Takdir Istana Aceh dalam Jejak Pendatang Eropa

Salah satu hal yang paling sering ditanyakan oleh khalayak pecinta sejarah adalah “Jika memang Aceh dulu berperadaban megah, mengapa tak ada secuilpun peninggalan bangunan yang menggambarkan peradaban itu?” Berbagai jawaban sudah coba dilontarkan. Kebanyakannya merujuk pada peradaban intelektual dan budaya yang masih tersisa lewat manuskrip-manuskrip, makam, perhiasan-perhiasan, juga gunongan. Para akademisi kemudian juga membela ketiadaan bangunan-bangunan itu berdasarkan alasan-alasan alam, iklim, dan perang yang kerap berlangsung dalam setiap abad, disertai dengan realita pemangkasan kekayaan uleebalang lewat kebijakan yang diterapkan sejak Sultan kepemimpinan Sultan Iskandar Muda.

Dari sekian banyak pembelaan yang dilakukan, ada satu sisi yang luput dari perbincangan. Adalah fakta bahwa beberapa pendatang Eropa sempat merekam keberadaan bangunan Istana yang terbuat dari batu dengan gaya India.
Thomas Bowrey dalam catatan perjalananya berjudul a Geographical Account of Countries Round the Bay of Bengal, 1669-1679, mencoba menjawab realita bangunan megah di Aceh. Ia mengatakan bahwa Schouten, seorang berkebangsaan Belanda yang mengunjungi Aceh pada tahun 1663 menyaksikan bahwa pusat kota dibangun dengan fashion India. Ia juga mengutip ucapan De Graaf yang mengatakan:
“There is (at Achin) a large royal palace built in Indian fashion. It is almost entirely of stone with very beautiful apartments and gardens where are fine pyramides, several tombs of the kings, canals and a large houses for the king’s wives.”
Terjemahannya, “Terdapat di Atchin (Aceh) sebuah Istana luas yang dibangun dengan model India. Hampir keseluruhannya terbuat dari batu dengan ruang-ruang yang sangat cantik dan taman-taman dimana terdapat  piramid bagus (bangunan beratap segitiga, sic!), beberapa makam raja-raja, saluran sungai, dan rumah-rumah besar bagi istri-istri raja”.
Ketika Thomas Forrest mengunjungi Sultan Mahmud Syah pada paruh abad ke-18, ia juga merekam takdir bagi bangunan-bangunan itu. Dalam beberapa kali kunjungannya ke Aceh tiga kali ia diberikan kewenangan untuk menemui Sultan, Sultan Mahmud Syah dan anaknya, Sultan Muhammad Syah. Thomas Forrest menyaksikan saat pertemuannya yang pertama ia melihat bangunan Istana yang terbuat dari batu berdiri megah. Namun dalam pertemuannya dengan penerus Sultan Mahmud Syah tahun 1784, ia menyaksikan bangunan-bangunan batu tersebut telah menjadi puing. Ia diberitahukan bahwa perang sipil yang terjadi di Aceh kala itu menjadi salah satu penyebabnya.
Sebagaimana diketahui abad ke-18 dan 19 adalah abad yang menakjubkan sekaligus terumit sepanjang sejarah Aceh. Sejauh bacaan penulis, tidak ada lagi bangunan banguan batu yang melihat kebangkitan fashionnya hingga masa masa penerapan kebijkan etik Belanda antara tahun 1902 hingga saat ini.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―