Jejak Khalifah di Nusantara (JKDN), filem dokumenter sejarah berdurasi 57 menit yang tayang perdana pada tanggal 20 Agustus 2020 lalu menuai sambutan beragam dari berbagai kalangan di Indonesia. Penyebabnya adalah pengabaian etika intelektual dan pesan yang dinilai provokatif yang disampaikan tim penyelenggara dalam momen telekonferensi yang berpusat di wilayah ibukota. Namun, tanpa kedua penyebab diatas, jikapun telekonferensi tidak dilakukan misalnya, filem tersebut diduga tetap menjadi kontroversial. Ini dikarenakan kata ‘khalifah’ punya jejak historis yang kompleks di Indonesia sejak lebih dari 200 tahun silam.
JKDN dan Baik-buruknya
JKDN merajut perjalanan sejarah khilafah dari periode para sahabah 4, Dinasti Abbasiyah, dan Kesultanan Turki Usmani. Proyeksi narasinya dibatasi antara tahun 632-1560an. Dalam bentangan waktu ini, JKDN merajut narasi khalifahnya melalui carik-carik bukti primer sejarah, dari Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Wali Songo, Demak dan Ternate. Meskipun data makam dan diplomasi dari Aceh terpapar jelas dan otentik hubungannya dengan dinasti Abbasiyah dan Turki, basis narasi dari Demak dan Ternate dipercaya hanya berasal dari dugaan semat-menyemat, sebagaimana yang diyakini pakar Peter Carey dan Ismail Hakkı Kadı. Ini merupakan problem utama narasi JKDN soal khalifah di Nusantara.
Problem lainnya terkait eksklusifitas nara sumber yang tidak relevan. Para Nara sumber terkesan ekslusif pentolan Hizbut-Tahrir-Indonesia yang organisasinya telah dibubarkan tahun 2017. Tidak ada sejarawan Turki dan sejarawan senior Indonesia atau Internasional yang dilibatkan. Maka tidak heran jika penemuannya mengacu pada hasil ‘premature’ alias pemaksaan. Salah satu pemaksaan paling nyata yang terlihat adalah penekanan kata ‘Padisah’ yang diartikan khalifah dalam surat Sultan Aladdin Riayat Syah al Qahhar pada Sultan Suleyman Sang Penakluk tahun 1566. Sultan, Padisah dan Khalifah adalah 3 kategori kekuasaan yang berbeda.
Meskipun begitu ada sisi baik yang lahir dari filem ini. Itu tak lain adalah meningkatnya diskursi sosial intelektual soal Khalifah dikalangan beragam khalayak.
Pewaris Khalifah atau Wilayah Vassal?
Sebagaimana disebutkan diatas, ada beragam respons yang muncul akibat JKDN. Mulai dari yang terharu berkaca-kaca atau yang melaknat pemerintah, hingga yang menolak keyakinan pada kaitan Nusantara (Aceh) via kedudukan vassal abad ke-16.
Oman Fathurrahman, sebagaimana diangkat oleh republika.co.id, 26 Agustus 2020, berjudul Aceh Ajukan Vassal ke Utsmaniyah, Tapi Ditolak, mengatakan, bahwa keinginan Aceh untuk menjadi wilayah vassal Turki, ditolak. Ia juga mengatakan “Jika Aceh disetujui sebagai vassal, nanti yang lain minta juga. Turki tidak mau Nusantara menjadi bagian dari sistem pemerintahannya. Tetapi untuk menjadi saudara iya, semangatnya adalah semangat keagamaan,” kata Oman dalam diskusi daringnya, Selasa (26/8).
Meskipun tampaknya pernyataan ini diungkapkan demi menentramkan riak NKRI yang bergejolak, tanpa disadari, ini juga telah menyebabkan mengucilkan keunikan sejarah Aceh yang baru saja damai dengan Indonesia dalam 15 tahun terakhir. Yang dipercayai ‘penolakan’ vassal ini juga tidak punya landasan sumber konkrit, melainkan kait-mengait antara faktor nyaring-diamnya sumber-sumber antaar Turki dan Aceh yang didapat pada abad ke-16, 17, 19, dan 20. Oleh karena itu, keberadaan vassal, definisi dan statusnya, cukup terbuka untuk diperdebatkan.
Belum lagi soal diskreditasi filolog terkemuka Indonesia ini bertentangan dengan argumentasi sejarawan Aceh Anthony Reid (1979), İsmail Hakkı Göksoy (2011), Gioncarlo Casale (2010), Vladimir Braginsky (2015), Hakkı Kadı (2020), Mehmet Özay (2011) dan ahli-ahli kawakan lainnya. Tentu perlu ada definisi tersendiri soal penunjukkan khalifah tersebut mengingat dalam Islam, khalifah adalah konsep universal dan berkarakter inklusif, dan ini erat kaitannya dengan politik dan keberlanjutan hubungan komersial.
