The Malay World Expanded: Sebuah Komentar

Bagi pegiat sejarawan yang berkonsentrasi pada kajian diaspora, nama Ronit Ricci tidaklah asing. Wanita berkebangsaan Yahudi dan beranak dua ini merupakan salah satu yang  punya kontribusi signifikan dalam menggambarkan bentuk hubungan antar manusia berbeda pada abad ke-19. Karya-karyanya seringkali menjadi rujukan mereka yang mencoba mempelajari gerak manusia berbeda bangsa dan suku yang tanpa batas waktu dan ruang mampu berhubungan dengan benua-benua diselingkaran Samudra Hindia, termasuk Semenanjung Melayu dan Indonesia.

The Malay World, Expanded: The First’s Malay Newspaper, Colombo 1869 adalah karyanya yang baru saja selesai kubaca. Terbit tahun 2013 sebagai sebuah artikel dalam jurnal Indonesia and the Malay World. Meskipun berhalaman hanya 15, penemuan Ricci tak mungkin disepelekan. Diaspora Melayu di Sri Lanka dan ikatannya dengan perdagangan, perbudakan, sayap militer kolonial, perkembangan keagamaan dan berita menjadi bagian warna yang bercampur baur menonjolkan sisi lain masa lalu Sri Lanka.

 

 

Ronit Ricci merangkakan tulisannya dalam 6 bagian, dimulai dari pengenalan, Melayu di Sri Lanka, (signifikansi) 1869, Baba Ounus Saldin dan Alamat Langkapuri, Penjelajahan sebuah Alamat Langkapuri, dan Kesimpulan. Sumber utama dari kesemua bagian dalam tulisan tersebut adalah sebuah Koran bernama Alamat Langkapuri yang terbit pertama kali tahun 1869, mengalahkan anggapan bahwa Jawi Peranakan yang terbit di Singapura pertama kali tahun 1876 adalah Koran Melayu terawal. Koran ini menampung tulisan, iklan, dan berita-berita seputaran dunia barat dan timur dalam 4 bahasa, yakni bahasa Arab, Melayu (Jawi dan gundul), Tamil, dan Inggris yang dikontribusikan oleh beragam bangsa  dan suku. Distribusi Koran ini berhenti pada tahun 1870.

Ricci mengemukakan bahwa koran ini dididirikan dan diterbitkan oleh Baba Ounus Saldin (1832-1906). Ia merupakan seorang figur kunci yang melingkupi hidupnya dengan tulisan,
disamping berdagang dan beribadah. Ia menulis booklet puis-puisi Melayu, tatabahasa,
menyalin manuskrip dan mengumpulkannya dalam jumlah besar. Ia juga seorang pengikut sufi dan pengusaha; mengimpor buku dari Singapora dan Malaysia sekaligus orang yang peduli dengan kondisi sosial dan perekonomian masyarakatnya.

Alamat Langkapuri dan maknanya bagi pergerakan keragaman manusia tanpa batas waktu dan ruang tergambarkan dengan jelas dalam tulisan ini. Meskipun begitu ada bebeberapa hal yang barangkali luput dari perhatian. Dan ini bisa saja dikarenakan ketika tulisan ini terbit, kajian masih dalam tahap permulaan, sebagaimana yang disebutkan pengarang pada halaman-halaman awal.

Hal-hal yang masih belum terjawab itu adalah terkait dengan elaborasi soal alasan Koran ini hadir dan apa maknanya bagi kalangan Melayu yang ada di Sri Lanka. Pengarang juga tidak berupaya memposisikan masyrakat Melayu di Sri Lanka lebih dari  perannya sebagai budak dan tentara kolonial yang menulis atau tertarik dengan teks, padahal bangsa ‘Melayu’, terutama yang berasal dari pulau di Indonesia telah melakukan perdagangan antar benua dan memperpanjang daftar jaringan keagamaan dan ilmu pendidikan jauh sebelum era kuli/perbudakan, penjarahan alam, dan kemiliteran pribumi disisi kolonial abad ke 19. Selain itu, tindak kriminal Belanda dan Inggris terhadap rakyat yang hidup di kawasan ini juga sama sekali tidak disentuh, padahal ini adalah periode frustasi bagi masyarakat Muslim dan non-Muslim yang dipaksa mengalir sesuai arus perkembangan imperialisme saat itu. Saya mengerti barangkali ini disebabkan fokus penulis hanya pada interpretasi sirkulasi teks. Meskipun begitu, Ketiga poin diatas patut dipertimbangkan sebagai landasan publikasi Koran Alamat Langkapuri dan kehidupan sosial masyarakat Sri Lanka. Jika tidak, maka ini menjadi tambahan bukti ‘lunaknya’ ilmuwan-ilmuwan barat terhadap kolonialisme yang saat ini angka pencintanya kian meninggi dan dijadikan dasar kekuatan bangkitnya supremasi bangsa kulit putih.

Meskipun begitu, Kajian ronit Ricci pada fakta Alamat Langkapuri yang diterbitkan dalam 4 bahasa dan 5 macam akasara menjadi salah satu titik pijakan yang menggambarkan bahwa nasionalime atau ide berbangsa dan bernegara tidak menunjukkan level yang lebih progresif dari pada pergerakan antara wilayah yang bebas dan cair pada abad-abad sebelumnya.

 

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―