Turki dan Potret Media

Turki ternyata Hipokrasi juga.
Setidaknya itulah opini yang coba dibangun dengan judul artikel dibawah ini.
Artikel tersebut adalah salah satu contoh
kegagalan menginterpretasikan peristiwa sesuai dengan periodenya. Yang terlihat
adalah mencocokkan peristiwa dengan sentimen masa kini.


Lihat artikel yang dibahas ini disini https://historia.id/agama/articles/turki-tidak-mengakui-negara-islam-bentukan-uighur-DWeJM?fbclid=IwAR2f57N5hMgSvOdJ5S5KOPTgZ3h_T_WiJFqJu1B4witBnyniIJx7vpCBT34)



Artikel yang ditulis oleh Novi Basuki, seorang
mahasiswa Doktor di Universitas Sun Yat Sen Guangzhou China ini merantaikan
peristiwa-peristiwa diplomasi Republik Islam Turkistan Timur (RITT) dengan India, Turki dan Afghanistan, yang ditujukan untuk
satu bantuan ketangguhan. Namun editor/penulis Historia.id hanya girang memilih
Turki sebagai highlight dalam judulnya. Kata orang inilah jenis penggiringan
opini terhadap Turki. Kegirangan yang sama sekali dilandasi oleh kebanalan ‘semau
gue’. Ya, pengetahuan sejarah Turki pasca keruntuhan Khalifah tahun 1924 hingga
masa pembubaran RITT tahun 1934 sama sekali tidak dipertimbangkan. Apakah lupa,
setelah hancurnya Kekhalifahan, Turki mengalami periode revolusi yang
mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan penganut dan gerakan Islam? Apakah mungkin
dalam polemik seperti itu, Turki yang telah dipimpin secara konstitusi sekuler
mau mempertimbangkan kemauan RITT tersebut?!.
Barangkali editor/penulis juga
abai terhadap fakta bahwa hampir setiap gerakan Negara Islam didunia menghadapi
kegagalan yang sama dengan yang disaksikan RITT. Segala bentuk diplomasi atas
nama Negara Islam mendapat tantangan keras, tak hanya berupa penolakan aliansi
tetapi juga pembersihan gerakan yang ikut menjatuhkan ribuan korban sipil. Lupa dengan kasus Negara Islam di Indonesia?. 
Menggiring opini adalah
kebutuhan saat ini mengingat secara global Turki adalah salah satu negara yang
paling keras melawan penindasan yang terjadi terhadap Uighur, suku yang katanya
generasi penerus RITT ini.
Media dengan pendekatan bias seperti
ini bukanlah hal kekinian. Sejak kejatuhan Khalifah Usmani, ada dua jenis
kelompok yang mengawasi Turki; Pecinta setia dan pembenci buta. Kalangan atas
Indonesia (jajaran kenegaraan-sejak beberapa dekade sebelum keruntuhan Usmani
di Turki) menampakkan dua hal: kedataran sikap dan agnotis. Sebaliknya dari
jajaran masyarakat biasa, kagum-setia mencoraki warna dukungannya. 



Tetangga sebelah nyelutuk sambil nyengiran saat saya diskusikan soal ini. Katanya, “Kalau bisa Dukung Turki jangan, bela Uighur juga kagak.” 
Apapun trend saat ini, saya
tidak setuju dengan cara proyeksi media seperti ini. Netral dalam menyampaikan
ilmu adalah slogan yang sudah berusia lebih dari 100 tahun. Netral dalam
menyampaikan pengetahuan adalah kunci kecerdasan bermartabat.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―