Bahasa Melayu merupakan bahasa yang pernah menjadi Lingua
Franca di tanah nusantara ini. Kepopulerannya telah menarik para
pengkaji untuk menyelidiki dan mempelajari penulisan bahasa Melayu mulai dari
abad ke-14. Selain Pigafetta, Nama Frederick de Houtman merupakan nama yang
wajib disebutkan. Itu dikarenakan ia berhasil menjadi penulis kamus
Melayu-Belanda tertua yang diterbitkan pada tahun 1603.
Franca di tanah nusantara ini. Kepopulerannya telah menarik para
pengkaji untuk menyelidiki dan mempelajari penulisan bahasa Melayu mulai dari
abad ke-14. Selain Pigafetta, Nama Frederick de Houtman merupakan nama yang
wajib disebutkan. Itu dikarenakan ia berhasil menjadi penulis kamus
Melayu-Belanda tertua yang diterbitkan pada tahun 1603.
Proses persiapan kamus tersebut diawali dengan kedatangan
Cornelis de Houtman yang mengepalai 4 kapal Belanda pertama dibawah nama Compagnie
van Verre pada tahun 1594. Ia berlayar ke negeri-negeri sebelah
timur bahkan hingga sampai ke wilayah Sulawesi dan kembali ke Belanda
pada tahun berikutnya.
Cornelis de Houtman yang mengepalai 4 kapal Belanda pertama dibawah nama Compagnie
van Verre pada tahun 1594. Ia berlayar ke negeri-negeri sebelah
timur bahkan hingga sampai ke wilayah Sulawesi dan kembali ke Belanda
pada tahun berikutnya.
Pada pelayaran kedua, beberapa sumber penting menyebutkan salah
satu wilayah yang dikunjungi adalah Kesultanan Aceh Darussalam yang saat itu
berada dibawah pemerintahan Sultan Alaaddin Riayat Syah al-Mukammil
(1588-1604). Ia ditemani oleh awak kapal termasuk saudaranya yang bernama
Frederick de Houtman. Tujuan utama perlayaran tersebut adalah untuk mewakili
Belanda dalam urusan perniagaan dan pedagangan rempah. Menurut Linehan, de
Houtman belayar ke alam Melayu pada tanggal 23 Maret 1598 dengan disertai dua
buah kapal yang dinamai ‘Lion and Liones’ dan memasuki perairan Aceh,
tepatnya Pulau Weh, pada tanggal 21 atau 26 Juni 1599.
satu wilayah yang dikunjungi adalah Kesultanan Aceh Darussalam yang saat itu
berada dibawah pemerintahan Sultan Alaaddin Riayat Syah al-Mukammil
(1588-1604). Ia ditemani oleh awak kapal termasuk saudaranya yang bernama
Frederick de Houtman. Tujuan utama perlayaran tersebut adalah untuk mewakili
Belanda dalam urusan perniagaan dan pedagangan rempah. Menurut Linehan, de
Houtman belayar ke alam Melayu pada tanggal 23 Maret 1598 dengan disertai dua
buah kapal yang dinamai ‘Lion and Liones’ dan memasuki perairan Aceh,
tepatnya Pulau Weh, pada tanggal 21 atau 26 Juni 1599.
Sebagaimana diketahui wilayah Aceh saat itu berada dalam
monopoli Portugis. Campur tangan Belanda dalam urusan perniagaan telah
menyebabkan perselisihan. Ada beberapa versi sejarah yang menyebutkan mengenai
persilisihan tersebut terkait dengan penciptaan kamus Melayu-Belanda. Salah
satunya adalah pihak Kesultanan Aceh memerintahkan Laksamana Keumalahayati
untuk menangkap awak kapal de Houtman yang kemudian terbunuh karena
pertikaian. Meskipun begitu diketahui bahwa Frederick de Houtman dan
beberapa awak kapal hidup dan menjadi tawanan Kesultanan Aceh sejak tahun 1599
hingga 1601 atau sekitar 23 bulan. Ia ditebus oleh saudagar-saudagar Belanda,
Laurence Bicker dan Gerard Le Roy yang khusus dikirim oleh Pangeran Maurice.
