(Masih) Jihad Melawan Nepotisme dan Korupsi

 
Lebih
dari 100 tahun yang lalu, Aceh bernaung dibawah pemerintahan Kesultanan.
Kepemimpinannya bersifat hierarki yang diikatkan melalui pertalian darah. Ayah,
anak, istri, nenek dan kakeknya adalah sah di angkat untuk meneruskan tampuk
kepemimpinan. Pada dasarnya peletakkan anggota keluarga dalam masa kesultanan
ini tidak pernah berjalan damai, sebaliknya hampir selalu diwarnai dengan
pertumpahan darah, bahkan antara abang dan adik kandung sekalipun. Praktik
seperti ini pada masa itu sangat umum terjadi tidak hanya di Aceh tapi juga di
seluruh kerajaan-kerajaan yang bersifat hierarki saat itu. Ini bukan hanya
dikarenakan nafsu berkuasa semata tapi juga melibatkan pencapaian
standard-standard tinggi yang harus dimiliki untuk posisi kerajaan yang
diinginkan.
 

Namun,
Kita tidak sedang hidup dijaman kesultanan. Kita hidup dizaman Republik dengan
Demokrasi sebagai nafas yang menghidupkan negeri. Dalam menjalankan
pemerintahan, sifat republik dan demokrasi adalah mendahulukan hak untuk setiap
orang dengan mekanisme terbuka untuk publik, bukan hanya bagi anggota keluarga
pribadi. Selain nilai demokrasi yang menentang tindakan mendahulukan hubungan
darah untuk memerintah, sejarah juga telah mencatat peran dan pengaruh nilai
politik meritokrasi yang menekankan pada prioritas pemilihan individual atau
kepemimpinan semata-mata melalui kapasitas, kepiawaian, bakat serta pengalaman
pribadi, bukan berdasarkan talian darah yang saat ini dikategorikan sebagai
tindakan korupsi.    
Nama
lain untuk korupsi model ini adalah nepotisme atau kronisisme. Tindakan ini sepatutnya
ditakdirkan untuk tidak lagi mendapat dukungan, terutama dalam jabatan-jabatan
pemerintahan. Bagi Aceh, ini bukan semata mata karena difaktori oleh
perkembangan demokrasi yang mengagungkan kesetaraan hak dan kewajiban antara si
kaya dan si miskin, namun lebih didasari faktor pemenuhan ajaran-ajaran Islam
yang menuntut keadilan, kejujuran, ke-adaban, dan ketegasan hukum untuk diterapkan
oleh pemerintah, apalagi pemerintah yang memilih Syariat sebagai nafas baru nanggroe
Aceh Darussalam. Nepotisme melemahkan sistem control, check dan balance yang
sepatutnya menjadi kunci optimalisasi program-program pemerintah.
Hanay
beberapa hari yang lalu, Plt gubernur, Nova Iriansyah yang menjabat sementara
menggantikan gubernur Aceh yang sedang dalam proses ‘menyucikan’ diri dari dosa
korupsi, diberitakan telah mengangkat Ibu mertua dan istri-istrinya untuk
menjalankan tugas penting dalam tubuh dinas pemerintahan provinsi Aceh. Ini
bukanlah pertamakalinya Aceh dikejutkan oleh berita ‘memalukan’ seperti ini.
Pemerintahan
sebelumnya yang dipegang oleh Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf juga tidak
bersih dari tindakan tercela ini. Zaini Abdullah misalnya dikhabarkan mempekerjakan
adik dan iparnya diperusahan-perusahaan penting pemErintah Aceh seperti ESDM
dan BPKS sebagaimana yang dikhabarkan berbagai media cetak dan digital,
nasional dan local pada tahun 2014 lalu.
Dibawah
pemerintahan Zaini-Muzakkir pula dikhabarkan Nagan raya dikuasai dinasti
keluarga. Sebagaimana diberitakan dalam salah satu berita lokal terbitan tahun
2014, hampir semua kepala dinas di Nagan raya merupakan adik dan kerabat
bupati.
Nepotisme
harus menjadi cacat kehormatan. Jika kehormatan telah cacat, ucapannya, pikirannya,
dan tindak tanduknya semestinya tidak mendapat tempat dalam masyarakat. Tapi
kenyataannya, sebagaimana yang kita lihat di Aceh dan provinsi-provinsi lain di
Indonesia, nepotisme ini lumayan digandrungi. Tidak ada aturan ketat dan
hukuman yang diberlakukan terhadap pihak-pihak kalangan atas menengah ini
artinya, orang-orang yang melakukan tindakan nepotisme dibiarkan memperluas
