Sejak abad ke-19 ketika segala aspek hidup manusia diukur dengan kacamata ilmiah, Peradaban dalam definisi, konsep, dan teori, hingga kini belum sampai pada satu kesimpulan universal. Meskipun begitu, paradigma peradaban, dalam benak kita biasanya terbagi dalam dua macam, yaitu bersifat materi dan non-materi.
Sebagaimana akar ukuran ilmiah yang mengedepankan bukti dan fakta bersifat materi, penemuan-penemuan arkeologi dan peninggalan intelektual kebanyakannya ditempatkan pada kelas peradaban paling tinggi. Semakin banyak dan luas peninggalan yang ditemukan, semakin tinggi pula stereotype ‘lebeh hayeu/ leubeh beradab’ yang kemudian secara alamiah menuntun pada diseminasi pengaruh politik, ekonomi, dan budaya terhadap bangsa lain yang penemuan dan kelestarian peradabannya tidak sebanding, misalnya.
Ketika kita membaca buku-buku kaliber internasional soal peradaban, narasi yang sering dipakai untuk menggambarkan akar peradaban adalah dari zaman Yunani, atau renaissance, abad ke 18 berlanjut ke abad imperialism, yaitu abad ke 19 dan abad berbangsa dan bernegara dari tahun 1900-2000. Kita diajarkan bahwa isi dari kata peradaban yang kita pakai sekarang itu mengakar pada kata civilité dan policé, bahasa Prancis. Inggris mengopi kata ini menjadi civilization. Belanda memakai kata dengan makna yang sama ‘beschaving’. Kelanjutan dari perbincangan di Eropa kemudian adalah soal banding membandingkan masyarakat mana primitif dan masyarakat mana modern yang diukur dengan peninggalan-peninggalan sejarah tadi. Oleh karena itu tidak mengherankan jika kita mendapati literatur yang berkesimpulan bahwa Afrika adalah bangsa yang tidak punya sejarah (yang dijadikan fondasi kebijakan rasisme), atau narasi soal masyarakat Asia Tenggara yang savage dan inferior, atau sejenisnya, yang kemudian dimanfaatkan oleh zionis Kristen penjajah untuk mengeruk keuntungan politik dan ekonomi dari sumber daya alam dan manusia di kawasan ini.
Begitu juga ketika kita bicara peradaban Aceh, tentu masih banyak pertanyaan yang muncul. ada yang menganggap Aceh tak punya peradaban, Ini biasanya diucapkan oleh mereka yang memakai standard ciri konstruksi peradaban zaman renaissance abad ke-18 dan imperialisme abad ke 19 dan 20 tadi. Ada juga yang menjawab dengan khas Khaldunian bahwa ciri peradaban Aceh dulunya adalah Islam, Assabiyah, zawiyah, dan produktifitas Sultan dan ulama. Jawaban ini benar tetapi ada banyak kedalaman lain yang belum coba dikonstruksi dan didiseminasi secara institusional.
Aspek mendesak tersebut termasuk diantaranya berkenaan dengan yang pertama, konsep Islamisme Aceh yang terpateri dalam manuskrip-manuskrip intelektual yang mengandung identitas ekonomi, politik, bermasyarakat, keagamaan, dan seni budaya. Yang kedua, fluiditas pesisiran, yang melanggengkan sifat keberagaman dan inklusifitas berbagai golongan umat manusia terlepas dari agama dan suku yang berbeda. Yang ketiga, Sifat ramah alam (gerak ekonomi dan politik tidak berlawanan dengan ekologi alam dan Lingkungan hidup).
Ketiga faktor ini alpa dari sejarah-sejarah dunia lainnya, di Eropakah atau di Timur Tengah. Ketiga faktor ini juga yang menjelaskan mengapa manuskrip-manuskrip Jawi yang kita temui sama sekali tidak mencoba menekankan hirarki kelas dan keistimewaan suku tertentu dari suku lainnya.
