Di sela-sela kegerahan dengan momen ‘stuck’ pengerjaan disertasi yang tak kunjung melihat titik terang, selebaran pamphlet seminar berwarna merah yang terpampang disepanjang salah satu koridor Universitas di Ibnu Haldun Istanbul lumayan menarik perhatianku.
Dalam selebaran itu tertulis ‘Reconstructing Class, Gender, and Islam: The Discursive Emergence of ‘Islamic Bourgeoisie’ and the Middle-Class Veiled Muslims Women in Istanbul’ (Merekonstruksi Kelas, Gender, dan Islam: Kemunculan Diskursif Borjuis Islami dan Perempuan Muslim Berhijab Kelas Menengah di Istanbul) yang diskusinya dipimpin oleh Dr. Nursem Keskin Aksay, Alumnus Freie Universitat Germany. Bertanggal 25 April 2018. Iseng-iseng ku bergerak menuju lokasi diskusi tersebut. Ingin tahu apa sebenarnya yang ingin diutarakan oleh pembicara.
Terminologi Islami borjuis di sini merupakan elemen utama yang memancing ketertarikanku. Sebagaimana yang secara umum diketahui dalam dunia sosiologi, konteks borjuis yang dilahirkan oleh Karl Marx (1818-1883) ini merujuk pada kalangan masyarakat kelas menengah yang mayoritasnya bercirikan kaya, terdidik, dan berpenghasilan terbanyak dari profesi berbisnis. Ia yakin bahwa kaum borjuis mempengaruhi arus politik suatu negeri dengan kendali perekonomiannya. tidak hanya itu Marx juga meyakini bahwa arus utama yang menggerakkan revolusi Prancis (1789-1799) berasal dari kaum kaum borjuis. Mereka juga yang merevolusi industri-industri dan memodernkan masyarakat Prancis. Namun peran penting mereka melemah seiring dengan meningkatnya pembangkangan-pembangkangan yang digerakkan oleh petani-petani kecil dan bebas (proletariat) yang merasa amat dirugikan.
Ketika konteks borjuis disematkan pada kata ‘Islami’ tentu yang terbayang dalam benak adalah definisi yang perlu konstruksi tersendiri, terikat dengan nilai-nilai Islami. Semakin menarik rasanya, ketika konteks Borjuis Islami ini dibedah melalui kajian lapangan yang semata mata menyorot kiprah perempuan berjilbab dari kelas menengah.
Lewat wawancara dan pemantauan terhadap komunitas-komunitas kelas menengah di Istanbul seperti majalah fashion muslim ternama “Ala” dan “Aysha”, residensi elit Yesil Vadi, Universitas Sehir Istanbul, dan anggota perempuan partai AKP, pembicara telah menentukan kesimpulannya.
Yang terajut di bawah ini hanyalah satu poin dari keseluruhan topik-topik menarik yang dibahaskan.
Ada perubahan persepsi sepanjang sejarah Turki kerap disematkan oleh kaum sekuler terhadap perempuan-perempuan berjilbab dari kalangan menengah. Pada masa-masa awal sejak dekade-dekade akhir sebelum kejatuhan Turki Usmani, perempuan-perempuan ini diidentikkan dengan stereotip bodoh, agamais, dan kolot.
Keterlibatan dalam aktifitas sekuler seperti politik, birokrasi, ekonomi, perusahaan dagang dan industri-industri besar bukanlah hal yang lumrah. Hingga saat ini masih ada kawasan-kawasan di pusat dan pinggir perkotaan yang bersikap tidak ramah dengan muslimah-muslimah yang aktif bekerja dan beraktifitas di luar rumah.
Percaya atau tidak, hingga kini stereotip di atas masih dapat dengan mudah ditemukan di kalangan masyarakat Turki. Kaitan dengan dominasi lelaki di Turki dipercayakan tidak berpengaruh lebih besar dari realitanya dengan proses akulturasi nilai-nilai sekulerisme di negara yang tak pernah terjajah ini.
Kendala-kendala yang melibatkan faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi menuai beberapa respon sebagaimana yang terlihat melalui sepak terjang beberapa muslimah handal di Turki di era 1980an yang menggugat pemerintah Turki untuk memenuhi hak berjilbab perempuan, baik bagi mereka yang terlibat secara sah dalam arena politik maupun institusi-institusi pendidikan tinggi. Respon muslimah Turki ini kemudian membuahkan perubahan kebijakan yang mendukung pemenuhan hak-hak muslim di negeri korban imperialisme barat ini.
