Aceh memiliki beberapa penguasa-penguasa kunci sepanjang sejarah
Kesultanan Aceh Darussalam. Selain Ali Mughayat Syah dan anaknya Sultan
Alaiddin Riayat Shah al-Kahhar, terdapat juga Sultan Alaiddin Riayat Syah
Saidil Mukammil (k.1589-1604), kakeknya Sultan Iskandar Muda (Untuk
selanjutnya saya hanya menyebut gelarnya, al-Mukammil, untuk merujuk pada
Sultan Alaiddin Riayat Syah al-Mukammil).
Kesultanan Aceh Darussalam. Selain Ali Mughayat Syah dan anaknya Sultan
Alaiddin Riayat Shah al-Kahhar, terdapat juga Sultan Alaiddin Riayat Syah
Saidil Mukammil (k.1589-1604), kakeknya Sultan Iskandar Muda (Untuk
selanjutnya saya hanya menyebut gelarnya, al-Mukammil, untuk merujuk pada
Sultan Alaiddin Riayat Syah al-Mukammil).
Tidak banyak yang diketahui mengenai latar belakang al-Mukammil.
Narasi dari sumber yang ada masih dipenuhi praduga karena uraian yang berbeda
antara satu sumber dengan sumber lainnya. John Davis yang merupakan salah satu
anggota delegasi pertama dari Belanda yang berlabuh di Aceh pada tahun 1599
adalah yang paling awal mencatat tentang al-Mukammil. Dalam catatan
perjalanannya, ia menyebutkan bahwa al-Mukammil dulunya adalah
seorang pelaut. Info yang sama juga disebutkan oleh pelaut Prancis bernama
Francois Martin yang datang ke Aceh pada tahun 1601. Dalam catatan Davis juga
disebutkan al-Mukammil memiliki kelihaian perang yang membuatnya
diangkat menjadi kepala militer kesultanan dimana ia menikahi gadis dari
kalangan keluarga kerajaan. Setelah melalui waktu-waktu penuh goncangan, al-Mukammil yang
bukan keturunan langsung kerajaan menjadi penerus sultan
sebelumnya. Maka dengan begitu, perannya menandai kekhasan sistem aristokrasi
kesultanan Aceh Darussalam. Menurut Fernao Mendez Pinto, realita tersebut tidak
disenangi baik oleh segolongan pihak internal kesultanan ataupun golongan dari kalangan masyarakat, oleh
sebab itu tidak mengherankan jika Augustine de Beulieu yang menulis
perjalanannya ke Aceh 20 tahun kemudian menguraikan cerita yang berbeda dari
versi diatas.
Narasi dari sumber yang ada masih dipenuhi praduga karena uraian yang berbeda
antara satu sumber dengan sumber lainnya. John Davis yang merupakan salah satu
anggota delegasi pertama dari Belanda yang berlabuh di Aceh pada tahun 1599
adalah yang paling awal mencatat tentang al-Mukammil. Dalam catatan
perjalanannya, ia menyebutkan bahwa al-Mukammil dulunya adalah
seorang pelaut. Info yang sama juga disebutkan oleh pelaut Prancis bernama
Francois Martin yang datang ke Aceh pada tahun 1601. Dalam catatan Davis juga
disebutkan al-Mukammil memiliki kelihaian perang yang membuatnya
diangkat menjadi kepala militer kesultanan dimana ia menikahi gadis dari
kalangan keluarga kerajaan. Setelah melalui waktu-waktu penuh goncangan, al-Mukammil yang
bukan keturunan langsung kerajaan menjadi penerus sultan
sebelumnya. Maka dengan begitu, perannya menandai kekhasan sistem aristokrasi
kesultanan Aceh Darussalam. Menurut Fernao Mendez Pinto, realita tersebut tidak
disenangi baik oleh segolongan pihak internal kesultanan ataupun golongan dari kalangan masyarakat, oleh
sebab itu tidak mengherankan jika Augustine de Beulieu yang menulis
perjalanannya ke Aceh 20 tahun kemudian menguraikan cerita yang berbeda dari
versi diatas.
Al-Mukammil merupakan satu satunya Sultan yang berkuasa
ketika berusia lanjut. Oleh karena itu beberapa dokumen yang ada menjelaskan
bahwa ia seorang penguasa yang bijak, berpikiran terbuka, politisi sekaligus
pedagang handal, dan pecinta pendidikan.
ketika berusia lanjut. Oleh karena itu beberapa dokumen yang ada menjelaskan
bahwa ia seorang penguasa yang bijak, berpikiran terbuka, politisi sekaligus
pedagang handal, dan pecinta pendidikan.
