Beberapa minggu
terakhir, polemik yang menimpa Lakshdweep, sebuah Pulau tropis bagian dari
India dengan luas 32 kilometer persegi, sedang mendapat sorotan panas. Dari
release media global hingga gugatan yang trending lewat twitter. Ini disebabkan
oleh kebijakan-Kebijakan baru yang dibuat oleh seorang administrator non
birokrat pertama dari partai Narendra Modi, Bharatiya Janata Party (BJP)
bernama Praful Khoda Patel yang ditempatkan di kawasan ini. Ia baru dilantik
pada bulan Desember tahun lalu. Ya, belum genap 6 bulan.
Kebijakan-kebijakan kontroversial
itu antara lain, yang pertama, larangan membeli, menjual, mentransportasi, dan mengkonsumsi
lembu, anak lembu, kerbau dan sapi jantan. Yang melanggar butir ini akan
dikenakan penjara selama sepuluh tahun. Yang kedua, setiap keluarga hanya
diperbolehkan untuk beranak dua. Anak ke-3 dan seterusnya disebutkan akan
mendapat hambatan dalam memperoleh keistimewaan sebagai warga Negara, misalnya
tercabutnya hak suara politik ketika besar. Yang ketiga, Izin tanpa kondisi
bagi perederan minuman keras, meskipun hampir seluruh rakyat tidak mengkonsumsi
minuman tersebut.
Ketiga aturan ini bukanlah
kebijakan yang paling kontroversial, melainkan aturan kebijakan pembangunan
Kota Cerdas Lakshadweep yang ditujukan untuk menciptakan desa dengan kelas
dunia. Aturan-aturan yang menopang Pembangunan Kota Cerdas ini abai pada
hak-hak dasar penduduk Pulau seperti pengalihan lahan milik rakyat tanpa
jaminan keselamatan kepentingan pemilik lahan, relokasi penduduk, dan
kehilangan properti. Ini artinya mereka adalah calon-calon pengungsi masa
depan.
Kebijakan pembangunan
Kota Cerdas ini juga menuntun pada kerusakan ekologi pulau yang mata
pencaharian utama penduduknya adalah nelayan dan peternak.
Hal lain yang lebih
mengejutkan adalah penahanan tanpa pengadilan meskipun realitanya tingkat
kriminalitas di Lakshadweep sangat rendah. Ini disebut-sebut untuk menekan
suara-suara kritis terhadap pemerintah.
Meskipun mendapatkan
kritik dan diprotes oleh banyak pihak, Patel mengatakan tak bisa mengubah
kebijakan apapun.
Minggu lalu, Jurnalis
pembuat filem documenter, Aisha Sana, di Lakshadweep dikenakan tuntutan
berazaskan kasus hasutan terhadap pemerintah dan akan menghadapi penangkapan
dan pengadilan. Lemparan tuntutan ini mengakibatkan 15 anggota partai BJP
mengundurkan diri sebagai bentuk protes.
Muslim di India adalah
kaum minoritas. Berbagai peristiwa yang terkait Islamophobia meruncing dalam 15
tahun terakhir. Meskipun begitu, Ini bukan semata-mata soal fakta bahwa 97
persen dari 70,000 penduduk di Pulau Lakshadweep itu Muslim. Bukan juga cuma
soal kebijakan-kebijakan diskriminasi pemerintah yang dikerbaui oleh
nilai-nilai hindutva ekstrimis BJP yang banyak ditentang itu. Tapi lebih kepada
soal bagaimana semakin normalnya kelemahan demokrasi dalam melindungi pejuang
khabar dan kaum lemah belakangan ini tidak hanya di India tapi juga secara
global.
Diringi dengan kesulitan-kesulitan
administrasi dan koordinasi antara kawasan pusat dan pinggiran selama Pandemi,
kondisi masyarakat dikawasan ini dikhabarkan semakin buruk. Angka rakyat yang
kelaparan semakin tinggi.
Lalu mengapa perkembangan
Lakshadweep penting untuk diketahui rakyat Aceh?
