Minggu lalu, berita-berita dari Aceh menghiasi warta-warta digital internasional. Tidak hanya warta kaliber paling terpercaya seperti thewashingtonpost.com, warta-warta anti-muslim seperti foxnews dan dailymail pun tak kelewatan menyorot ‘kekonyolan’ sikap beragama masyarakat di kawasan ini.
Sebelumnya, sorotan kritik menghujam ambisi beribadah ribuan jamaah tabligh di Indonesia yang kemudian dibatalkan setelah tekanan internasional, disebabkan oleh meroketnya jumlah korban-korban Covid 19 baru di kalangan jamaah tabligh di Malaysia. Kritik ini pula yang digunakan oleh kelompok Hindutva di India untuk melancarkan semi-pembunuhan terhadap warga Negara Muslim di benua itu, menurut Arundhati Roy.
Kelakuan kelompok beragama seringkali menjadi persoalan selama masa penanganan wabah ini. Tidak hanya Muslim, tapi juga agama-agama lain termasuk Kristen, Budha, Syiah, dan Hindu yang sempat melawan larangan beribadah secara berjamaah. Namun, sorotan media di dunia berkali lipat lebih banyak jika itu melibatkan tindakan yang datang dari kaum Muslim, yang tinggal di pelosok Timur sekalipun seperti Aceh, misalnya.
Tentu masyarakat di Aceh tak terlihat ambil pusing, meskipun sekelompok buffoon di negeri lain langsung riang mengecat seluruh umat Muslim dengan warna yang sama demi menggelembungkan agenda Islamophobianya.
Ada dua berita mengenai Aceh yang mendapat begitu banyak highlight. Yang pertama terkait masyarakat yang berdesak-desakan di masjid selama salat berjamaah di Lhokseumawe (Lihat Washington Post). Yang kedua berita soal cambuk yang masih berlangsung dalam kekhawatiran rakyat soal wabah (Baca News Flare).
Kedua berita ini menjelaskan sikap kemanusiaan Aceh selama covid-19. Banyak yang menyesali, tetapi tak sedikit juga yang membela dan bangga. Tentu, dua berita di atas tidak bisa disisir secara umum terjadi di seluruh kabupaten di Aceh. Meskipun begitu, menimbang segala kebimbangan advokasi dan administrasi pemerintahan, prilaku ini diperkirakan bakal menyebar ke seluruh pelosok negeri hanya dalam hitungan waktu.
Saat penulis berbagi keluhan ini dengan teman-teman di media sosial, ada beberapa hal yang menunjukkan justifikasi beribadah secara berjamaah di masjid. Justifikasi ini berasal dari 1). Kekecewaan terhadap kebijakan dan indikasi korupsi pemerintah, 2). Perbedaan fatwa MUI dan MPU Aceh serta perbedaan pendapat antar ulama, 3). Cerminan sejarah, 4). Psikologi sosial budaya (etno-sentrisme).
Dua hal pertama tak menjadi sorotan artikel kecil ini, mengingat begitu banyak pembahasan seputar ini di kalangan intelektual Aceh. Yang perlu dibaca saat ini adalah pendapat seputar sejarah dan sosio-budaya yang terlihat dalam poin ke tiga dan seterusnya.
Poin-poin ini ada disebabkan begitu kentaranya posisi ulama dalam mengeluarkan pendapat-pendapat tersebut. Ulama yang beken lewat media sosial, sayangnya adalah yang paling banyak mendapat jangkauan rakyat Aceh hingga ke pelosok kabupaten-kabupaten di Aceh. Ketika salah satu ulama medsos ini mengatakan “tanyoe lage buet droe teuh laju” yang artinya kita kerjakan (salat di masjid) sebagaimana biasa, maka ucapannya telah dibela habis-habisan oleh rakyat Aceh tanpa menimbang kembali dampaknya bagi khalayak rentan korona seperti orang tua dan mereka yang berpenyakit kronis.
Pendapat-pendapat ulama tersebutlah yang secara langsung menyebabkan lahirnya justifikasi-justifikasi dari rakyat yang terpaksa muncul demi menjaga ‘marwah’ sang ulama dan kemuliaan terhadap mereka yang mengalir kental dalam sifat sosio-budaya Aceh.
Pseudo-truth Sejarah Kholera di Aceh
Secara alamiah, masyarakat yang terombang-ambing dalam ketidakpastian kepemimpinan daerah dan buih-buih spiritual harus mencari celah aman dalam kegamangan mempersiapkan ketentuan takdir. Salah satu celah itu, selain lewat agama, adalah berupa cerminan dari sejarah.
Berbagai narasi sejarah disingkap, mulai dari sejarah wabah masa sahabat, dinasti-dinasti Islam di dunia hingga masa-masa penjajahan Barat.
Namun entah mengapa, kesemua narasi itu tidak lebih kuat melekatnya dari cerminan sejarah kolera masa kolonial di Aceh. Meskipun kajian lebih lanjut jelas masih belum banyak dilakukan, sejarawan dan penikmat sejarah seakan tergesa mengambil kesimpulan yang menjadi pembenaran akan kelakuan masyarakat Aceh saat ini.
Beberapa argumen dibangun dari sejarah kolera, salah satunya adalah ide bahwa penyakit ini dengan sengaja dibawa oleh Belanda, yang kemudian menyebabkan Aceh kehilangan istana. Sultan Mahmud Syah sendiri kemudian meninggal karena wabah tersebut.
