Budi Penjajahan dan Dekolonialisme Pengetahuan

Akhir-akhir ini, topik-topik seputar peristiwa ratusan tahun yang lalu, kembali segar didiskusikan. Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau ini dijajah secara berangsur dan merata oleh bangsa Eropa (Portugis dan Belanda). Interpretasi dan pola pandang berbentuk optimisme dan pesimisme penjajahan kian beragam, termasuk soal pro-kontra adanya luka yang masih berimbas pada fabrik sosial dan politik dalam hidup generasi-generasi saat ini. Pun demikian, dalam bentuk moral antara sesama, kedalaman luka ini kerap berhadapan pada kebodohan dan pengabaian yang tak kunjung terpulihkan meskipun telah 75 tahun mengklaim diri ‘bebas’ dari penjajahan. Dari Ibukota ke provinsi, dari provinsi ke pedesaan dan dari hati ke hati, Kita masih terikat dengan legasi psyche penjajahan. Pengabaian sistemik pada sustainabilitas konservasi sejarah Gampung Pande di Aceh adalah contoh miris yang tak dapat dibantah.

Kebal dengan Kejahatan Kolonial

Dalam jumlah signifikan penduduk negara-negara Eropa, ada tingkat sensitifitas dan ketidaknyamanan jika dihadapkan pada diskusi-diskusi kolonialisme sebagaimana diakui sendiri oleh beberapa sarjana Eropa seperti Julianne Hammer (IISS6 lecture series, 2019), yang ia utarakan tanpa menekankan dukungan pada gesture tersebut. Kita maklumi jika ini merupakan imbas pengakuan pada kejahatan masa lalu.

Yang tak mungkin dipahami adalah puji-pujian bagi legasi kolonialisme yang akhir akhir ini mendapatkan naungannya dalam tempuran-tempuran keyboard sosial media yang kemudian dikedepankan secara formal dan bangga oleh Bruce Gilley (ewmagazine.nl, 2018). Gilley yang menjustifikasi kiprah kolonialisme dan penekanan pada sisi baik menjadi figure professional kulit putih yang paling disenangi kaum far-right Eropa. Topik ini terus dibincangkan baik secara pertentangan maupun dukungan, termasuk dalam masyarakat bekas Negara jajahan.

Bagi penyimak yang kebebasan hak hidup leluhurnya terjarah, pembelaan yang datang dari Negara-negara aktor jajahan tidak lebih menyakitkan dari suara-suara dukungan lunak yang berasal dari dalam negeri. Ada dua golongan dalam hal ini. Yang pertama adalah golongan mahasiswi/wa yang merasakan positifitas dan optimisme pendidikan di negara Eropa, baik melalui sponsor pribadi atau sponsor institusi pendidikan luar negeri. Saya menyaksikan sendiri misalnya pendapat “penjajahan juga ada sisi baiknya…” dengan merujuk pada perkembangan teknologi dan budidaya industri percetakan yang menjadi dalih untuk setidaknya tidak sepenuhnya menyalah kan otoritas penjajah pada kerugian-kerugian dan korban-korban kematian pribumi, melainkan pada mereka koloni yang kalah dalam persaingan superioriti ekonomi dan ilmu pengetahuan. Saya kira pandangan ini adalah hasil dari bacaan-bacaan dan diskursi selama masa belajarnya di Eropa, meskipun pada realitanya kemajuan di kampung halaman sang teman tidak beranjak dari efek kerusakan akibat penjajahan yang baru berhenti 75 tahun belakangan.

Luka penjajahan menjadi kebal ketika berbaur dengan psikologi dan lingkungan intelektual Eropa yang tidak melihat pentingnya  diskursi gugatan-gugatan terhadap penjajahan.

Gejala negatif ini terlihat semakin sewenang-wenang ketika badan-badan institusi pendidikan menciptakan kolam pemikir hanya untuk satu aliran, sebagaimana yang diakui oleh Prof Naoko Shimazu dalam sela-sela pengajaran virtual yang diselenggarakan oleh Asia Research Instutite beberapa bulan lalu. Tepatnya ia menyebut bahwa rekrut akademik itu misalnya berdasarkan kesamaan budaya pikiran yang bisa dijabarkan dalam jenis ideologi, geneologi ilmu, budaya, dan pendekatan pada agama tertentu. Dengan situasi lingkungan pendidikan yang menyempit ini, secara alamiah, kritik-kritik terhadap eurosentrisme, apalagi dari Negara-negara penerima benefisiari, misalnya dapat memperkecil kesempatan untuk bersuara dan didengar secara sejajar dengan pengayom budaya dominan.

Kelompok selanjutnya adalah bekas generasi Kelas Dua dalam rejim kolonial. Generasi ini adalah mereka yang menyerah dan berkerjasama dengan Belanda kemudian mendapatkan akses keuntungan secara turun-menurun, baik lewat pengelolaan lahan ekonomi, pengurusa administrasi atau lewat pendidikan gratis pasca kolonial politiek etische yang ditegakkan oleh Snouck Hurgronje tahun 1901. Golongan leluhur generasi ini tidak hanya pejuang Muslim yang kemudian menyerah tetapi juga pribumi bukan Muslim yang sejak awal secara alamiah berkecimpung dalam kelancaran bisnis, administrasi dan pasifikasi Belanda. Generasi dari kelompok ini hingga saat ini bisa ditemukan menjabat posisi-posisi penting dalam pemerintahan di ibukota atau provinsi, dan sektor swasta di Indonesia.