Ada persamaan antara
Aceh dan Lakshadweep. Salah satunya adalah karakter identitas cair yang lebih
jelas terlihat sebelum abad ke-19 dan ke-20. Identitas tersebut tidak hanya
soal budaya material seperti cara berpakaian, kuliner, serat mata pencaharian,
tetapi juga melingkupi identitas alam non-material seperti persinggahan dagang,
proses Islamisasi yang toleran dan berangsur, lokasi berlabuh yang nyaman,
persinggahan pelayaran ke Mekkah, penguasa-penguasa perempuan yang dikenal dengan
sebutan Bivi, dan kawasan penting yang kerap diperebutkan oleh Inggris kolonial
disebabkan hubungan kedaultannya dengan Malabar dan Kerala.
Sebelum kedatangan
Marcopolo ke Aceh, terlebih dahulu ia menjejakkan kapalnya di pulau ini yang ia
sebut dalam karyanya pada abad ke-13 sebagai ‘pulau perempuan’.
Pada dasarnya nama
pulau ini telah lama di ketahui sejak zaman Yunani sebagai salah satu pulau
yang berniaga komoditas-komoditas alam dan perhiasan. Baru pada abad ke-11,
pulau ini diketahui memulai kontak dengan Islam lewat hubungan niaga dengan
pedagang-pedagang Arab yang merangkul masyarakatnya tanpa kekerasan dan paksaan
melainkan dengan toleransi dan secara berangsur. Oleh Karena itu tidak
mengherankan jika pada abad ke-15, masih bisa ditemukan keluarga kerajaan yang
menikah dengan mualaf-mualaf berpengaruh pada masa itu.
Pada masa kolonial,
Pulau ini juga mengalami hal yang sama buruk dengan yang dialami Aceh. Lebih
parah lagi ketika era nationalisme, berbangsa dan bernegara pada pertengahan
abad ke-20 yang menuntun pada arus sengketa pendirian Negara berbasis agama
antara Hindu dan Islam. Hindu mengklaim hak berdiri di India dan Muslim di
Pakistan. Muslim yang saat itu berada di India dipaksa mengungsi ke Pakistan,
terlepas generasi telah tinggal di India selama berabad-abad. Tingginya angka
kematian Muslim India pada masa ini mencapai ratusan ribu jiwa. Banyak yang
mengungsi ke Singapura, Malaysia dan Indonesia, termasuk ke Aceh. Namun
Lakhsadweep, dikarenakan lokasi tanahnya yang terpisah menyebabkan jatuhnya
peletakan administrasi India yang terpisah yang tidak terkena dampak politik
diatas. Tapi Hakikatnya, tidak diketahui lebih lanjut secara penelusuran ilmiah
soal rincian perkembangan pada tahun-tahun kritis tersebut. Namun kini,
pulau dan penghuninya sedang terdzalimi
oleh proyek-proyek pembangunan bertopengkan kemajuan dan kelas tinggi.
Demi mencapai standard
kelas dunia (baca: Eropa), prioritas pemerintah tak lagi menomorsatukan rakyat
manusiawi. Seperti sama halnya di Aceh yang menyaksikan proyek pembangunan
kebablasan dan bocoran rancangan pembangunan Kota Cerdas Aceh yang berpotensi
mengorbankan lahan rakyat, hutan, dan mata pencaharian penduduk. Meskipun yang
terakhir ini belum jelas sedang dijalankan, dasar yang coba dibangun adalah
sama dengan yang sedang dilakukan oleh pemerintah BJP di Lakshadweep.
Intinya, apa yang
terjadi pada pulau ini sekarang menggambarkan bahwa perkembangan diskriminasi
terhadap agama dan suku tertentu semakin normal. Angka para pesimis pada
perlindungan berbasis demokrasi semakin tinggi. Kita berharap, demokrasi di
India bisa menunjukkan taringnya demi kesatuan sebuah bangsa yang bermartabat
dan menjunjung hak azasi manusia, tanpa mengkambinghitamkan warna kulit dan
mensetankan agama tertentu.
Istanbul, 14th
June 2021