Peristiwa ini kemudian dicocokkan dengan keadaan prajurit-prajurit Aceh yang bahu membahu saling menolong dalam perang meskipun wabah sedang melanda. Inti yang diambil adalah tidak perlu takut dengan wabah. Wabah itu juga perang di Jalan Allah.
Ya, ada koneksi yang tidak tepat dalam justifikasi tersebut. Kondisi wabah saat ini jelas tidak bisa disangkut pautkan dengan kondisi wabah dalam periode perang. Karena perang ada, maka ada urgensi lebih berat untuk keluar, menerjang musuh dalam kolera, dan membebaskan tanah air dari kepemimpinan Belanda yang mencuri dari bangsa lain. Kehilangan tanah pada kaum non-Muslim lebih mudarat daripada mati dikarenakan wabah.
Ditambah lagi, Aceh pada masa itu tidak dibarengi dengan pengetahuan sains, termasuk pengetahuan seputar dasar penularan penyakit. Hingga awal abad ke-20 wabah kolera ini masih menggerogoti separuh bagian dunia, termasuk Indonesia.
Dalam dekade-dekade itu, Aceh berperang, sedangkan Belanda menurunkan ahli sains untuk mengkaji alur penularan, penyebab, dan cara menanganinya dalam rumah sakit-rumah sakit militer yang ada di jajahan koloninya. Tidak diketahui dengan pasti, bagaimana sikap masyarakat Aceh dalam kondisi wabah kolera tersebut. Oleh karena itu, mengambil kesimpulan dari persitiwa kolera ini adalah suatu keruntuhan.
Hal tidak relefan lainnya dari pendapat di atas adalah bahwa ide saling tolong menolong tanpa perlu takut terhadap wabah. Apa yang alpa hari ini adalah kepedulian terhadap sesama, kewaspadaan untuk bisa melindungi orang lain. Jika saling berbaur dalam keramaian adalah membahayakan, maka itu perlu menjadi prioritas yang perlu dijauhi. Berbaur dalam keramaian sama sekali tidak menjelaskan upaya saling tolong menolong.
Meu-Aceh Bukan Solusi Covid
Keegoisan ini juga terpateri dalam psikologi sosio-budaya orang Aceh, yang menganggap bahwa jika memang harus mati, maka lebih baik mati dalam ibadah. Tidak ada hal yang aneh dalam impian beragama di atas. Yang salah adalah menjadikan ini sebagai dalih untuk keluar beribadah beramai-ramai ke masjid jika sewaktu-waktu harus mati dalam wabah.
Padahal diketahui dengan baik, mati saat beribadah di rumah juga sama derajatnya dengan mati saat beribadah di masjid. Dalih di atas itu adalah bulat-bulat menunjukkan sifat egoisme beribadah dalam masyarakat Aceh.
Untuk menjangkau impian ini, hadis-hadis dhaif pun diazaskan, seakan-akan hadis dhaif sama derajatnya dengan hadist-hadist shahih.
Mekkah yang telah kosong dalam beberapa minggu belakangan juga tak mampu memberikan refleksi bagi jamaah-jamaah yang ingin meninggal syahid di masjid-masjid tersebut. Alasannya, tak perlu melihat Saudi dalam penanganan wabah. Pemikiran yang kontroversial mengingat kiblat pelaksanaan teknis syariat Islam di Aceh merujuk pada Arab Saudi.
Lebih jauh lagi ada juga pemikiran bahwa ulama dan masyarakat Aceh tidak perlu melihat keluar untuk menangani wabah ini, cukup melihat pada kondisi lokal. Ini pemikiran yang menyimpang dari sejarah Islam di Aceh. Hampir tidak pernah ada satu perjalanan sejarah pun yang tercatat bahwa pengaruh Islam di Aceh datangnya dari Aceh sendiri, melainkan dibawa dan dikembangkan oleh pegiat-pegat agama yang wara wiri ke luar negeri sebelum kemudian mendapat internalisasi di Aceh.
Jadi, tidak ada alasan ulama dan masyarakat Aceh harus merujuk hanya pada fatwa dan perbedaan-perbedaan pendapat yang datang dari kalangan intelektual Islam lokal. Hampir seluruh intelektual Islam di dunia menggunakan hadist dan Alquran yang sama dalam melihat sikap Muslim selama wabah covid ini, termasuk soal keputusan membatalkan solat jamaah; solat jumat, solat tarawih, dan solat wajib, pengumandangan azan dalam bentuk revisi selama wabah, hingga syarat tayammum sebagai bentuk pemandian jenazah korban covid.
Semua poin justifikasi tersebut di atas itu tidak satupun berada di pihak melindungi sesama, melainkan keegoisan pribadi yang dibalut keagamaan. Padahal kita sudah diingatkan, habl min Allah wa habl min al Nas, yang intinya kepentingan bersama perlu seimbang dengan kepentingan pada Allah.[]
*Penulis adalah Nia Deliana, Pengkaji Sejarah dan Budaya Aceh https://rubrika.id/index.php/2020/05/07/membela-tunggang-covid/?fbclid=IwAR1lfvognOAvuh1qoLB_OWL7WHQxZ32Zr6t9EqF3OJEn0Rq_LqV1RIiGh2Q