Mabuk terhoyong hoyong setelah mengunyah sirih disela-sela gelak tawa teman temanku adalah ingatan manis yang sempat menyusup dalam sebelum masa Hasan Ditiro pulang mengumumkan perang. Hampir seluruh orang tua dikampungku dulunya suka mengunyah sirih.
Ya, khabarnya ini adalah tradisi turun menurun. Tapi kami tidak begitu peduli tentang dari mana asal muasalnya atau siapa yang pertama kali memperkenalkan tradisi pajoh ranub ini. Meskipun baru tahun-tahun belakangan ini kuketahui bahwa hampir seluruh kawasan di Asia Tenggara ternyata familiar dengan mengunyah Sirih. Tradisi ini juga mendapat tempat dalam hari hari atau peristiwa spesial. Misalnya, Aceh menyelipkan tradisi menjamu tamu dengan tarian dan nyanyian sambil menyajikan sirih yang dihantar untuk setiap tamu. Tarian ini dinamai tarian Ranub Lampuan.
Membaca catatan pedagang Inggris bernama Thomas Bowrey yang mengunjungi Aceh pada periode pemerintahan Ratu Aceh, tergambar dibenakku betapa hiruk pikuknya pesisiran pantai Aceh yang membentang disepanjangan perairan Selat Melaka dan Samudra Hindia. Khusus pada periode ini, Thomas Bowrey melihat ada ratusan kapal-kapal kecil dan besar yang dimiliki oleh pedagang-pedagang asing dari teluk Persia, Laut Merah, India, Benggala, Malabar dan Cina. Juga termasuk bagian laut selatan India yang termasuk pelabuhan-pelabuhan di Pesisiran Koromandel. Dengan pertukaran barang dagangan yang beragam, hidangan sampingan berupa Buah Pinang, cairan jeruk nipis, dan daun sirih diperkenalkan. Besar kemungkinan bahwa ini dibawa oleh pedagang-pedagang dari benua Keling yang dipercayai terletak dari benua Indian bagian Selatan. Kombinasian hidangan ini dikatakan dapat meningkatkan stamina dan ketajaman pikiran. Dalam artian , dapat menunda serangan lelah, apalagi dengan faktor faktor alam dan karakter manusia serta keadaan ekonomi saat itu yang menuntuk perhatian sepanjang saat.
Berada dalam situasi perdagangan yang kosmopolit seperti ini, Thomas Bowrey tentu harus ikut merasakan ‘manis’nya dunia sirih.
Thomas Bowrey menggambarkan: ” the Beetele Areca is here in great plenty and much better then in many other countries of the East and South seas. Very few houses here but have severall trees of it growinge that beare all the yeare longe, and the inhabitants in generall doe eat thereof, prepared thus: they cutt teh areca nut into very thin slices, and put about one half of a nut into their mouth, and then one beetele leafe or two (according as they are in bignesse), and spread a little qualified lime thereon, which by them is called Chenam, which folded up togeather they eat with nut, which after a little chewing doth produce very much liquirosh moisture in the mouth, which for the most part they Swallow downe, and after a good while chewinge untill it is dry, they spit it out and take more that is fresh, and thus they almost all day longe chew betelee areca. They hold it good for the stomach, and keeping the breathe sweet, the latter of which i am very satisfied in,..”
Terjemahannya: “ada banyak buah pinang disini dan lebih baik dari negari-negeri bagian laut Timur dan Selatan. Ada banyak rumah disini kecuali beberapa yang ditumbuhi dengan pohon sirih sepanjangn tahun dan secara umum masyarakat disana memakannya yang dipersiapkan begini: Mereka mencincang buah pinang menjadi sangat tipis dan meletakkan ukuran setengah pinang dalam mulutnya, kemudian dengan satu atau dua daun sirih tergantung dari ukuran besarnya, dan ditaburi diatasnya jeruk nipis bermutu yang mereka sebut Chenam, kemudian dilipat bersama dan dimakan dengan pinangnya yang setelah dikunyah sedikit keluar jus berwarna liquor dalam mulut yang kebanyakannya ditelan dan ketika kunyahannya menjadi kering, mereka mengeluarkannya dari mulut dan mengambil yang lain yang masih segar. Mereka kunyah sirih sepanjang hari. Mereka bisa menahan dalam perutnya dan menjadikan bau nafas yang manis, hal utama yang paling memuaskan buatku… ”
Berangkat dari catatan Bowrey sekarang kita bisa berkeyakinan bahwa tradisi mengunyah Sirih ini telah populer sejak pertengahan abad ke-17. Menyaksikan masyarakat di Asia Tenggara saat ini masih berkebiasaan mengunyah Sirih membuktikan bahwa tradisi ini sudah bertahan selama 400 tahun lebih. Dengan ini barangkali masyarakat kita tidak perlu lagi membeli obat obatan dan penambah energi kimiawi import, melainkan kembali pada warisan lokal.
Senyap Malam Kuala Lumpur, 17 Oktober 2018