokasi yang sangat strategis bagi kegiatan-kegiatan perdagangan. Pelabuhan-pelabuhan di sekitar kawasan ini juga tersambung dengan Samudra Hindia, sub-kontinen India, Pulau Sumatra dan Selat Malaka. Realita unik ini tak bisa dipisahkan dari keberadaan mereka saat ini.
Pada periode sebelum penjajahan, Arakan berada di kawasan pesisir Barat Myanmar. Selain Muslim, yang tinggal di sana juga terdapat kaum Buddha dan imigran. Tapi mayoritas penduduk pada masa Kesultanan Arakan ini adalah penganut Islam. Pada masa setelah penjajahan, Tepatnya pada 1948, perubahan signifikan terjadi, yaitu ketika pahlawan nasional Aung San, ayahnya Aung San Suu Kyi, dibunuh oleh tim utamanya sendiri beberapa bulan sebelum kemerdekaan. Ini meyebabkan perubahan yang krusial, tidak hanya masa depan Muslim Arakan, tapi juga suku minoritas lainnya yang dibedakan dengan 60 persen populasi orang Buddha Burma. Misi ayah Suu Kyi ketika itu adalah membentuk negara federasi, dan jika ia tidak dikhianati, posisi Arakan saat ini tentu memiliki wajah yang berbeda.
Mengapa Arakan teralienasi dari kelompok dominan? Ada beberapa alasan: Pertama, adalah berdasarkan persoalan sejarah. Pada masa kedatangan Inggris, Kesultanan Arakan sudah berada dalam posisi perlawanan dengan kerajaan Burma. Inggris kemudian, demi keuntungan politik dan ekonomi, bersekutu dengan Kesultanan Arakan yang sering kali mendapat serangan dari Kerajaan untuk melawan. Kerja sama pada masa lalu ini ternyata dijadikan alasan oleh pemerintahan Myanmar untuk mengusir atau membersihkan etnik Arakan dari wilayah ini.
Alasan yang kedua adalah sangat berkaitan dengan kondisi natural. Berdasarkan hegemoni teritori Arakan terpisah dari kawasan laut dan pegunungan Burma menyebabkan semakin mudahnya pemerintah pusat menekan mereka untuk membersihkan tanah yang sudah mereka tempati selama ratusan tahun. Ditambah lagi, pada 1982 pemerintahan Myanmar mengeluarkan konstitusi yang menyebutkan bahwa suku Arakan tidak diakui sebagai satu suku minoritas di Negara tersebut. Sejak konstitusi ini disahkan, jumlah diskriminasi dan penindasan terhadap mereka meningkat dengan pesat.
Pada tahun yang sama, dunia juga menyaksikan perubahan Cina yang meluaskan perdagangan dan kekuatan di wilayah ini. Cina mempengaruhi Myanmar, meskipun tampaknya terlihat dalam hal militer, namun lebih penting lagi dalam hal ekonomi yang dibutuhkan untuk perkembangan industrial. Beberapa tahun terakhir ini Cina sudah investasi di kawasan pesisir Arakan yang kaya akan minyak, perdagangan, dan rute darat yang tersambung dengan Cina.
Tentu saja ini bukan relasi Cina-Myanmar, tapi lebih jauh lagi proyeksi Cina untuk menjadi kekuatan global. Dengan cara ini Cina dapat memanipulasi Selat Malaka dengan langsung melewatkan Samudra Hindia. Secara tidak langsung keberadaan Muslim di wilayah ini menjadi halangan bagi perkembangan industri di Myanmar. Dan ini menjadi alasan yang ketiga mengapa keberadaan manusia perahu terus berkelanjutan.