Melalui utusan ini, Pangeran Maurice meminta Sultan al-Mukammil untuk
membebaskan Frederick dan tahanan Belanda lainnya sekaligus memulai urusan
perniagaan secara resmi dengan kesultanan Aceh Darussalam. Kesopanan dan
kejujuran Gerad de Roy bersama temannya menyenangkan hati Sultan yang kemudian
mengizinkan tidak hanya pembebasan Frederick de Houtman tapi juga pemberian
izin resmi untuk pembangunan pabrik penyimpanan yang dinamai “Factory” kepada
Belanda.
monopoli Portugis. Campur tangan Belanda dalam urusan perniagaan telah
menyebabkan perselisihan. Ada beberapa versi sejarah yang menyebutkan mengenai
persilisihan tersebut terkait dengan penciptaan kamus Melayu-Belanda. Salah
satunya adalah pihak Kesultanan Aceh memerintahkan Laksamana Keumalahayati
untuk menangkap awak kapal de Houtman yang kemudian terbunuh karena
pertikaian. Meskipun begitu diketahui bahwa Frederick de Houtman dan
beberapa awak kapal hidup dan menjadi tawanan Kesultanan Aceh sejak tahun 1599
hingga 1601 atau sekitar 23 bulan. Ia ditebus oleh saudagar-saudagar Belanda,
Laurence Bicker dan Gerard Le Roy yang khusus dikirim oleh Pangeran Maurice.
Melalui utusan ini, Pangeran Maurice meminta Sultan al-Mukammil untuk
membebaskan Frederick dan tahanan Belanda lainnya sekaligus memulai urusan
perniagaan secara resmi dengan kesultanan Aceh Darussalam. Kesopanan dan
kejujuran Gerad de Roy bersama temannya menyenangkan hati Sultan yang kemudian
mengizinkan tidak hanya pembebasan Frederick de Houtman tapi juga pemberian
izin resmi untuk pembangunan pabrik penyimpanan yang dinamai “Factory” kepada
Belanda.
Tidak hanya itu, selain pemberian hadiah kargo lada yang
memenuhi dua kapal Belanda, Sultan juga mengutus Abdul Samad, Laksamana Sri
Muhammad, dan bangsawan Mir Hasan bersama-sama dengan kapal utusan pangeran
Maurice tersebut yang kembali ke Belanda pada tanggal 29 November 1601 dan tiba
pada 6 Juli 1602. Delegasi ini menghabiskan waktu 15 bulan mengunjungi
keseluruhan wilayah Nederland dengan biaya dari VOC. Salah satu utusannya,
Abdul Hamid yang merupakan utusan Aceh berusia lanjut kemudian menghembuskan
nafas terakhirnya disana pada 10 Agustus 1602. Makamnya masih bisa disaksikan
di Gereja Saint Peter. Hubungan ini berlanjut hingga 400 tahun ke depan.
memenuhi dua kapal Belanda, Sultan juga mengutus Abdul Samad, Laksamana Sri
Muhammad, dan bangsawan Mir Hasan bersama-sama dengan kapal utusan pangeran
Maurice tersebut yang kembali ke Belanda pada tanggal 29 November 1601 dan tiba
pada 6 Juli 1602. Delegasi ini menghabiskan waktu 15 bulan mengunjungi
keseluruhan wilayah Nederland dengan biaya dari VOC. Salah satu utusannya,
Abdul Hamid yang merupakan utusan Aceh berusia lanjut kemudian menghembuskan
nafas terakhirnya disana pada 10 Agustus 1602. Makamnya masih bisa disaksikan
di Gereja Saint Peter. Hubungan ini berlanjut hingga 400 tahun ke depan.
