Ternyata pemberlakuan hukum pajak dan kuli adalah denda bagi pihak kalah perang. Setidaknya itu yang digambarkan dalam edaran surat khabar De Locomotief bertanggalkan Senin 1 Oktober 1877.
De Locomotief adalah surat khabar Belanda terawal di Indonesia yang berdiri tahun 1845 dan berhenti sepenuhnya pada tahun 1956. Koran yang dipimpin oleh salah satu penggagas politik etik kolonial, Pieter Brooshoft ini sempat berhenti tahun 1940 sebelum kemudian dikerahkan kembali tahun 1947, dua tahun setelah kemerdekaan Indonesia dan 26 tahun setelah wafatnya Brooshooft. Barangkali ini disebabkan oleh kiprah dan peran koran ini sebagai prinsip nilai pemerintahan etis yang dipandang perlu dilanjutkan.
Pendirian pada Etik
Terbitan yang kita bicarakan disini adalah salah satu contoh keistiqamahan sebagian kalangan kelas menengah Belanda yang menggunakan koran De Locomotief untuk membangun pemikiran dan kebijakan kolonial etik. Terdapat ekstrak berjudul “Overzicht van Artikelen uit Indische Bladen (Intisari dari Artikel Koran Hindia)” yang diangkat berdasarkan tulisan pengarang lain yang terlebih dahulu dimuat dalam koran Bataviaasch Handelsblad (BH) bertanggal 26 Desember 1876. Sayang sekali saya belum bisa menemukan koran yang dimaksud sebagai material pembanding dalam tautan lini https://www.europeana.eu/ yang menyediakan akses publik.
Penulis esktrak ini menyikapi rentetan keluhan biaya perang Aceh yang terjadi antara tahun 1873-1877 dan pembenaran untuk memulihkan kerugian yang diakibatkan perang dengan hukum pajak dan kerja paksa. Dikatakan Belanda mengeluarkan lebih dari 5 Trilliun untuk membiayai perang dalam durasi 1 tahun tersebut.
Tentu dalam hal ini tidak hanya soal kucuran anggaran berat yang disesali tetapi juga soal kerugian tahun 1873 akibat tersungkir dari medan perang. Belanda baru menduduki Istana ibu kota tahun 1874 setelah mengembangkan sekian banyak kajian keilmuwan topografi, hagiografi, dan pemetaan wilayah Aceh secara lebih terperinci sebelum mengirimkan jumlah kapal laut, tentara, perlengkapan perang dan pertahanan pasukan yang tidak akan bisa disamakan jumlah kekuatannya oleh pihak lawan. Pasca 1874, Belanda memusatkan pemerintahan militernya dalam kira kira 50 km konsentrasi lini yang terhubung dengan kabel-kabel kendaraan patroli dan komunikasi.
Ia mengkritisi penulis BH yang mengabaikan soal layak atau tidakkah perang itu. Ia juga menyindir minat petugas militer pada agenda perkulian dibawah eksploitasi perusahaan swasta dan dalih untuk melonggarkan kebijakan militer demi kenyamanan golongan kaya.
Berkah Peradaban ala Militer
Selain itu, Ia juga mendebat dalih ‘keberkatan peradaban’ pada usulan kompensasi terhadap segala penderitaan keuangan yang diakibatkan oleh perang di Aceh ini dengan pajak tinggi dan perkulian yang wajib dipenuhi oleh generasi orang-orang Aceh yang kalah tahun 1874.
Ia menulis:
“Doch- zoo gaat schijver voort,- ‘t voorrecht om zware lasten in geld, oorlogsslasten of anderen te kunnen op brengen, behoort tot de zegeingen der beschaving. Van een Indlandschen staat is zulks niet te verwachten. In deze overtuiging gaat hij na, of er geen indirecte wegen zijn, langs welke, daar de rechtstreeksche afgelosten zijn, ‘t begoogde de lasten, welke Atjeh, enmaal overwonnen, zullen worden opgelegd tot goedmaking van de kosten van bestuur en vestiging. Hij meent die te vinden in geldswaar de voortbrengenden arbeid en toont aan, dat men de volgensrecht en volgens de practische eiscen der uit voerbaarheid den overwonnen Atjehneese in dien zin buitengenwoon zware belastingen kan opleggen, om langs dien onweg de terugbetaling der gemaakte oorlogskosten te verkrijgen. En wanner men dat recht uitdrukkelijk alvredesvoorwaarde ‘t overwonnen volk voorschrijft en algemeen bekend maakt, dan verwacht hij, dat de nieuwe regeling, door een groote gebeurtenis veroorzaakt, als een nieuwe wet, vooral voor volgende geslachten, gelden zal zooals de zoogenaamde ‘Soerat Pandjang” ter Sumatra’s Westkust.”
Terjemahan:
“Namun penulis melanjutkan, keistimewaan untuk mampu menanggung beban berat berupa uang, peperangan atau lainnya adalah salah satu keberkahan peradaban. Ini bukanlah hal yang diharapkan dari negeri Hindia. Dalam keyakinan tersebut, Ia menyelidiki apakah ada cara tak langsung yang, dikarenakan cara langsung (perang dilapangan tempur) telah ditunaikan, dimaksudkan bahwa beban yang pernah dilewati Aceh bisa diterapkan untuk menutupi dana administrasi dan pembentukan negara (jajahan). Ia percaya bahwa cara ini bisa diperoleh dari buruh penghasil uang dan menunjukkan bahwa berdasarkan hak dan menurut kebutuhan kelayakan praktis, pajak berat luarbiasa bisa ditetapkan pada orang-orang Aceh yang takluk dalam hal ini, agar mendapatkan pengembalian biaya perang yang telah ditimbulkan. Dan ketika hukum itu ditetapkan dan diumumkan pada penduduk taklukan dengan cara baik-baik, Ia mengahrapkan regulasi baru yang dibawa dengan peristiwa besar akan bisa diterapkan sebagai hukum baru, khususnya bagi generasi penerus seperti yang terjadi dengan Surat Panjang di pesisir Barat Sumatra”
Denda Jadi Nyata
Meskipun dengan jelas terdapat kalangan yang menentang, penerapan pajak berat dan kuli dari dalam dan luar Aceh tetap tak terbendungkan, terutama setelah tahun 1880an dan semakin meningkat setelah tahun 1903 pasca Sultan Muhammad Daud Syah menyerah. Para ulubalang kaya yang menyerah dan bersisi netral diwajibkan membayar pajak antara 25-150 gulden setiap bulannya dan rakyat biasa yang menjadi buruh tani wajib membayar 1-5 gulden perbulannya.
Ulama Aceh seperti Teungku Chik Lotan dan Syeikh Muhammad Saman di Tiro pun menyadari derita kerja paksa dan pungutan pajak tinggi yang terjadi di Aceh sebagaimana tersebut dalam pertukaran surat antara keduanya dan pimpinan perang lainnya yang bertahun antara 1880-1890an. Ini juga yang digunakan sebagai alasan utama untuk tidak berhenti melawan pemerintah.
Jika bercermin pada zaman ‘now’, apakah kita sudah terbebas dari nilai nilai kolonial (coloniality), yang termasuk diantaranya ekonomi dalam pengaruh militer, aturan upah buruh dan pajak?.
Sebagai rakyat jelata yang bernegara, kita masih dituntut berjuang melawan mafia kapitalis yang masih mengeksploitasi alam dan manusia meski atas nama kemerdekaan berperadaban.