Selangkah dari Aceh Sudah hampir seminggu Aceh menerima kelompok manusia perahu yang tiba sejak 13 Mei lalu. Ini bukanlah pertama kalinya Aceh menerima dan memberikan perlindungan kepada orang-orang tertindas dari Myanmar. Setiap kali terdampar di Aceh, manusia-manusia perahu ini disambut dengan kehebohan dari media massa dan internasional. Berbagai topik tentang Arakan pun dibahas, tidak hanya persoalan seputar asal-usul manusia perahu tapi juga apa yang menyebabkan mereka sampai pada kondisi seperti itu dan bagaimana memberikan solusi terhadap permasalahan ini. Tapi nampaknya, tidak semua dari perkembangan di atas mampu mengubah nasib para imigran Muslim ini. Sejak pertama kali sampai di pesisiran Aceh pada Desember 2008, kemudian disusul pada Februari 2009, bahkan sebelum media internasional menyorot realita pahit manusia-manusia perahu ini, Aceh telah terlebih dulu mengulurkan bantuan yang terbaik yang bisa diberikan. Saat ini pun Aceh masih menunjukkan sikap konsisten. Tampaknya, kejiwaan masyarakat Aceh yang pernah hidup dalam konflik dan badai tsunami ini berbeda dengan mereka yang menjalani pemerintahan pusat.
Meskipun Aceh hanya sebuah provinsi yang memiliki andil terbatas, ada beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai kelanjutan usaha memenuhi hak-hak kemanusiaan. Pertama, seluruh elemen masyarakat sipil di Aceh perlu mendesak pemerintah pusat untuk mengajukan tuntutan kepada pemerintahan Myanmar agar mengubah dan merancang kembali isi konstitusi terkait kesukuan Arakan. Kedua, elemen sipil Aceh perlu juga menekankan pada pemerintah pusat bahwa ada urgensi untuk merekonstruksi peraturan terkait pemenuhan hak kemanusiaan dalam tubuh ASEAN.
Selama ini ASEAN lebih banyak mengintervensi dalam aspek perdagangan dan ekspansi ekonomi. Tapi tidak sudi mengintervensi persoalan-persoalan terkait tindakan kemanusiaan. Investasi besar-besaran yang sedang mengalir di Myanmar sepatutnya tidak menjadi sebab ketakutan atau alas an untuk mengabaikan hak-hak hidup masyarakat perahu yang merupakan pemilik asli lahan investasi terbesar tersebut. Jika peraturan secara kontrak ini diubah maka Aceh dapat menjadi promoter hak-hak kemanusiaan di Asia Tenggara.
Perdana Menteri Malaysia, Najib bin Razak pernah mengemukakan bahwa ASEAN harus menjadi pusat kemanusiaan. Inilah saatnya mewujudkan kata-kata di atas dengan cara mengubah isi-isi diskriminatif terhadap minoriti di Myanmar. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) akan berperan sebagai mesin penggerak atas hak-hak atau nilai-nilai kemanusiaan. Setelah ketentuan hukum ini dapat dihapuskan, barulah persoalan hak asasi manusia yang berkaitan dengan Arakan diangkat dan dipecahkan secara konkret.
Ketiga, negara-negara tetangga Myanmar perlu mengikuti pendekatan standard kemanusiaan. Sebagaimana diketahui PBB telah merumuskan amnesty internasional tapi hingga hari ini tidak bisa dijalankan hanya karena Malaysia belum menandatangani butir-butir yang diajukan. Ini sebabnya mengapa migran, tidak hanya di Malaysia, tidak teridentifikasi apakah legal atau ilegal. Persoalan ini kemudian menuntun pada perluasan potensi illegal trafficking yang dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk oleh pejabatkeimigrasian sebagai trafiker yang legal. Sebagaimana penelusuran Malay Mail (www.themalaymailonline.com) dua bulan lalu, tentang realita puluhan pos polisi yang kosong termasuk menara pemantau di Kedah, Malaysia. Pos-pos kosong ini terletak di kawasan yang strategis bagi rute trafiking illegal dimana mereka dapat dengan mudah masuk dan melakukan perdagangan manusia.
Tanpa persatuan Negara-negara ASEAN dalam menumpas perampasan hak-hak kemanusiaan, besar kemungkinan nasib masyarakat Arakan tidak bisa diubah. Oleh karena itu, langkah-langkah yang akan diambil oleh Aceh dan Negara Indonesia akan memberikan dampak yang signifikan bagi perkembangan kebijakan kemanusiaan tidak hanya di Negara-negara ASEAN, tapi juga di belahan benua lainnya. Semoga!
Nia Deliana, Master Sejarah dan Peradaban, Sukarelawan PuKAT
(Pusat Kebudayaan dan Turki), berdomisili di Banda Aceh. Email: delianania@gmail.com

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―