Sebelum melanjutkan pembahasan kita tentang kamus Malayu-Belanda
yang pertama, sepatutnya kita mengetahui bagaimana seorang tahanan dapat
menghasilkan karya yang sangat ilmiah, tidak hanya daftar kosa kata Melayu
tetapi juga sederetan dialog atau percakapan dalam bahasa tersebut. Salah satu
kemungkinannya adalah penjara yang dijalani Fredrick de Houtman adalah penjara
‘pelarangan berlayar kembali ke negri asalnya atau pelarangan berdagang keluar
wilayah Aceh. Sebagaimana Frederick de Houtman menulis dalam bukunya bahwa
beliau bertatap muka dengan Syeikh Shamsuddin as-Sumatrani yang saat itu
memegang tempat dan tanggung jawab penting di istana menggantikan secara
terbatas dan sementara Sultan al-Mukammil yang berusian lanjut yang barangkali
menghalangi keutuhan kepengurusan seluruh administrasi kerajaan. Maka bukankah
masuk akal jika tokoh-tokoh Aceh terkemuka seperti Syamsuddin As-Sumatrani atau
tokoh-tokoh lainnya ikut menyumbangkan kontribusi dalam persiapan kamus
tersebut?. Apakah mungkin tanpa keterlibatan masyarakat pribumi, Frederick,
seorang yang dipenjarakan, mampu melahirkan hasil karya yang tergolong sangat
ilmiah. Suatu hal yang logis jika saya menyebutkan adanya komunikasi formal
antara Frederick de Houtman dengan para cendikiawan Aceh. Karena meskipun ia
berstatus tahanan di Bandar Aceh, ibu kota Kesultanan Aceh saat itu, kesultanan
Aceh tentunya telah bersikap dan melayani persoalan-persoalan Frederick secara
manusiawi. Atau bisa dikatakan juga bahwa orang Aceh tidak sekedar menerima
Frederick sebagai yang bersalah tetapi lebih dari seorang tamu yang membutuhkan
bantuan, termasuk dalam proses pengumpulan kosa kata bahasa Melayu-Belanda.
Patut diakui pula bahwa orang Aceh, sebagaimana yang banyak disebutkan dalam
sumber-sumber sejarah, meminta Frederick untuk menganut Islam dikarenakan
berbagai alasan, termasuk untuk bekerjasama dengannya dalam menyelesaikan kamus
Melayu-Belanda tersebut. Bagaimanapun juga, tak ada sumber tertentu yang
menyatakan adanya campur tangan secara langsung.
yang pertama, sepatutnya kita mengetahui bagaimana seorang tahanan dapat
menghasilkan karya yang sangat ilmiah, tidak hanya daftar kosa kata Melayu
tetapi juga sederetan dialog atau percakapan dalam bahasa tersebut. Salah satu
kemungkinannya adalah penjara yang dijalani Fredrick de Houtman adalah penjara
‘pelarangan berlayar kembali ke negri asalnya atau pelarangan berdagang keluar
wilayah Aceh. Sebagaimana Frederick de Houtman menulis dalam bukunya bahwa
beliau bertatap muka dengan Syeikh Shamsuddin as-Sumatrani yang saat itu
memegang tempat dan tanggung jawab penting di istana menggantikan secara
terbatas dan sementara Sultan al-Mukammil yang berusian lanjut yang barangkali
menghalangi keutuhan kepengurusan seluruh administrasi kerajaan. Maka bukankah
masuk akal jika tokoh-tokoh Aceh terkemuka seperti Syamsuddin As-Sumatrani atau
tokoh-tokoh lainnya ikut menyumbangkan kontribusi dalam persiapan kamus
tersebut?. Apakah mungkin tanpa keterlibatan masyarakat pribumi, Frederick,
seorang yang dipenjarakan, mampu melahirkan hasil karya yang tergolong sangat
ilmiah. Suatu hal yang logis jika saya menyebutkan adanya komunikasi formal
antara Frederick de Houtman dengan para cendikiawan Aceh. Karena meskipun ia
berstatus tahanan di Bandar Aceh, ibu kota Kesultanan Aceh saat itu, kesultanan
Aceh tentunya telah bersikap dan melayani persoalan-persoalan Frederick secara
manusiawi. Atau bisa dikatakan juga bahwa orang Aceh tidak sekedar menerima
Frederick sebagai yang bersalah tetapi lebih dari seorang tamu yang membutuhkan
bantuan, termasuk dalam proses pengumpulan kosa kata bahasa Melayu-Belanda.
