Buku Malay Medical Manuscript: Heritage from the Garden of Healing merupakan salah satu buku penting yang terbit dua tahun lalu. Buku ini terdiri dari tujuh judul ditulis oleh tujuh penulis dari Malaysia dan Indonesia dengan dua orang editor, Mohd Affendi Mohd Shafri dan Intan Azura Shahdan.
Dari sekian judul, terdapat 3 sumber kuno berbahasa Melayu dari Aceh yang digunakan sebagai fondasi argumen dalam buku ini. Manuskrip tersebut adalah al Rahmah fil al Tibb wa al Hikmah karya Teungku Chik Abbas Kuta Karang, Bustan al-Salatin karangan Syeikh Nur al-Din al-Raniri, dan Hikayat Aceh.
Oman Fathurrahman dan Mohammad Affendi Mohammad Sahfri adalah dua pengarang yang menguliti kandungan manuskrip-manuskrip diatas dengan arah telunjuk yang berbeda.
Oman Fathurahman dalam bab bukunya yang berjudul Manuskrip Medis dan Islam di Dunia Melayu (Medical Manuscript and Islam in the Malay World Nusantara: Aceh and Mindanao) menyorot kandungan karangan Teungku Chik Abbas Kuta Karang, al Rahman fil al Tibb wa al Hikmah dan satu manuskrip lain koleksi Ali Hasjmy berkode 168/LL/14/YPAH/2005.
Kitab pertama ini ditulis pada pertengahan abad ke-19, mengutip beberapa bagian dari Bustan al Salatin dan Tarikh al Mas’udi-nya Abu al Hasan Ali bin al Husayn al Mas’udi, sang Heredotus Arab. Tak banyak yang dikulik Oman. Ia mengatakan bahwa teungku Chik Kuta Karang juga menerangkan perihal pengobatan sakit pinggang dan organ seksual lelaki, yang sering kali luput atau tabu untuk diangkat. Dikarenakan konsentrasi Oman Fathurrahman yang terbagi pada ulasan Aceh dan Mindanao menyebabkan narasinya soal kitab manuskrip Aceh berkurang.
Teks kedua berbahasa Aceh. Bahasa menjadi kendala bagi Oman Fathurrahman untuk mengkajinya lebih lanjut.
Mohd Affendi Mohammad Shafri untungnya menutupi kekurangan ini. Menulis untuk dua judul, Ia memfokuskan pada (1). Anatomi dalam manuskrip Aceh dan (2). Alasan Ilmiah Dar al-Ishq, sungai yang terkenal pembawa kesehatan. Mohd Affendi mengawali ulasannya dengan kutipan dari Hikayat Aceh. Ini soal kedatangan utusan Turki ke Aceh yang sedang mencari obat khasiat untuk Sultan Muhammad III. Sang Sultan sedang sakit di Istanbul. Obat khasiat itu adalah Kapur dan Minyak Tanah. Untuk mewujudkan perburuan obat ini, Celebi Ahmad dan Celebi Ridwan adalah dua utusan Turki yang ditugaskan menemui Sultan Iskandar Muda di Aceh.
Mohd Shafri kemudian melanjutkan dengan ulasan anatomi dalam peradaban Islam. Qanun fi al Tibb karangan Ibnu Sina (998-1037) disebutkan sebagai salah satu karya Muslim terawal, pengembangan dan reformasi dari karya-karya Galen yang 100 tahun sebelumnya diterjemahkan oleh Hunayn ibn Ishaq (809-873).
Ulasan pokok seputar anatomi dibicarakan melalui fondasi uraian salinan Bustan al Salatin dan al Rahmah fil al Tibb wa al Hikmah. Anatomi atau organ-organ tubuh telah disebutkan secara tersusun dalam teks ini. Ia dimulai dengan definisi manusia, baru kemudian dilanjutkan dengan kategorisasi bagian tubuh dari kepala, bagian tubuh atas dan bagian tubuh bawah. Keseluruhan organ dalam manuskrip ini dibagi dalam 40 bagian yang menyempurnakan hitungan total 202 tulang. Dunia medis saat ini mengintisarikan 206 total tulang dalam tubuh manusia. Celah perbedaan tidak jauh meleset dari gambaran manuskrip diatas.
Mohd Shafri mendapati bahwa Bustan al Salatin juga menyebutkan total 306 tulang didasarkan pada pengetahuan tabib-tabib Yunani. Dalam manuskrip ini tabib Yunani tersebut adalah Buqrat al Hakim (Hippocrates), Galen (Jalinus), Rusytas (Aristotle?).