Dekolonialisme Pengetahuan

Ada banyak alasan mengapa pembenaran penjajahan adalah upaya kritis yang prematur. Salah satu contoh kasus misalnya dapat dilihat dari perjalanan hidup seorang Teuku Muhammad Hasan (1906-1997), bangsawan Aceh yang merupakan Wakil pemerintah pusat dan Gubernur Sumatra pertama Indonesia.  Ia tak hanya berjasa dalam menegakkan adminsitrasi pemerintahan Republik Indonesia tapi juga dalam proses perumusan Pancasila, termasuk penentuan ideologi dan filsafat Negara.

Teuku Muhammad Hasan. Wikiwand

 

Teuku Muhammad Hasan adalah generasi pertama Kelas Dua selama masa penjajahan yang mendapatkan dukungan pendidikan hingga ke jenjang gelar master dalam bidang hukum di Belanda. Selain itu ia juga cakap berbahasa Inggris, Prancis, Jerman, selain bahasa Belanda, Arab, Melayu, dan Aceh. Berdasarkan kulikan buku karangan Muhammad Ibrahim berjudul Teukoe Moehammad Hasan: Karya dan Pengabdiannya yang terbit tahun 1983 ini disebutkan bahwa pada tahun 1898 setelah Ayahnya menyerah pada Belanda, rezim penjajah Belanda tidak menepati janji-janji yang telah dihaturkan sebelum menanda- tangani Korte Verklaring. Sebagai Bangsawan penguasa kawasan Pineung Sigli, diketahui hak dan kewajiban ayahnya adalah memakmurkan rakyat dengan meningkatkan pendapatan daerah yang semata mata berasal dari perkebunan dan pelabuhan. Pelabuhan-pelabuhan yang secara tradisi merupakan lokasi persinggahan puluhan kapal-kapal dagang untuk kemudian disusul dengan penjemputan hasil ladang dan hutan ini ditutup oleh Belanda. Ditambah lagi dengan kewajiban pajak, yakni 1 gulden bagi rakyat biasa yang tak bermata pencaharian tetap, dan 50 gulden bagi bangsawan dengan pemasukan reguler. Ini tentu bentuk penjajahan eksploitasi yang dikecam oleh banyak sarjana-sarjana post-kolonialisme.  Hidup keluarga Teuku Muhammad Hasan tidak nyaman seperti yang diperkirakan, oleh sebab itu ia kerap kembali ke pangkuan pejuang-pejuang Aceh dan memutuskan melawan kolonial Belanda.

Pengalaman hidup sang pahlawan diatas itu tentu terasa familiar dengan perkembangan di Aceh saat ini, yang menyaksikan realita perdamaian tahun 2005 membuahkan partai lokal namun berujung perpecahan dengan butir butir perjanjian MoU Helsinki yang belum terwujud, hingga akhirnya harus tergusur oleh dominansi otoritas anggota partai nasional. Ini tentu topik yang perlu dibicarakan lebih khusus.

Pasien-pasien katarak di Aceh yang dioperasi oleh J Tissen tahun 1932. KITLV

 

Jika terkesima dengan rel kereta api, infrastruktur jembatan, layanan kesehatan dan bedah gratis, serta pengucuran ratusan ribu gulden untuk pembukaan lahan pertanian dan penggalian mineral, itu semata-mata tidak diperuntukkan untuk kesetaraan hak masyarakat pribumi melainkan eksperimentasi ilmu sains, eksploitasi hasil bumi dan kerja manusia-manusia kuli yang diupah murah demi menyusui imperialisme, dan kapitalisme. Oleh karena itu tidak perlu bertanya mengapa masih berontak pada penjajah. Sebaliknya, pertanyaan yang harus diajukan adalah mengapa hati kita berubah kebal dengan setiap kekejaman dan ketidakadilan itu.

Berbeda halnya dengan Jepang yang dipermalukan dengan meminta maaf pada seluruh manusia setelah kebrutalan Amerika di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945, Bangsa Eropa, selain ungakapan yang dilakukan Belanda 2,5 tahun lalu, masih ‘berhak’ membusungkan dada dengan legasi penjajahannya akibat hutang kehormatan kita pada ‘kebaikan’ penjajah berbagi rel kereta api, ilmu teknologi, dan cara melihat secara ilmiah ‘kebenaran’ pengetahuan.

Kekebalan pada luka penjajahan dapat menuntun pada menumpulnya kritik terhadap nilai-nilai dan aksi kebijakan negera-negara Eropa dan rakyatnya, yang manisfestasinya banyak dicomot dan dimimiki oleh hampir setiap Negara Muslim didunia. Isu-isu Superioriti kulit putih, rasisme, xenophobia, dan Islamophobia adalah tolak ukur sekritis apa pemahaman kita soal kebebasan hak dan jati diri pada masa lampau dan cerminaya pada masa kini.

Telah terbit sebelumnya di : https://republika.co.id/berita/qjeox6385/perlukah-berterima-kasih-pada-pikiran-kolonial

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―