Patut diakui pula bahwa orang Aceh, sebagaimana yang banyak disebutkan dalam
sumber-sumber sejarah, meminta Frederick untuk menganut Islam dikarenakan
berbagai alasan, termasuk untuk bekerjasama dengannya dalam menyelesaikan kamus
Melayu-Belanda tersebut. Bagaimanapun juga, tak ada sumber tertentu yang
menyatakan adanya campur tangan secara langsung.
Setelah de Houtman diperbolehkan pulang ke negeri asalnya, ia
menyusun kembali rekaman-rekaman tertulisnya yang kemudian berhasil diterbitkan
di Amsterdam berjudul “Spraeck de woordboek in de Maleysche en de
Madagaskarse Talen (Grammar and Dictionary of the Malayan and Malagasy
Languages)” pada tahun 1603. Karya ini dikatakan menarik karena memuat
12 bentuk percakapan dan dialog dalam bahasa Melayu, 3 bentuk dialog dalam
bahasa Malagasi dan lebih dari 2000 kosa kata Melayu-Belanda atau
Belanda-Malagasi. Kamus ini kemudian baru dicetak dalam edisi baru tahun 1880
dan dicetak kembali tahun 1948.
menyusun kembali rekaman-rekaman tertulisnya yang kemudian berhasil diterbitkan
di Amsterdam berjudul “Spraeck de woordboek in de Maleysche en de
Madagaskarse Talen (Grammar and Dictionary of the Malayan and Malagasy
Languages)” pada tahun 1603. Karya ini dikatakan menarik karena memuat
12 bentuk percakapan dan dialog dalam bahasa Melayu, 3 bentuk dialog dalam
bahasa Malagasi dan lebih dari 2000 kosa kata Melayu-Belanda atau
Belanda-Malagasi. Kamus ini kemudian baru dicetak dalam edisi baru tahun 1880
dan dicetak kembali tahun 1948.
Catatan A.W. Hamilton dalam artikelnya yang berjudul “The
First Dutch-Malay Vocabulary”, menyebutkan bahwa kamus tersebut pada
awalnya tidak disertai dalam bahasa Inggris tapi hanya bergantung pada karakter
huruf versi de Houtman. Contohnya, arijs, adalah ejaan Melayu de
Houtman yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, den dach. The
day adalah penambahan dalam bahasa Inggris yang artinya adalah hari.
Contoh lainnya adalah baccar, dalam bahasa Belanda verbranden, to
burn adalah penambahan terjemahan dalam bahasa Inggris yang artinya
dalam bahasa Melayu kini, bakar.
First Dutch-Malay Vocabulary”, menyebutkan bahwa kamus tersebut pada
awalnya tidak disertai dalam bahasa Inggris tapi hanya bergantung pada karakter
huruf versi de Houtman. Contohnya, arijs, adalah ejaan Melayu de
Houtman yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, den dach. The
day adalah penambahan dalam bahasa Inggris yang artinya adalah hari.
Contoh lainnya adalah baccar, dalam bahasa Belanda verbranden, to
burn adalah penambahan terjemahan dalam bahasa Inggris yang artinya
dalam bahasa Melayu kini, bakar.
Kosa kata yang telah ditulis oleh de Houtman merupakan kosa kata
umum yang digunakan dalam perniagaan. Kamus Melayu de Houtman ini telah disusun
dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Magister Gothard Arthus dan
diterbitkan di Cologne, Jerman, pada tahun 1608 (Harun Aminurrasyid, 1966:126).