Karaketristik-karakteristik tersebut dapat dijelaskan lebih
rinci melalui korespondensinya dengan kerajaan-kerajaan Eropa. Yang paling
terkenal adalah barangkali kerjasama politik dan ekonomi dengan Inggris.
Sebagaimana diketahui, Stempel Sultan Alaiddin Riayah Syah Al-Mukammilmenancap
dalam dua surat utusan Inggris yang hingga hari ini masih terawat dengan baik.
Yang pertama adalah dalam surat berbahasa Spanyol yang dibawa oleh Pangeran
Maurice dari Nassau pada tahun 1600. Melalui surat ini, Al-Mukammil mengetahui
bahwa Inggris telah berhasil mengalahkan Iberia. Stampel lainnya ada pada surat
bertahun 1601 yang dibawa oleh Sir James Lancaster dan Henry Middleton yang
datang dengan penterjemah yahudi yang mampu berbahasa Arab. Surat ini secara
umumnya meminta terjalinnya persahabatan dan trafik dagang yang damai. Sebuah
permintaan yang berbeda jika dibandingkan dengan Spanyol atau Portugis yang
bertikai dalam penentuan rute perdagangan. Perlu diketahui juga bahwa al-Mukammil pernah
menolak surat dari Ratu Inggris Elizabeth karena ratu menyebutkan kegagalan Aceh
dalam penyerangan Portugis dan penyerangan terhadap Kapten Ragamakota (Raja
Mahuta), kandungan surat yang dianggap tidak nyaman untuk sebuah upaya lobi
Inggris agar bisa berdagang di Aceh. Surat ini baru disambut dengan revisi yang
kemudian berhasil menjamin Inggris untuk berniaga di Aceh.
rinci melalui korespondensinya dengan kerajaan-kerajaan Eropa. Yang paling
terkenal adalah barangkali kerjasama politik dan ekonomi dengan Inggris.
Sebagaimana diketahui, Stempel Sultan Alaiddin Riayah Syah Al-Mukammilmenancap
dalam dua surat utusan Inggris yang hingga hari ini masih terawat dengan baik.
Yang pertama adalah dalam surat berbahasa Spanyol yang dibawa oleh Pangeran
Maurice dari Nassau pada tahun 1600. Melalui surat ini, Al-Mukammil mengetahui
bahwa Inggris telah berhasil mengalahkan Iberia. Stampel lainnya ada pada surat
bertahun 1601 yang dibawa oleh Sir James Lancaster dan Henry Middleton yang
datang dengan penterjemah yahudi yang mampu berbahasa Arab. Surat ini secara
umumnya meminta terjalinnya persahabatan dan trafik dagang yang damai. Sebuah
permintaan yang berbeda jika dibandingkan dengan Spanyol atau Portugis yang
bertikai dalam penentuan rute perdagangan. Perlu diketahui juga bahwa al-Mukammil pernah
menolak surat dari Ratu Inggris Elizabeth karena ratu menyebutkan kegagalan Aceh
dalam penyerangan Portugis dan penyerangan terhadap Kapten Ragamakota (Raja
Mahuta), kandungan surat yang dianggap tidak nyaman untuk sebuah upaya lobi
Inggris agar bisa berdagang di Aceh. Surat ini baru disambut dengan revisi yang
kemudian berhasil menjamin Inggris untuk berniaga di Aceh.
Pengetahuan luas dan kepiawaiannya dalam berdagang dibuktikan
dengan kandungan balasan surat- dari pihak Sultan kepada Elizabeth yang
menggunakan bahasa Melayu Jawi dan bahasa Arab. Dalam surat bahasa Arabnya yang
diterima Ratu Elizabeth pada tahun 1602, Sultan alMukammil telah
mengenal istilah, ‘perusahaan gabungan’, ‘kesamaan hak’, ‘satu perusahaan’,
‘masyarakat absolut’, ‘kebebasan’, dan ‘hak paten’.
dengan kandungan balasan surat- dari pihak Sultan kepada Elizabeth yang
menggunakan bahasa Melayu Jawi dan bahasa Arab. Dalam surat bahasa Arabnya yang
diterima Ratu Elizabeth pada tahun 1602, Sultan alMukammil telah
mengenal istilah, ‘perusahaan gabungan’, ‘kesamaan hak’, ‘satu perusahaan’,
‘masyarakat absolut’, ‘kebebasan’, dan ‘hak paten’.