kecacatannya hingga merugikan pihak-pihak yang lemah.  Padahal, sebagaimana yang telah disetujui oleh
ahli anthropolog, nepotisme merupakan biangnya korupsi yang menyerat nadi-nadi
kunci roda pemerintahan Aceh.
Ali
Khan, pengarang buku Syari’ah dan Sufisme (2017) dan buku Fleksibilitas dibawah
Syari’ah Islam (2015) memaparkan secara singkat realita Korupsi di
Negara-negara Muslim. Ia menegaskan: “Corruption, emanating from nepotism,
favoritism, greed and necessity, is normal if not instinctive to the human
species. The way out of corruption is an undertaking; it is an effort that
requires good governance and unyielding commitment of all citizens.”
Terjemahannya:
“Korupsi, terpancar dari nepotisme, favoritisme, kerakusan, dan (paksaan)
kebutuhan, adalah normal jika bukan insting manusia. Jalan keluar dari korupsi
adalah sebuah komitmen; merupakan upaya yang membutuhkan pemerintahan yang baik
dan masyarakat yang pantang meyerah”
Ucapannya
ini berangkat dari angka angka statistik realita korupsi di dunia muslim yang
berbanding terbalik dengan keyakinan masyarakatnya sebagai manusia yang
berpedomankan nilai-nilai luhur terbaik yang bersumber dari al-quran dan
sunnah.
Ali
Khan meyebutkan, Dari 176 negara yang diuji tingkat korupsinya, 10 negara
paling parah korupsinya hamper semuanya dijuarai oleh negeri Muslim, yaitu:
Iraq, Somalia, Afghanistan, Libya, Syiria, dan Yaman.  Menurutnya, Perang merupakan kontribusi
terbesar dalam perkembangan korupsi dinegera-negara tersebut. Pada akhirnya,
jari penunjuk ditujukan pada Amerika yang berperan  dalam eberlangsungan perang perang di Negara
Negara tersebut. 
Masih
mengutip analisa statistik dari Ali Khan,
Korupsi di Negara-negara Muslim lain tidak dilatar belakangi perang-
meskipun yang mereka hadapi lebih pada terorisme domestik- menajam turun pada
peringkat terburuk. Dan ini termasuk Indonesia, Pakistan, dan Bangladesh,
Negara-negara yang menaungi 30% keseluruhan populasi Muslim di dunia. Rangking
dalam tingkat korupsinya adalah, Indonesia, ada pada peringkat ke-90, Pakistan
ada pada nomor 116, dan Bangladesh ada pada peringkat 145. Mesir, Negara dengan
angka cendekiawan hokum Islam yang sangat tinggi ternyata lebih korup dari
Indonesia, dengan peringkat korupsinya nomor 108.
Sebaliknya,
negara-negara non-Muslim, Swedia dan Denmark, ada pada kategori paling bersih
dari korupsi. Dilanjutkan Belanda pada rangkingke 18, Inggris di nomor 10 dan
Perancis di nomor 23. Australia dan New Zealand, yang terletak jauh dari Eropa
dan pernah suatu ketika pada masa lalu didiami oleh narapidana dan pengungsi
berada pada tingkat 20 besar terbersih dari korupsi. Dalam hal ini, Ali Khan
dan kita juga sepatutnya mengajukan satu pertanyaan sederhana: mengapa para
penjajah meninggalkan suap dan pemerasan dalam system pemerintahan mereka dan
mengapa negara negara Muslim yang telah dibebaskan dari penjajahan selama
hampir 80 tahun yang lalu masihmelanjutkan sikap dan tindakan korupsi diwilayah
merekamasing-masing?!
Meskipun
begitu, ada negara negara Muslim yang terbilang jujur, penuh kehormatan yang
terbukti lebih bersih dari tindakan korupsi. Mereka adalah Qatar yang ada pada
peringkat ke 31 dan Arab Uni Eamirate pada ranking ke- 24 dalam index global.  Dilanjutkan oleh Malayia pada angka 55 dan
Jordan pada angka 57. Negara-ngara ini telah menunjukkan keadaan yang lebih
baik dari kebanyakan negara negara non Muslim lainnya.
Dari
data-data diatas, terutama ketika pemerintah provinsi merangkul aplikasi
syari’ah Islam adalah kewajiban untuk lebih memprioritaskan perang si
sabillillah terhadap korupsi dan nepotisme.
*Ibu
rumah tangga yang peduli Islam dan masyarakat Aceh. 

 

http://portalsatu.com/read/opini/jihad-melawan-korupsi-nepotisme-dan-korupsi-45437
x

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―