Ketiga ciri peradaban Aceh diatas tersebut semakin memudar dari cermin-cermin kekinian di Aceh. Dalam menanggapi kelemahan ini, pengembangan kurikulum berdasarkan peradaban Aceh abad ke-16-19 adalah hal yang tepat. Saya mensketsakan kerangka kurikulum tersebut perlu melingkupi beberapa poin seperti konsep dan teori peradaban dalam kesultanan Aceh Darussalam, peran saudagar, ulama, sufi, reformis, haji dalam penyebaran Islam di Aceh, pengaruh Islam dalam kehidupan sosio-politik, ekonomi, dan bahasa masyarakat kesultanan Aceh Darussalam, Islam pada masa modern: pemikir, trend gerakan dan kepemimpinan di Aceh, Akar dan perkembangan hak azasi manusia dalam kesultanan Aceh Darussalam, azas norma lingkungan dalam masyarakat kesultanan Aceh Darussalam. Sketsa lanjutan dan lebih mengkomprehensif masih sangat dibutuhkan.
Untuk memulai poin kurikulum diatas, batu tanjakan yang sudah siap adalah tindak lanjut konstruksi sejarah berdasarkan penemuan ilmuwan-ilmuwan lokal terdahulu seperti Muhammad Said, Ali Hasjmy, Osman Raliby, Zainuddin, dan lain2. Hingga saat ini, kajian mereka mentok hanya sampai pada apa yang mereka temukan, padahal sejarah itu lenturnya selentur zaman yang bisa dikonstruksi beradasarkan kebutuhan perkembangan sosial, politik dan ekonomi.
Persoalan lain yang perlu disadari adalah seputar hakikat bahwa buku buku sejarah yang sampai pada kita sekarang sudah dalam bentuk jahitan. Kita tidak punya akses langsung ke sumber-sumber sejarah primer seperti surat-surat, manuskrip, dan rekaman-rekaman lainnya yang bisa kita pijaki bersama untuk menghasilkan konstruksi narasi orisinil dari berbagai sudut pandang. Ini dikarenakan kebanyakan sumber-sumber sejarah Aceh abad ke-16-19 ada diluar negeri dan dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Arab, Portugis, Prancis, Inggris, Denmark, Tamil, bahkan Tausug. Ini juga yang menjadi kelemahan mengapa universitas kita di Aceh tidak punya nilai bargin dalam kancah pendidikan dunia internasional.
Tak lebih baik juga, adalah realita bahwa manuskrip dalam koleksi personal di Aceh begitu banyak dan hampir ditemui di berbagai daerah. Namun universitas-universitas dengan departemen terkait masih belum penuh bergerak menjadikan manuskrip itu bisa diakses khalayak ramai dengan murid2 pasca sarjananya yang dijatahi langsung kajian berdasarkan manuskrip dalam koleksi personal tersebut. Nah, yang saya sampaikan ini sebenarnya yang sedang dilakukan oleh kampus internasional SOAS di Inggris. Mereka baru-baru ini bahkan membuka Beasiswa PhD yang akan diberikan pada kandidat yang lahan kajiannya adalah manuskrip lokal Asia Tenggara yang ditemui di pustaka mainstream Inggris dan Eropa atau yang berasal hanya dari kawasan-kawasan Asia Tenggara.
Jadi untuk bisa menanggapi kelemahan-kelemahan tersebut saya kira penting jika dimulai dari pengembangan kurikulum di Universitas di Aceh. Tidak hanya itu saja, Fakultas Tamadun dan Sejarah Islam Indonesia pun penting untuk didirikan secara terpisah demi menanggapi celah celah yang lebih besar dalam dunia pendidikan penyerapan nilai lokal kita.
Jadi yang sedang dicoba lakukan dengan upaya pengembangan kurikulum ini adalah upaya memproduksi pengetahuan dari sudut pandang lokal. Produksi pengetahun sedang banyak digandrungi dan dibicarakan oleh kampus-kampus ternama di dunia saat ini. Meskipun begitu di Asia Tenggara hanya Indonesia, jika menimbang provinsi selain di Jawa, yang tidak begitu bersigap dengan langkah produksi ilmu berbasis lokal.
https://portalsatu.com/aceh-butuh-kurikulum-berbasis-pengetahuan-lokal/