Atlit Muslimah Dunia dan Miftahul Jannah



Perempuan berjilbab dalam dunia olahraga adalah minoritas.
Kaum Minoritas dilindungi haknya dalam undang –undang Indonesia dan hukum
internasional. Pihak yang merampas hak minoritas terikat dengan sederetan
hukuman penjara.  Harusnya, narasi inilah
yang melindungi hak berjilbab Miftahul Jannah, seorang Judoka dengan cacat
penglihatan yang bertanding mewakili Indonesia dalam Asian Games 2018. Namun
realitanya tidaklah demikian. Dan ini bukanlah fenomena baru dalam dunia
olahraga yang menganaktirikan kompetitor-kompetitor berjilbab dalam kancah
internasional. 

Ilmuwan-ilmuwan Barat sejak abad ke-19 melihat Jilbab sebagai
 simbol ‘terkungkung’, terbelakang, dan
inferior terhadap suami dan dominasi lelaki. Di sisi masyarakat Muslim sendiri, perempuan berhijab
merupakan tanda muslim yang taat yang apabila dilanggar akan berdampak pada
konsekuensi pengucilan dari komunitas melalui label sesat, dan stereotip
negatif lainnya. Lebih jauh lagi, terdapat kubu lain dalam masyarakat Muslim
yang tidak mendukung sama sekali keterikutan perempuan dalam dunia olahraga
kecuali olahraga panah, menunggang kuda, dan berenang, yang merupakan sunnah
Rasulullah. Namun jika benar-benar olahraga ini punya peserta perempuan
Muslimah berjilbab hari ini,
 saya yakin
mereka tidak bisa berhenti mengomentari pakaian dan bagian tubuh perempuan berhijab
yang terpantul lewat lompatan-lompatan kuda dan renang tersebut. Dalam situasi ini kecenderungan selanjutnya adalah penekanan bahwa itu hanya sunnah, aurat lebih
penting!. Semua kubu ini pada dasarnya adalah kelompok utama yang menggagalkan
perempuan sepanjang sejarahnya, disamping realita-realita lain seperti perang,
kemiskinan, dan buruknya akses pada pendidikan. Intinya kritik yang dialami
oleh perempuan perempuan yang memilih aktif diruang publik dengan berhijab ini
dua kali lipat dibandingkan mereka yang tidak. Dalam gambaran lebih besar dapat
dikatakan bahwa dalam satu sisi, hak azasi manusia tidak secara utuh berlaku
bagi masyarakat Muslim, apalagi jika ia seorang Muslimah dan disisi lain, hak
dan kewajibannya cenderung diukur dengan sepanjang mana jilbabnya terulur.
 


Kubra Dagli misalnya, merupakan seorang medalis Taekwondo
asal Turki yang berhasil menaklukkan emas dalam pertandingan internasional tahun 2016. Selain mendapat hujanan
pujian, tak sedikit yang melayangkan hujatan. Diantara hujatan itu adalah
teriakan-teriakan menghasut soal jilbabnya dan panggilan-panggilan agar ia
“kembali beraktifitas didapur dan tempat tidur sebagaimana perempuan muslimah lainnya.” Komentar-komentar ini masih bisa dilacak lewat beberapa outlet media lokal dan luar negeri.



Selain Kubra Dagli terdapat
juga Ibtihaj Muhammad. Berbeda dengan Kubra Dagli yang datang dari kalangan
masyarakat dengan sejarah Yunani, Islam dan sekulerismenya yang begitu kental,
Ibtihaj Muhammad besar di Amerika, sebuah Negara yang dibangun oleh migran yang
kemudian menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan sebagai dasar peradaban.
Dengan nilai-nilai tersebut ia mendapatkan secara mutlak perlindungan hukum dan
dukungan segala lini kemasyarakatan yang menumbuhkan rasa percaya diri untuk
mampu bersuara lantang demi memulihkan haknya berjilbab dalam ajang Olimpiade
tahun 2016 yang berakhir dengan penganugrahan Perunggu untuk ketangkasannya. Ia
adalah atlit Muslimah berhijab Amerika yang pertama.



Dikarenakan suara Ibtihaj
berhasil mendapat pengakuan dari negeri Amerika, banyak perempuan-perempuan
lain yang terinspirasi untuk berani mendobrak persepsi-persepsi negatif yang
masih kencang disuarakan oleh kubu kubu tersebut diatas. Ada diantaranya
Kulsoom Abdullah yang mewakili Pakistan dalam ajang Angkat Besi di Amerika dan
juga Abul Fazl, seorang pemain sepakbola perempuan asal Alfghanistan.  


Segala pengalaman atlit diatas tentunya jauh berbeda jika
dibandingkan dengn Miftahul Jannah yang berasal dari Aceh Barat Daya, sebuah kabupaten kecil di Aceh, provinsi paling kontroversial di Indonesia. Aceh sebagaimana diketahui punya reputasi tak gemilang terutama saat berkaitan dengan dampak perang, tidak meratanya aplikasi hukum dan tingginya identifikasi korupsi. Dengan penglihatannya yang tidak baik, bertanding Judoka
barangkali merupakan satu-satunya impian yang ingin ia capai. 

Mifathul Jannah telah didiskualifikasi untuk bertanding dalam ajang Asian Games pada tanggal 8 Oktober 2018 berdasarkan alasan aturan larangan jilbab. dibalik aturan ini ditekankan alasan bahwa keselamatan adalah satu satunya pertimbangan. Dalam kalimat lain, ketakutan akan bahaya pada tekanan dibagian leher yang barangkali dilakukan oleh lawan tandingnya. Diskualifikasi Jannah telah menuai berbagai kritik dari berbagai pihak. 


Aturan yang mengena Miftahul Jannah tidak ramah terhadap kecatatan fisik kontestan. Aturan seperti ini perlu dievaluasi kembali mengingat perkembangan dunia olahraga internasional yang telah banyak mendapat kompromi soal busana kontenstan para Muslimah, termasuk dalam soal jilbab. Untuk mengakomodir inipun, perusahaan-perusahaan olahraga ternama didunia telah merancang jilbab khusus atlit dengan design lebih aman dan kompetitif. Jika memang betul betul mengkhawatirkan soal titik bahaya yang tidak terprediksi, pihak panitia Asian games dan pihak federasi Judo perlu mengaplikasikan aturan modifikasi terhadap wasit secara khusus yang ditujukan untuk mampu memastikan titik bahaya tersebut tidak terjadi. Intinya, kesempatan bagi Miftahul Jannah dan komunitas cacat fisik lainnya untuk bertanding dalam dunia internasional harus menjadi prioritas. Demi kemerataan hak bagi setiap rakyat, diskualifikasi semacam ini tidak manusiawi.  
Polemik yang dihadapi Miftahul Jannah dalam beberapa aspek adalah inspirasi bagi ratusan perempuan-perempuan korban konflik, khususnya di Aceh. Polemik ini perlu mendapat tanggapan yang positif dan membangun.

Secara umum, perjuangan perempuan berhijab nampaknya masih begitu panjang.
Meskipun begitu adalah penting untuk melihat dengan pertimbangan pemenuhan hak
bagi setiap minoritas. Dengan ini diharapkan akan menjadi inspirasi bagi
bangunnya peradaban Islami yang dipimpin juga oleh anak-anak perempuan kita.

https://www.acehtrend.com/2018/10/09/atlit-muslimah-dunia-dan-miftahul-jannah/

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―