Perjalanan Konstruksi Sejarah

Pada satu sisi, persepsi bahwa sejarah Aceh telah banyak diputarbalikkan memang satu hal yang tidak perlu dan tidak bisa diabaikan. Ada banyak sumber yang bisa mewakilkan kenyataan diatas yang ditulis dalam dua gelombang periode; periode penjajahan dan pasca-penjajahan.
Merupakan suatu hal yang lumrah jika mendapati hampir semua buku yang ditulis pada masa penjajahan mengandung narasi-narasi yang meletakkan Aceh jauh dibawah kategori peradaban. Tidak perlu berbicara mengenai data dan fakta lapangan karena tidak jarang ada juga buku buku yang bersumber dari bualan mendapat dukungan diseminasi secara material ataupun immaterial. Buku-buku semaca ini kebanyakannya ditulis oleh agen agen penjajahan, termasuk simpatisannya. Periode ini biasanya dikategorikan dengan periode Eurocentrik.
Pertimbangan akan ketidakadilan intelektual yang dihadirkan dalam sumber-sumber ini kemudian baru mendapatkan perhatian ketika pemerintahan Belanda berada ditangan jiwa-jiwa liberalisme yang bersemangat. Eduard Douwes Dekker atau yang lebih dikenal dengan Multatuli adalah salah satu penganut liberal yang tercerahkan. Kemudian kita juga tidak mungkin lupa dengan Snouck Hurgronje yang meskipun bagaikan cambuk (seuneut) bagi rakyat Aceh saat itu dan –masih-hari ini adalah salah satu produk liberalisme yang mencoba melihat Samudra Hindia, terutama kawasan Hindia Belanda dengan kacamata ‘kebenaran’ dengan caranya tersendiri.

Narasi-narasi yang lebih imbang kemudian mendominasi tingkat-tingkat yang lebih luas yang dapat disaksikan selama masa pasca-penjajahan yaitu antara tahun 1950an hingga kini. Pergerakan diatas dapat disimak dalam banyak kajian yang telah terbit. Misalnya, Asian History and Western Historian, Rejoinder
to Profesor Bastin
yang ditulis oleh W. Wertheim. Dalam tulisan ini Wertheim dengan tajam menganalisa pemikiran-pemikiran Profesor Bastin dan beberapa tokoh lainnya tentang menggunakan pola pikir yang tidak bersifat eurosentris dalam melihat atau mempelajari sejarah Asia dan Asia Tenggara, tapi sebaliknya narasi dari sudut pandang pribumi perlu diutamakan. Atau dalam sejarah Aceh secara spesifiknya bisa dilihat dari gaya Denys Lombard dalam paparannya mengenai Sultan Iskandar Muda yang dapat dipertimbangkan telah mewakili narasi pribumi. Bahkan Ali Hasjmy pun menyetujui bahwa Denys Lombard telah “meluruskan sejarah yang dibelokkan oleh ‘Kolonialis Agung’ Snouck Hurgronje” (Lombard,2007:17)
Namun proses yang sedang mendominasi panggung intelektual diatas nampaknya tidak begitu disadari oleh banyak rakyat Aceh, termasuk mereka yang ‘terdidik’, yang baru saja terbebas dari 30 tahun konflik. Apalagi dengan media sosial yang nampaknya begitu menggerogoti lebih dari separuh kolom ingatan penggunanya, transformasi narasi sejarah Aceh seakan tetap dan akan terus berada dalam fase penjajahan. Hanya dengan sekeping gambar dan dua baris kalimat, transformasi yang terjadi dalam kurun waktu 100 tahun itu terlihat tidak pernah terjadi. Sumber barat masih tetap sumber penjajah kafir. Sebaliknya sumber dari penulis dengan nama Muslim, buku buku berbahasa Arab, atau sumber ‘ureung droe’ menjadi satu-satunya sumber yang patut dirujuk. Yah, tak dapat dipungkiri pula, memang ada juga beberapa buku yang ditulis dengan mental bias tidak hanya oleh barat tapi juga oleh orang lokal sendiri sesuai dengan yang kita bicarakan diatas. Namun itu tidak perlu menghambat langkah kita kearah yang lebih besar.
Untuk mampu mempersembahkan sebuah kajian yang intelektual dan beradab, kita perlu mengubah pola piker yang diwariskan dari perjalanan konflik. Sudah masanya kita membaca -atau disodori -buku-buku yang ditulis oleh siapapun dan kapanpun. Hanya dengan begitu, kita benar benar dapat berpijak pada masa sekarang dan melakukan pergerakan positif bagi masa depan Aceh dan bangsanya. 
NIA DELIANA- JUNI 2015

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―