15 Maret 2019 menjadi salah satu tanggal yang mengejutkan bagi muslim diseluruh dunia.
80 orang Muslim di New Zealand yang sedang menunggu pelaksanaan salat Jumat berjamaah di dua mesjid terbunuh dan terluka akibat penembakan brutal persembahan produk nasionalisme kulit putih. Diantara korban dari India, Bangladesh, Turki, Afghanistan, Pakistan, terdapat juga nyawa-nyawa dari Indonesia dan Malaysia. Kemarahan terhadap peristiwa ini terdengar di seluruh pelosok dunia. Para pemimpin Negara-negara didunia dalam waktu yang hampir bersamaan mengutuk keras pembantaian ini, meskipun ada juga yang masih melemparkan ‘batu’ terhadap korban dengan menyalahkan situasi dan kebijakan imigrasi Muslim.
80 orang Muslim di New Zealand yang sedang menunggu pelaksanaan salat Jumat berjamaah di dua mesjid terbunuh dan terluka akibat penembakan brutal persembahan produk nasionalisme kulit putih. Diantara korban dari India, Bangladesh, Turki, Afghanistan, Pakistan, terdapat juga nyawa-nyawa dari Indonesia dan Malaysia. Kemarahan terhadap peristiwa ini terdengar di seluruh pelosok dunia. Para pemimpin Negara-negara didunia dalam waktu yang hampir bersamaan mengutuk keras pembantaian ini, meskipun ada juga yang masih melemparkan ‘batu’ terhadap korban dengan menyalahkan situasi dan kebijakan imigrasi Muslim.
Pelaku tertangkap pada hari yang sama. Tanpa cela. Saat muncul diruang pengadilan dua hari setelahnya, ia masih bisa tersenyum dengan jempol dan telunjuknya membentuk lingkaran dan telunjuk lainnya dibiarkan tegak, simbol yang dipakai oleh kalangan pendukung supremasi kulit putih. Dengan bentuk jari seperti itu Ia seakan mengirim sinyal sukses bagi ‘komplotannya’ diluar sana. Saat foto ini tersiar, wajah pelaku diburamkan, sedangkan jari-jarinya yang menyimpulkan dibiarkan terlihat tanpa kasat mata. Ini tentu saja memantik pertanyaan lain dari para pakar pengamat.
Panggilan kebijakan kepemilikan senjata, pelurusan stigma terorisme, telunjuk-telunjuk pada Trump Amerika dan anteknya adalah bagian yang menyusul dalam perdebatan-perdebatan dikalangan ‘platform’ berpengaruh. Namun, disisi lain, pembantaian ini juga digunakan untuk menaikkan roket popularitas individual, politisi-politisi dan tentu saja, media itu sendiri. Ada juga yang terlihat menikmati sorotan lampu-lampu kamera diwajahnya memantulkan kemunafikan lewat slogan-slogan melawan Islamophobia, terorisme, dan simpati pada para korban. Menari dengan lantunan nada yang sedang dimainkan.
Setelah pelaku penembakan, netizen adalah penonton pertama pembantaian ini. Kemarahan terlihat memuncak tidak hanya dari kalangan netizen muslim tapi juga non-Muslim. Namun ini semua segera teredam saat video Insiden telur oleh seorang bocah Australia dan foto rangkulan Jarcia Ardern, perdana menteri New Zealand, pada keluarga korban disiarkan disusul kemudian dengan kebijakan-kebijakan lain dari seorang ‘malaikat Ardern’. Internet seakan pecah. Hype terlihat disetiap sudut media didunia.
Berdasarkan kamus terjemah bahasa Inggris ke Indonesia versi Cambride hype berdefinisi “to make something seems more exciting and important than it is” yang maknanya “menjadikan sesuatu tampak lebih menyenangkan dan penting dari yang sepatutnya”. Ya, glorifikasi seputar Arden dan Lelaki Telur mengalahkan focus yang sebenarnya. Yaitu tindak
kriminal dan keputusan-keputusan terkait lainnya terhadap kelompok nasionalisme kulit putih. Jika New Zealand telah tegas soal kepemilikan senjata dan penghapusan stereotype Muslim sebagai teroris, atau lelaki muda yang ‘berani’ menceplok telur dikepala seorang senator negerinya, maka tidak perlu hype, karena itu secara natural adalah kewajiban mereka untuk menghindari kegilaan lain di negerinya. Itu adalah soal bagaimana seharusnya idealisme demokrasi yang dibanggakan itu patut dijalankan.
kriminal dan keputusan-keputusan terkait lainnya terhadap kelompok nasionalisme kulit putih. Jika New Zealand telah tegas soal kepemilikan senjata dan penghapusan stereotype Muslim sebagai teroris, atau lelaki muda yang ‘berani’ menceplok telur dikepala seorang senator negerinya, maka tidak perlu hype, karena itu secara natural adalah kewajiban mereka untuk menghindari kegilaan lain di negerinya. Itu adalah soal bagaimana seharusnya idealisme demokrasi yang dibanggakan itu patut dijalankan.
Hype seharusnya berputar pada superiority kulit putih yang saat ini masih duduk manis dinegara-negara adidaya, dengan backing dari kelompok puppet kulit putih dikawasan tertinggal, media kelas kakap seperti Fox, Dailymail, atau singkatnya media yang dikontrol
orang seperti Rupert Murdoch, hingga backing dari seorang presiden Amerika yang masih menjadi penentu (baca: sewenang-wenang) catur perekonomian dan perpolitikan di dunia. Hype harus terus dipusatkan pada tanggung jawab yang harus dihadapi oleh setiap pihak yang telah menunjukkan hidungnya mendukung nasionalisme kulit putih dan terorisme terhadap Muslim.
orang seperti Rupert Murdoch, hingga backing dari seorang presiden Amerika yang masih menjadi penentu (baca: sewenang-wenang) catur perekonomian dan perpolitikan di dunia. Hype harus terus dipusatkan pada tanggung jawab yang harus dihadapi oleh setiap pihak yang telah menunjukkan hidungnya mendukung nasionalisme kulit putih dan terorisme terhadap Muslim.
Menyaksikan hype yang masih gencar hingga beberapa waktu lalu mengingatkanku pada lirik-lirik ironis “This is America” dari pelantun Childish Gambino. Betapa media adalah raja yang menakhodai keadilan dan kejahatan sesuai selera kelompoknya. Pun, saat media berada dalam genggaman bebas setiap jiwa, dunia belum terasa lebih baik.