Sultan al-Mukammil juga diketahui mencintai
pendidikan. Ia memprioritaskan ulama-ulama dari Mekkah dan Madinah untuk
mengajar di kesultanan. Pada masa pemerintahannya, pembahasan akan
pendidikan-pendidikan agama di Aceh telah berada pada tahap yang tinggi
menimbang Aceh diakui sebagai penyebar Islam utama di wilayah Asia tenggara.
Keberadaan sosok Hamzah Fansuri pada masa pemerintahannya adalah salah satu
contoh gambaran pergulatan agama yang kompleks dan saling menghargai. Lebih
jauh lagi, tidak seperti yang kita saksikan saat ini, konteks pendidikan yang
digandrungi oleh al-Mukammil tidak hanya melingkupi fiqih tapi juga
pendidikan-pendidikan bersifat absolut seperti perobatan dan astronomi.
pendidikan. Ia memprioritaskan ulama-ulama dari Mekkah dan Madinah untuk
mengajar di kesultanan. Pada masa pemerintahannya, pembahasan akan
pendidikan-pendidikan agama di Aceh telah berada pada tahap yang tinggi
menimbang Aceh diakui sebagai penyebar Islam utama di wilayah Asia tenggara.
Keberadaan sosok Hamzah Fansuri pada masa pemerintahannya adalah salah satu
contoh gambaran pergulatan agama yang kompleks dan saling menghargai. Lebih
jauh lagi, tidak seperti yang kita saksikan saat ini, konteks pendidikan yang
digandrungi oleh al-Mukammil tidak hanya melingkupi fiqih tapi juga
pendidikan-pendidikan bersifat absolut seperti perobatan dan astronomi.
Selanjutnya kebijakan Sultan al-Mukammil dalam
memimpin juga bisa disaksikan dalam narasi Hikayat Aceh. Dalam hikayat
tersebut, berdasarkan ulasan almarhum Dr Teuku Iskandar dalam disertasinya de
Hikayat Aceh, al-Mukammil menyambut dengan santun dua tamu
Portugis bernama Dong Dawis (Don Davis?) dan Dong Tunis (Don Tomes?) yang diutus untuk membuat
kesepakatan dagang dengan Aceh. Salah satu kesepakatan yang diinginkan adalah
Sultan Aceh mengizinkan Kota Biram menjadi pangkal perdagangan Portugis di
Aceh. Sebuah permintaan yang sangat blak-blakan mengingat hubungan Aceh dan Portugis
hampir selalu dipenuhi dengan kontak militer yang menjatuhkan korban tidak
sedikit antara kedua belah pihak. Lalu bagaimana tanggapan Sultan? Murka saja
tidak apalagi merajuk seperti bayi atau lebih buruk lagi, memecat staffnya yang
mengantarkan utusan ini. Sebaliknya Al-Mukammil tersenyum mendengar
permintaan itu dan menyambutnya dengan penuh adab, tanpa kekurangan arak-arakan
gajah. Sepertinya, Al-Mukammil mengerti mengapa Pihak Portugis punya
nyali untuk menghadapnya dan meminta Kota Biram, kota yang menjadi pelindung
Kuala Aceh. Tentu karena Portugis dikenal punya ambisi monopoli perdagangan dan
kristenisasi, ditambah lagi keberadaan Belanda diperairan ini menjadi rival
signifikan bagi mereka. Sebagai sebuah entitas politik yang dikenal terkuat di
Nusantara, al-Mukammil menyadari bahwa permintaan ini harus dijawab
dengan damai sedamai utusan Portugis yang datang dengan surat rajanya dan
hadiah-hadiah kuda dan perhiasan.