Karya tersebut kemudian disusun kembali oleh Albert Ruyl yang dicetak dengan
judul Spieghel van de Malaysche Tale (Mirror of the Malay Language).
Disusul oleh Agustine Spalding yang menerjemhakannya ke dalam bahasa Inggris.
Hingga tahun 1673, kamus de Houtman dalam bentuk lexicon mengalami reproduksi.
umum yang digunakan dalam perniagaan. Kamus Melayu de Houtman ini telah disusun
dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Magister Gothard Arthus dan
diterbitkan di Cologne, Jerman, pada tahun 1608 (Harun Aminurrasyid, 1966:126).
Karya tersebut kemudian disusun kembali oleh Albert Ruyl yang dicetak dengan
judul Spieghel van de Malaysche Tale (Mirror of the Malay Language).
Disusul oleh Agustine Spalding yang menerjemhakannya ke dalam bahasa Inggris.
Hingga tahun 1673, kamus de Houtman dalam bentuk lexicon mengalami reproduksi.
Meskipun tidak begitu banyak sumber yang menyebutkan perjalan
hidup Frederick, Terbukti bahwa pelantikannya sebagai Gubernur Ambon yang
terjadi pada tahun 1605 dan pengankatannya sebagai staff Ahli Hindia Belanda
timur pada tahun 1619 hingga 1623 adalah bagian dari kesuksesan pengetahuannya
terhadap linguistik Melayu-Belanda tersebut. Setelah Beliau meninggal dunia
pada tahun 1627, karya lainnya yang berjudul Dictionarium ofte Woord
-en Spraeckboek in de Maleysche Tale…. diterbitkan pada tahun 1680 di
Amsterdam.
hidup Frederick, Terbukti bahwa pelantikannya sebagai Gubernur Ambon yang
terjadi pada tahun 1605 dan pengankatannya sebagai staff Ahli Hindia Belanda
timur pada tahun 1619 hingga 1623 adalah bagian dari kesuksesan pengetahuannya
terhadap linguistik Melayu-Belanda tersebut. Setelah Beliau meninggal dunia
pada tahun 1627, karya lainnya yang berjudul Dictionarium ofte Woord
-en Spraeckboek in de Maleysche Tale…. diterbitkan pada tahun 1680 di
Amsterdam.
Bahan Bacaan
Beekman, E.M. Troubled Pleasures: Dutch Colonial
Literatures from the East Indies 1600-1950. Oxford: Clarendon Press, 1996.
Literatures from the East Indies 1600-1950. Oxford: Clarendon Press, 1996.
Dasgupta Arun, 1962, Acheh in Indonesian Trade and
Politics: 1600-1641. Cornell University.
Politics: 1600-1641. Cornell University.
W. J. Drenes, 1979, (Ed.), Hikajat Potjut Muhamat,
Koninklijk Instituut Loor tall-, Land- En Volkenkunde, The Hague-Martinus
Nijhoff.
Koninklijk Instituut Loor tall-, Land- En Volkenkunde, The Hague-Martinus
Nijhoff.
Harun Aminurrashid (Peny.) 1966. Kajian Sejarah
Perkembangan Bahasa Melayu. Singapura: Pustaka Melayu.
Perkembangan Bahasa Melayu. Singapura: Pustaka Melayu.
J.S. Furnivall, 1967, Netherlands India: A Study of
Plural Economy, Cambridge University Press, London.
Plural Economy, Cambridge University Press, London.
Teeuw, A. 1961. A critical Survey of Studies of Malay
and Bahasa Indonesia. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
and Bahasa Indonesia. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
William Marsden, 1966, The History of Sumatra, (A
Reprint of the Third Edition), Oxford University Press, Kuala Lumpur.
Reprint of the Third Edition), Oxford University Press, Kuala Lumpur.
Tulisan diatas adalah versi revisi dari tulisan yang pernah diterbitkan oleh Aceh Institute pada tahun 2011.