Ilem Scientific Studies Association berkolaborasi dengan beberapa institusi di Turki sedang menyelenggarakan sekolah musim panas yang berlangsung sejak tanggal 29 Juli hingga 4 Agustus tahun ini. Sekolah ini bertema Transnasional Islam and Challenges of being the Muslim Ummah (Islam Transnasional dan Tantangan-tantangan menjadi Muslim ummah). pemikir pemikir pioneer seperti Abdullah al Ahsan, Cemil Aydin, Ovamir Anjum dan banyak lagi intelektual intelektual berkelas lainnya berbagi pengetahuan tentang ummah sebuah terminology yang dibalut dengan interkoneksi muslim didunia, keberagaman, dimensi sejarah, politik, hukum, kenegaraan, hingga tantangan beserta solusinya. Proses belajar di Sekolah Musim Panas ini interaktif sekali, setiap pendapat pelajar yang berasal dari 17 negara didunia ini, tinggi dan rendahnya ditanggapi secara sejajar.
Dalam sesi pembukaan kegiatan ini, seorang pembicara kunci, Cemil Aydin, historian sekaligus ilmuwan politik terkenal dı Turki berbagi pengetahuan selama satu jam lebih. Ia mainkan ceramah akademiknya dipanggung secara kompeten pada tanggal 29 Juli 2019. Dengan mengangkat judul A Global History of Muslim Internationalism (Sejarah Global Muslim Internasional) Aydın berangkat dengan menguraikan latar belakang politik berdirinya Kesultanan Muslim didunia. Kemudian dilanjutkan dengan menelusuri gerak internasionalisme pada masa narasi-narasi ummah semakin tinggi didengungkan, yaitu pada masa Sultan Abdul Hamid. Untuk melihat pergerakan ini ia menggunakan peta yang dikaryakan oleh orientalist dan kemudian dipakai oleh kalangan Muslim dan non-Muslim untuk menunjuk pergerakan ummah sekaligus proses konstruksi rasisme. Aydın mengangkat fokus internasionalisme tidak hanya seputar Timur Tengah tapi juga menjalar ke India dan Indonesia, terutama saat mengilas-balikkan momen-momen perkumpulan negara-negara Muslim seperti Koneksi kedua negara ini pada Turki Usmani yang dibahas secara mendalam hingga periode pergerakan Khilafah di India dan Konferensi Bandung yang diinisiatifkan oleh Soekarno pada tahun 1955.
Cemil Aydın, sebagai seorang cendekiwan terkemuka di Turki tentu sudah diakui kuatnya opini yang ia miliki dengan segudang daftar bahan bacaan dan fakta. Perspektif Cemil Aydın terbilang fenomenal dan pantas diancungi jempol. Namun, ada beberapa hal yang menarik untuk dibincangkan lebih lanjut. Salah satunya adalah mengenai perspektif Soal Muslim Ummah. Ia menyebut bahwa Ummah berayahkan Turki dan beribukan Inggris. Tentu ini adalah ucapannya yang satirikal. Meskipun begitu ia meyakini hal ini.
Sebagaimana klarifikasi dalam argumennya yang dilandasi dengan fakta-fakta meningkatnya hegemoni Barat terutama Inggris yang setidaknya pada akhir abad ke-19 merupakan Kekaisaran dengan kantung ekonomi terbesar yang berhasil ‘merangkul hampir seluruh kedaulatan kerajaan Muslim didunia. Aydın percaya bahwa Turki Usmani berada dalam satu kasur dengan Inggris, menganggapnya partner politik dan ekonomi yang paling setia.
Ia mengangkat salah satu contoh yang menggambarkan perspektif ini. Adalah soal dukungan besar Inggris terhadap Turki Usmani. Ya, ia benar, kecuali realita bahwa dukungan itu berbentuk hutang dengan bunga yang tinggi melilit. Kebanyakan hutan ini dikucurkan untuk penyediaan senjata dan perlengkapan perang. Namun Aydın sama sekali tidak menyebutkan atau setidaknya mempertimbangkan bahwa Aceh dan Muslim India juga menyumbangkan donasi bagi Turki Usmani dalam mendukung perang melawan Russia ini. Jika ingin dimaknai dengan tidak mengabaikan bantuan dua negara kecil diatas maka kita bisa berargumen bahwa Yang ‘menjadikan’ Inggris sebagai partnr setia Turki Usmani adalah hutang-hutangnya.
Apa yang tidak dilihat oleh Cemil Aydın adalah realita bahwa ideologi politik saat itu dikalahkan oleh adidaya ekonomi, bahwa Turki Usmani bersekutu dengan Inggris bukan karena fungsi ummah telah terabaikan melainkan karena tumpuan ekonomi yang tak usai, seperti tutup lobang gali lobang yang melumpuhkan Turki Usmani untuk menolak kontrol ekonomi dan politik dari negara-negara ‘sponsor’nya.
Hal lain yang luput dari pandangan ilmuwan berenerjetik ini adalah bahwa Inggris telah menguasai India dengan meningkatnya jumlah penguasa-penguasa Muslim India yang dominannya telah menyatakan sekutu dengan Inggris. Tıdak ada yang salah dengan kalımat ini karena faktanya Aceh pun lebih mengandalkan kerjasama dengan Inggris dari pada Belanda, yang kemudian berakhir dengan kekecewaan. Namun Apa yang tidak dipertimbangkan dalam pernyataannya diatas adalah kenyataan bahwa Inggris berada pada posisi tersebut dengan mencabik-cabik fabrik sosial, ekonomi, system politik, hingga ko-eksistensi dan kebebasan jaringan dagang yang dikuasai oleh orang pribumi seperti Hindu dan Muslim. Ini terutama dapat dengan mudah ditemui dalam perjalanan sejarah India Selatan dalam kurun 200 tahun sebelum abad ke-20. Aliansi dengan Inggris dikarenakan Muslim tidak punya pilihan lain untuk bersekutu, tidak dengan Perancis tidak juga dengan Belanda yang kedua-duanya diketahui tidak lebih beradab dari soal hukum, kepemerintahan, dan regulasi perdagangan.
Adalah tidak adil dengan menyimpulkan bahwa ummah sempat dipegang oleh Inggris yang sedang bercinta dengan Turki Usmani berdasarkan tumpukan-tumpukan kerugian dan kerusakan yang menimpa jaringan-jaringan pribumi melalui monopoli ekonomi, aturan-aturan yang tak sejajar, dan memainkan peran divide and rule yang dipercayakan komandonya kepada penguasa penguasa Hindu yang sebelumnya pernah dalam kontrak ko-eksis dengan Muslim dan Hindu yang sebelum kedatangan Inggris merupakan kaum yang tak berpengearuh, kecuali beberapa saja, dikarenakan kondisi kasta, keyakinan dan kondisi finansial.
Sejauh kajian beliau, ia menyimpulkan bahwa Internasionalisme Muslim, baik itu berupa Pan Islam, Pan Asia adalah proyek politik yang gagal. Konotasi Ummah yang sedang dikonteskan secara ilmiah dalam sekolah musim panas inipun telah ia signalkan secara halus, barangkali akan berada pada haluan yang sama. []
http://rubrika.id/index.php/2019/07/31/turki-usmani-dan-inggris-adalah-ibu-bapanya-muslim-ummah/