Berangkat dari proses perkembangan diatas dan berdasarkan kajian lapangan, Dr Aksay mengemukakan bahwa masyarakat Muslimah kelas menengah di Turki sekarang sedang berada pada tahap kemajuan lainnya. Ini berkaitan dengan perkembangan fashion muslim yang pesat menjamur tidak hanya di Turki tapi juga diseluruh dunia.
Beramai-ramai Muslimah perempuan, dari kelas menengah, katanya ingin mengklaim bahwa menjadi seorang muslim tidak berarti kolot dan bodoh. Perkembangan dinamisme penampilan fisik merupakan realite kesempatan untuk menjadi produktif secara global dalam beragam elemen politik, sosial, dan ekonomi.
Ia juga mengkritisi sikap-sikap tradisional dalam masyarakat muslim sendiri yang menganggap Muslimah dengan fashionnya tidak Islami; melabel negatif mereka dengan ucapan ‘Süslüman’(korupsi kata dari Müslüman); pemaksaan agar diterima oleh barat; mental consumer; jahilliyyah, dan lain sebagainya.
Sebaliknya Ia menganjurkan masyarakat untuk bersikap lebih terbuka dengan perkembangan fashion muslimah saat ini dan mengakui impak positif perkembangan ini yang salah satunya telah banyak membentuk dan meningkatkan perekonomian dan mempengaruhi perpolitikan Muslimah-muslimah independent di Turki. Keterbukaan ini dipercayakan sebagai permulaan terbentuknya komunitas Islami borjuis yang dengan perekonomiannya mampu mempengaruhi roda politik dan aspek lainnya dimasa depan.
Terlepas dari paparan kajian di atas, ada beberapa hal barangkali luput dari pembicaraan. Yang pertama adalah soal penyangkalan terhadap Intensifikasi penyakit jiwa (addiksi/shopaholic) yang diakibatkan oleh jaringan-jaringan fashion line Muslimah ini.
Artinya pembicara secara tidak langsung mengabaikan realita semakin meruncingnya realita antara si kaya dan si miskin. Lebih jauh lagi pembahasan tentang kaitannya dengan budaya konsumerisme yang menggerogoti kaum kelas rendah yang secara jelas bertentangan dengan ajaran Islam hampir terlewatkan sama sekali.
Hal lain yang tidak tersentuh sama sekali adalah soal pandangan dan peran muslimah kelas menengah tersebut dalam konteks feminisme. Barangkali ini menjadi salah satu tanggung jawab pengkaji-pengkaji lainnya yang berminat dengan studi sosiologi masyarakat Turki abad sekarang.
Membandingkan dengan fenomena fashion Muslimah kelas menengah di Aceh, realitanya dapat dikatakan saling bertentangan. Jika di Turki, perkembangan progress muslimahnya dipengaruhi oleh geliat zaman, yakni imperialisme, kejatuhan Turki Usmani, total adopsi sekulerisme dan babak baru pemerintahan saat ini, maka fenomena di Aceh ada pada tahap kesegaran (baca: jauh dibelakang).
Artinya, sama sekali tidak layak untuk dibandingkan karena; Pertama, tidak ada masyarakat kelas Menengah di Aceh. Yang ada hanya kelas rendahan. Jikapun kita ingin memaksakan keberadaan kelas menengah di kawasan ini, barangkali golongan-golongan pejabat politik -maksud saya, jika ingin menutup mata dengan realita celah-celah korupsinya- maka merekalah kalangan-kalangan yang saat ini yang dapat menyemat kategori kelas menengah dari dari mereka juga terlihat lebih banyak yang menjadi konsumer passif fashion line tersebut.
Kedua, konsumerisme fashion muslimah lebih banyak dipengaruhi oleh trend Muslimah di sosial media dan gelombang dunia hiburan dari Korea Selatan. Meskipun begitu, perkembangan ini merupakan satu indikasi problematika sosial yang harus segera dipecahkan.
Jika Pemerintah dan para aktifi terkait tidak berinisiatif mengenalkan sebab dan dampak kapitalisme terhadap konsumer, apalagi secara passif, maka mimpi untuk mengurangi angka kebodohan, kemiskinan, dan ketidak adilan semakin jauh dari realita.
Ini tidak saja menjadi tanggung jawab saya dan anda, atau pemerintah dan institusi non pemerintah tapi juga keseluruhan umat yang bangga dengan ajaran-ajaran syariat Islam.
Penulis: Nia Deliana, Relawan di Pusat Kebudayaan Aceh dan Turki (PuKAT).
telah terbit di: