Hollywood, Assalamualaikum, Lalu Membunuh

 

 

 

100 tahun lebih penduduk dunia menikmati filem. Ditemukan dan dikembangkan sejak awal abad ke-20, industri perfileman menjadi alat untuk mengiaskan dan mengkritik berbagai fenomena sosial dan politik dari berbagai zaman di dunia. kekhasan alat ini adalah sentuhan hiburan. 

 

Masa 100 tahun juga berarti 60 persen sejarah dunianya ada dalam arus peperangan. Banyak aspek yang berubah. Banyak juga yang terus membandel sama. Dan dalam kurun waktu itu, Hollywood di Amerika menjadi Jerusalem industri perfileman.

Pun begitu, dalam masa tersebut ada jurang kelas yang besar antara mereka yang diuntungkan oleh industri filem dengan kita yang penonton. Bukan soal itu saja. Terkadang kita terpaksa menyadari bahwa yang disuguhkan oleh dunia hiburan perfileman itu tidak hanya semata-mata yang mengaduk-aduk emosi kepribadian, tapi juga olok-olok pada ras dan agama masyarakat yang saya sebut tidak banyak berubah hingga kini.

Filem the Wrath of Man

Contoh terkini adalah kreatifitas Ivan Atkinson, Marn Davies, dan direktor, produser, dan penulis, Guy Ritchie.  

Release pertengahan tahun ini, “the Wrath of Man” yang dibintangi aktor terkenal Jason Statham itu berkisah tentang balas dendam seorang bapak yang kehilangan anaknya karena ditembak teman-teman  mafia yang sering ia bantu secara rahasia.  Terlihat bagaikan mengangkat nilai-nilai kepahlawanan, film ini nyatanya tidak lebih dari sekadar pembunuhan massal, stereotip ras, sexist dan penggiringan pada islamophobia.

Pembunuhan massal dalam filem ini bisa dilihat dari puluhan anggota mafia yang secara brutal mati mengenaskan. Belum lagi kerusakan insfrastruktur properti milik kaum sipil yang ikut hancur. Dominan karakter mafia yang terlibat berkulit hitam, berbahasa Spanyol dan beridentitas Mexico. Berbalik dari kontras profesi, mafia-mafia ini punya kehidupan keluarga harmonis. Mereka digambarkan membunuh, mencuri, dan berbohong di belakang kebahagiaan istri dan anak-anak mereka yang manis.

Karakter pahlawan Jason Statham nan brutal dan kejam layaknya binatang itu juga tergambarkan lewat adegan matinya seorang perempuan mafia yang cantik, bahenol, dan berambut pirang. Sang pahlawan menembak perempuan itu setelah tidur dengannya. Bagaikan seorang bulimik yang menyesal habis setelah makan, sang pahlawan dibuat punya justifikasi ‘moral’ untuk menarik pelatuk peluru tepat dibagian kepala perempuan itu. Bengis betul, bukan?!

Hollywood Sumber Ketakutan Pada Islam

Nah, yang saya maksud penggiringan pada Islamophobia itu bisa dilihat dari kata Asalamoleikom. Ini adalah ucapan klido (belepotan) mafia perampok dalam filem ini. Tepatnya pada durasi 1 jam 4 menit, kata ini diucapkan sebelum mereka membunuh secara brutal seorang lelaki di rumahnya. Tidak ada jejak gambaran karakter mafia atau lelaki yang dibunuh itu sebagai seorang Muslim dalam sepanjang cerita filem ini. Setting lokasi pun bukan di negeri Islam melainkan Los Angeles-Amerika dan London-Inggris. Jadi mengapa tiba tiba kata asalamoleikum meluncur dari mulut antagonis?!

Muslim mengucapkan assalamualaikum sebagai doa untuk kesejahteraan orang yang menerima ucapan tersebut. Kata ini juga mengartikan nilai damai. Namun adegan filem ini menggambarkan betapa ucapan ini adalah sebaliknya, karena membawa kematian.

Bagi non-muslim yang tidak tahu sedikit pun soal Islam dan tidak punya teman Muslim, kata assalamualaikum ini barangkali terdengar bagaikan mantra-mantra penyihir yang membawa kutukan. Bagi Muslim yang lebih banyak menghabiskan waktu lewat tontonan dunia hiburan, adegan filem itu bagaikan kebal, tidak punya arti lebih melainkan hanya adegan filem. “Pilem tidak nyata”, katanya.

Berbalik dari keyakinan bahwa filem hanyalah filem, dalam kurun waktu satu dekade, ada banyak kajian yang sudah dilakukan untuk melihat relasi antara portrait filem-filem Hollywood dan imbasnya pada konsekuensi islamophobia di kalangan generasi saat ini.  Seorang pengkaji muda Marloes Veldhausz  dalam thesis masternya berjudul Constructing Islamophobia: Hollywood, yang selesai tahun 2017 ini menemukan bahwa salah satu alasan mengapa kekerasan terhadap Muslim bertahan dan meningkat, adalah, diakibatkan oleh adegan-adegan dalam perfileman di Hollywood yang secara terus menerus menyifatkan ketakutan dan kejahatan pada karakter Arab, Islam, dan Muslim.

Laporan kredibel lainnya yang diselidiki oleh Maytha al Hassen PhD berjudul Haqq and Hollywood: Illuminating 100 Years of Muslims Tropes and How to Transform them (https://popcollab.org/haqq-and-hollywood/) yang terbit tahun 2018 menyenaraikan tak hanya lebih banyak daftar filem-filem anti Islam Hollywood tapi juga mengumpulkan komentar dan opini-opini dari berbagai kalangan figur publik Muslim seperti Rami Yousseff dan Riz Ahmed. sSejak meningkatnya kriminalitas terhadap Muslim dan orang-orang berkulit hitam dari atau keturunan Asia dan Afrika di Negara-negara dominan kulit putih, semakin banyak pengkaji-pengkaji lain yang membuktikan penemuan ini.

Provokasi adalah Uang

Hollywood masih terus menggunakan offensi pemeluk agama tertentu dalam industri pefileman adalah disebabkan beberapa hal. Salah satunya adalah provokasi kesensitifian beragama bisa mendorong lajunya angka keuntungan bagi pihak perfileman terkait.

Pemeluk agama terbesar saat ini adalah Kristen dan Islam. Pemeluk Kristen di dunia tahun 2021 dilaporkan berjumlah 2,38 trilliun, sedangkan pemeluk agama Islam didunia tahun 2020 adalah 1,9 trilliun (wordpopulationreview.com). Ini tentu jumlah yang sangat besar. Setiap pemeluk agama ini diinginkan untuk bisa mengucurkan duit dalam jumlah apapun untuk keuntungan konglomerat-konglomerat dunia pefileman.

Nalar alami jika setiap pihak yang terlibat dalam industri bisnis kerap berpikir soal bagaimana menjangkau semua angka-angka tersebut? para pengkaji kemudian mendapati bahwa ‘kesamaan nilai keyakinan’ adalah letak sentilan yang hebat yang bisa melajukan perhatian dan minat.

Minat yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk ‘satu klik’ pada era millenial ini tidak selalu berarti sehat dan menggembirakan. Tetapi juga minat yang timbul demi bisa mengamati, mengintai, dan memprotes disebabkan kebencian dan kemarahan.

Satu kata Assalamoaleikum sebelum membunuh diharapkan bisa membakar umat Islam dan viral. Rasa marah dan penasaran pecinta perfileman dan pemeluk agama Islam menjadi sasaran tubi tumpukan keuntungan kapitalisme. Ingat gantungan aksesori mobil yang bertuliskan Allah yang meledak dalam filem Wonder Woman yang dibintangi Gal Gadot dan Chris Evans tahun 2020 itu? Bukankah adegan ini menjadi viral dan menjadi trending topic? bukankah dua hal ini terbentuk dari peningkatan jumlah penonton dalam setiap algoritme rantai klik Wonder Woman didunia internet?

Tentu strategi market perfileman seperti ini tidak terjadi tanpa persetujuan kolektif pihak-pihak yang terlibat. Ada pihak-pihak lain yang punya kepentingan sama namun demi obsesi dunia profesi yang berbeda.

Dari Layar Internet ke Dunia Nyata

Jika ditimbang lebih dalam, filem “the Wrath of Man” yang disutradarai oleh Guy Ritchie ini bisa dikaitkan dengan kenyataan kekinian perkembangan supremasi di Eropa. Bagaikan sudah tertanam dalam kebanggaan kulit putih, bahwa jika orang kulit putih dilukai musuh Muslim atau orang berkulit warna, yaitu orang atau keturunan China, Asia, Afrika, maka ia bagaikan sengatan listrik atau jalaran api yang mengendalikan segenap penduduk secara nasional dan international untuk rela gila membelanya, terlepas letak sisi kebenaran dalam mizan hukum nasional atau international. Lihat pada kasus serangan terhadap Charlie Hebdo di Prancis dan reaksi masyarakat nasional dan internasional, misalnya.

Film “The Wrath of Man” juga berbicara secara implisit bahwa perang atau pembunuhan massal dapat dibenarkan jika terdapat satu saja anggota keluarga yang tewas. Barangkali karena portret dalam “the Wrath of Man” adalah soal seorang putra kandung yang tewas, emosi para penonton secara tidak langsung digiring pada menempatkan anak mereka pada posisi karakter tersebut, yang menuntun pada persetujuan untuk pembunuhan-pembunuhan balasan lainnya. Hal ini juga yang menjadi landasan perang Amerika terhadap beberapa negara-negara di Timur Tengah dan juga teroris Muslim yang memakan korban paling banyak rakyat sipil tersebut.

Selain itu terdapat juga kesan bahwa persengketaan mafia tidak bisa diselesaikan oleh hukum pemerintah, karena mafia adalah pemerintah tertinggi dalam teritorinya. Bukankah ini terdengar begitu familiar? Ketika Pemerintah Amerika melancarkan agresi perang terhadap negara lain, tidak ada yang bisa menghentikannya dalam kurun waktu singkat.

Aceh saat ini baru menduduki 17 tahun periode damai. Tentu masih banyak yang perlu didiskusikan soal pandangan dan imbas filem-filem internasional bagi mereka. Terlepas dari kontribusi aksi yang lebih besar, saya rasa lebih penting jika generasi muda Aceh mulai belajar kritis dalam menyaring apa saja hiburan yang dihadirkan bagi mereka.

Sudah saatnya generasi muda Aceh tidak mengidolakan mentah mentah selebriti dari dunia hiburan mana saja. Sebaliknya menjadi contoh bagi generasi di kawasan lainnya dengan berani bicara, berdiskusi, dan terus melatih diri untuk membaca dan menelaah setiap jenis hiburan yang punya ‘bungkusan’ universal dan digandrungi setiap zaman.

Ini versi tambahan.

Sebelumnya tayang di https://www.acehtrend.com/2021/11/03/hollywood-assalamualaikum-lalu-membunuh/

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―