Selain jumlah organ, teks kuno ini juga mencantumkan gambaran kulit, otak, dan limpa. Mohd Shafri menulis: “ (terjemahan).. organ tubuh yang utama termasuk limpa, kulit dan otak yang digambarkan sebagai organ putih dan lembut yang tersambung pada sistem penciuman, telinga, lidah, jantung, paru-paru, hati dan alat cerna- dibagi dalam bagian besar dan kecil, kandung kemih, ginjal, prostat dan testis, penis dan indung telur.”
Terdapat juga uraian soal peredaran darah dan sistem saraf, meskipun digambarkan secara tak komplit. Al Rahmah fi al Tibb juga menyebutkan soal fungsi sel darah, disamping diskusi soal bekam dan phlebotomi, dua kerja kesehatan yang disebut dalam tradisi kenabian.
Selain itu, manuskrip ini juga mengangkat morphologi dan psikologi secara medis yang dipengaruhi oleh pekerjaan gastrointestinal. Pada bagian ini, beberapa bahasa medis tertuang dalam bahasa Aceh seperti Kuboh (kebas) dan Baluem Phet (saluran empedu) dan paweu. Saduran bahasa medis dari bahasa Arab dapat ditemukan secara krusial juga.
Tak kurang penting menariknya adalah bahwa uraian medis Bustan al Salatin ternyata disambungkan dengan filosofi ketuhanan umat manusia, sebuah upaya yang ditinggalkan oleh pemikir dan pelaku medis modern. Sejak proses penciptaan manusia hingga kealamiahan manusia bekerja sesuai fungsi ia diciptakan. Pembahasan filosofi ini mengakhiri satu judul soal anatomi.
Judul terakhir yang ditulis oleh Mohd Shafri adalah mengenai Dar al-Ishq, Sungai obat di Aceh. Saduran utamanya adalah Hikayat Aceh dan Bustan al Salatin yang ditulis pada abad ke-17. Ia membagi pembahasan menjadi tiga bagian. Yang pertama, soal Dar al Ishq dalam manuskrip; Yang kedua, soal fungsinya sebagai air kesembuhan dan bumi obat-obatan; yang ketiga, basis Science Dar al Ishq.
Sebelum Dar al Ishq telah ada sungai sungai penyembuh lainnya yang terkenal dalam tradisi sejarah umat manusia. Diantaranya adalah Air Zamzam (Muslim), Sungai Jordan (Kristen), dan sungai Gangga (Hindu).
Dar al-Ishq adalah sungai yang airnya begitu jernih dan sejuk, keluar dari bebatuan hitam dibawah gunung Jabal al A’la. Ia diapit oleh dua kolam; kolam Jendera Rasa dan Kolam Jendera Hati. Gambaran fisik lebih jauh juga disebutkan alam teks ini, khususnya saat dalam kuasa Sultan Iskandar Muda dan Sultan Iskandar Tsani.
Dalam kitab al Rahmah fi al Tibb wa al Hikmah disebutkan bahwa minum air dari Dar al Ishq ini bermanfaat untuk menyembuhkan diare. Tidak hanya airnya yang menjadi obat, tanah liat disekelilingnya pun punya fungsi penyembuhan, yang telah diklarifikasi oleh Syeikh Abbas Kuta Karang.
Perantau Perancis, Francois Martin yang datang ke Aceh antara tahun 1601-1603 menyebutkan soal air Dar al Ishq. Ia berpikir bahwa khasiat penyembuhan air ini berasal dari Kapur Barus dan Benzoin. Pada zaman modern ini Kapur Barus digunakan sebagai anti septik dan dapat juga dipakai untuk mengobati diare dan luka , selain menyembuhkan peradagangan, gatal-gatal, dan beberapa kondisi saraf. Dalam badan ilmu pergigian, Kapur barus (camphor mono-chlorophenol) digunakan sebagai analgesik. Kapur Barus Sumatra adalah yang paling terkenal kualitasnya sejak periode sebelum Islam datang.
Buku ini menetang kacamata ilmu sosial yang diyakini dan telah mengkristal bahwa ilmu medis itu baru dibentuk dan diperkenalkan ke dunia Melayu sejak permulaan periode modernism lewat agen-agen ilmuwan kolonial. Bahwa Orang pribumi tidak punya pengetahuan prinsipal soal obat-obatan dan pengetahun medis.
Buku ini juga menyampaikan bahwa pekerjaan mendesak adalah selaku orang lokal yang punya akses pada kitab kitab berbahasa Melayu, Aceh, dan Arab untuk bekerja keras menelusuri dan menyorot legasi-legasi leluhur kita yang masih hidup hingga saat ini, demi menajamkan kepercayaan diri anak-anak kita di Aceh yang saat ini terlena hidup dalam zaman game, media sosial, dan fiksi Drama untuk bergerak dengan gayanya sendiri dan bermanfaat bagi dunia global.
http://portalsatu.com/read/opini/medis-dalam-manuskrip-aceh-53142