Pada dasarnya ada 3 khabar dari kandungan lokal yaitu, Adat Aceh, Bustanussalatin, dan Hikayat Aceh yang menyebutkan penunjukkan Kesultanan Aceh sebagai khalifah di wilayah Jawi (Nusatara). Penunjukkan ini dipercayai merupakan hasil diplomasi al-Qahhar pertengahan pertama abad ke-16. Hikayat Aceh misalnya mencatat Sultan Turki mendeklarasikan fatwa bahwa ada dua Raja di dunia, yaitu “Raja Rum di Barat dan Raja Aceh di Timur”. Kedua raja ini digambarkan punya kedudukan yang sama dengan Nabi Sulaiman dan Zulkarnaen Agung.
Tidak mengherankan jika kemudian Sherbanu Khan (2017) dan Amirul Hadi (2004) menemukan bahwa Sultan Iskandar Muda, Sultan Iskandar Tsani, dan Ratu perempuan, Sultanah Safiatuddin, adalah penguasa Aceh yang menyemat gelar khalifah Allah.
Ada argumentasi bahwa kawasan bilad al-Jawi sebelum periode Islam juga mengenal kata Chakravartin yang berarti penguasa universal. Meskipun kata Khalifah telah disemat pada tubuh politik sejak masa sahabah, kata dan perannya dipanggung perpolitikan Turki baru menajam pada abad ke-19, dimana wilayah-wilayah Muslim didunia dalam cengkraman penjajahan.
Kata khalifah bagi Turki yang muncul dalam berbagai surat-surat korespondensi, seperti dalam salah satu surat dari Aceh bertahunkan 1850 tidak ditujukan hanya untuk mendapat pengakuan politik tapi juga sebagai kritik agar Turki meninggalkan dukungan pada sekutu Eropanya dan turun membantu negeri Muslim lepas dari penjajahan. Panggilan ini menjadi trending di dunia Muslim seperti di Timur Tengah, India, Semenanjung Melayu dan Indonesia, didukung langsung oleh beberapa pihak internal berpengaruh di Kesultanan Usmani. Ini juga yang menyebabkan narasi-narasi Islam bersatu muncul yang kemudian dipopulerkan oleh think-tank negara kolonial dan orientalis sebagai Pan-Islam, apalagi setelah Sultan Abdul Hamid II mengesahkannya sebagai agenda politik utama yang menyulut ketakutan Eropa dan memaksa kebijakan-kebijakan baru kolonial ditujukan untuk memutuskan kontak Turki dengan wilayah Muslim, termasuk Muslim di Indonesia.
Khalifah Bukan (hanya) Milik Turki
Penjajahan telah berhenti. Pan-Islamisme tidak berhasil. Peta-peta kedaultan Muslim telah berubah, tergantikan dengan berbangsa dan bernegara. 75 tahun sudah Indonesia mencoba mempertahankan rasa percaya diri untuk membangun dan mempersatukan perbedaan masyarakat di pulau-pulau Indonesia, namun dalam beberapa tahun terlihat kian meruncing. JKDN yang mensakralkan Turki sebagai Khalifah tidak tepat bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini juga tidak berarti pemerintah merasa perlu terancam dengan konsep khalifah dalam Islam.
Al Quran Surah al Baqarah ayat 30 menyebutkan, “setiap manusia adalah khalifah…”, merujuk kepada Adam sebagai Khalifah pertama. Alquran Surah al Shad ayat 26 menunjukkan bahwa Nabi Daud (David) juga seorang khalifah. Setiap individu Muslim yang mengarahkan masyarakatnya demi menjunjung tinggi hak azasi manusia adalah khalifah. Dengan definisi khalifah seperti ini, jelas ia bersinergi dengan hukum Negara Indonesia.
Rasulullah SAW berkata, ada 3 kelompok manusia yang selalu ada dalam setiap zaman. Mereka adalah 1). Ghaaleen, ekstrimis yang keyakinannya begitu keras yang memaksakan interpretasi Islam hanya dari satu jalan yang kerap menyebabkan perpecahan dalam umat Islam), 2). Mubtaleen (yang tidak memahami Islam tapi ingin menghancurkannya dengan segala cara), 3). Jaahileen (yang berilmu tapi tidak peduli terhadap kesulitan-kesulitan manusia). Ketiga kelompok inilah yang menjadi dasar fundamental runtuhnya peradaban. Untuk menghadapinya, dibutuhkan 1 kelompok masyarakat lain bersifat khalifah, yang berilmu, belajar dari sejarah, dan peduli kemanusiaan.
Sakralisasi Turki sebagai khalifah melawan nilai-nilai Islam dan tidak efisien membangkitkan peradaban Islam di Indonesia.
*Gambar: Peta Nusantara dalam buku Cihannuma-nya Katib Celebi (1648), cetakan Ibrahim Muteferrika (c.l.1674).
Telah terbit sebelumnya di https://republika.co.id/berita/qfogjo385/jejak-khilafah-di-nusantara-sakralisasi-dan-yang-tersingkir