memimpin juga bisa disaksikan dalam narasi Hikayat Aceh. Dalam hikayat
tersebut, berdasarkan ulasan almarhum Dr Teuku Iskandar dalam disertasinya de
Hikayat Aceh, al-Mukammil menyambut dengan santun dua tamu
Portugis bernama Dong Dawis (Don Davis?) dan Dong Tunis (Don Tomes?) yang diutus untuk membuat
kesepakatan dagang dengan Aceh. Salah satu kesepakatan yang diinginkan adalah
Sultan Aceh mengizinkan Kota Biram menjadi pangkal perdagangan Portugis di
Aceh. Sebuah permintaan yang sangat blak-blakan mengingat hubungan Aceh dan Portugis
hampir selalu dipenuhi dengan kontak militer yang menjatuhkan korban tidak
sedikit antara kedua belah pihak. Lalu bagaimana tanggapan Sultan? Murka saja
tidak apalagi merajuk seperti bayi atau lebih buruk lagi, memecat staffnya yang
mengantarkan utusan ini. Sebaliknya Al-Mukammil tersenyum mendengar
permintaan itu dan menyambutnya dengan penuh adab, tanpa kekurangan arak-arakan
gajah. Sepertinya, Al-Mukammil mengerti mengapa Pihak Portugis punya
nyali untuk menghadapnya dan meminta Kota Biram, kota yang menjadi pelindung
Kuala Aceh. Tentu karena Portugis dikenal punya ambisi monopoli perdagangan dan
kristenisasi, ditambah lagi keberadaan Belanda diperairan ini menjadi rival
signifikan bagi mereka. Sebagai sebuah entitas politik yang dikenal terkuat di
Nusantara, al-Mukammil menyadari bahwa permintaan ini harus dijawab
dengan damai sedamai utusan Portugis yang datang dengan surat rajanya dan
hadiah-hadiah kuda dan perhiasan.
Dalam menentukan jawaban terhadap permintaan Portugis itu, al-Mukammil mengajak
duel kuda-kuda Portugis dengan kuda-kuda kesultanan yang didatangkan dari
Istanbul dan Mekkah. Kekalahan Kuda Sultan menuntun pada permainan tantangan
lainnya dimana kemudian dimenangkan oleh Aceh dengan bantuan Sultan Iskandar
Muda yang masih belia. Dengan begitu, Sultan punya alasan yang masuk akal untuk
tidak memberikan Kota Biram pada Portugis. Utusan itu kemudian dipulangkan ke
negerinya tanpa kekurangan apapun.
duel kuda-kuda Portugis dengan kuda-kuda kesultanan yang didatangkan dari
Istanbul dan Mekkah. Kekalahan Kuda Sultan menuntun pada permainan tantangan
lainnya dimana kemudian dimenangkan oleh Aceh dengan bantuan Sultan Iskandar
Muda yang masih belia. Dengan begitu, Sultan punya alasan yang masuk akal untuk
tidak memberikan Kota Biram pada Portugis. Utusan itu kemudian dipulangkan ke
negerinya tanpa kekurangan apapun.
Melihat fenomena kepemimpinan Aceh saat ini, saya yakin bahwa
Aceh sedang sekarat kepemimpinan. Realitanya menjadi semakin menggelisahkan
ketika pemerintahan yang dipimpin oleh pentolan pejuang-pejuang pada masa
konflik sangat jauh dari harapan. Ditambah lagi, pasangan-pasangan yang mulai
berkoar untuk menguasai Aceh untuk periode 2017-2022 adalah wajah-wajah
pemimpin yang sama yang kesuksesannya tidak signifikan.
Aceh sedang sekarat kepemimpinan. Realitanya menjadi semakin menggelisahkan
ketika pemerintahan yang dipimpin oleh pentolan pejuang-pejuang pada masa
konflik sangat jauh dari harapan. Ditambah lagi, pasangan-pasangan yang mulai
berkoar untuk menguasai Aceh untuk periode 2017-2022 adalah wajah-wajah
pemimpin yang sama yang kesuksesannya tidak signifikan.
Aceh memerlukan pemimpin ‘gebrakan’ yang berpengetahuan luas,
bijak, berpikiran terbuka, dan benar benar peduli dengan pendidikan. Pemimpin
yang tidak mudah terkecoh dengan isu RAS yang disetir oleh pihak tertentu,
pemimpin yang mendengar tidak pada pembisik-pembisiknya tapi juga
teriakan-teriakan yang datang dari koran, media sosial, surat-surat personal
dari pelosok pelosok desa dan sebagainya. Jika memang Aceh bansa
teuleubeih ateuh rung donya, maka jadikan itu tidak hanya sekedar dongeng
belaka.
bijak, berpikiran terbuka, dan benar benar peduli dengan pendidikan. Pemimpin
yang tidak mudah terkecoh dengan isu RAS yang disetir oleh pihak tertentu,
pemimpin yang mendengar tidak pada pembisik-pembisiknya tapi juga
teriakan-teriakan yang datang dari koran, media sosial, surat-surat personal
dari pelosok pelosok desa dan sebagainya. Jika memang Aceh bansa
teuleubeih ateuh rung donya, maka jadikan itu tidak hanya sekedar dongeng
belaka.
Telah terbit sebelumnya di Koran Mingguan Pikiran Merdeka tahun 2015.