Daniel Crecelius dan
E.A. Beardow dalam jurnal artikelnya A Refuted
Acehnese “Sarakata” of the Jamal Al Lail Dynasty yang terbit tahun 1979
berargumen bahwa simbol-simbol supreme kesultanan seperti segel cap, yang
ditemui dalam surat lokal, terutama yang ditulis pada pertengahan abad ke-19
keatas bisa dipalsukan, termasuk kandungannya, apalagi mengingat keabsolutan
Sultan telah lama dikonteskan oleh petinggi-petinggi uleebalang yang otonom
sejak abad ke-18. Mendukung argumentasinya, melalui sebuah kopian sarakata yang
ia dapatkan dari guru besar Aceh Ali Hasjmy, ia kulik dengan menonjolkan sisi
sisi rancu yang diklaim secara alamiah bertolak belakang dengan perkembangan
yang ada pada periode sarakata ini dituliskan.
E.A. Beardow dalam jurnal artikelnya A Refuted
Acehnese “Sarakata” of the Jamal Al Lail Dynasty yang terbit tahun 1979
berargumen bahwa simbol-simbol supreme kesultanan seperti segel cap, yang
ditemui dalam surat lokal, terutama yang ditulis pada pertengahan abad ke-19
keatas bisa dipalsukan, termasuk kandungannya, apalagi mengingat keabsolutan
Sultan telah lama dikonteskan oleh petinggi-petinggi uleebalang yang otonom
sejak abad ke-18. Mendukung argumentasinya, melalui sebuah kopian sarakata yang
ia dapatkan dari guru besar Aceh Ali Hasjmy, ia kulik dengan menonjolkan sisi
sisi rancu yang diklaim secara alamiah bertolak belakang dengan perkembangan
yang ada pada periode sarakata ini dituliskan.
Sarakata yang sedang
kita bahas ini berkenaan dengan kepemilikan tanah yang dianugrahkan pada
keturunan-keturunan Jamal al Layl. Kopian yang dimiliki pengarang adalah salinan
yang dibuat oleh seorang keturunan Hadhrami bermarga Jamal al Layl bernama
Sayyid Abdullah bin Ahmad bin Ali al Jamal al Layl atau dikenal juga dengan
nama Teungku di Mulek. Dikatakan bahwa
sarakata ini pertama kali dilahirkan pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim
Mansur Syah (c. 1823-1870) atau tepatnya pada tahun 1849 dan disalin pertama
kali pada tahun 1872 oleh yang bersangkutan diatas.
kita bahas ini berkenaan dengan kepemilikan tanah yang dianugrahkan pada
keturunan-keturunan Jamal al Layl. Kopian yang dimiliki pengarang adalah salinan
yang dibuat oleh seorang keturunan Hadhrami bermarga Jamal al Layl bernama
Sayyid Abdullah bin Ahmad bin Ali al Jamal al Layl atau dikenal juga dengan
nama Teungku di Mulek. Dikatakan bahwa
sarakata ini pertama kali dilahirkan pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim
Mansur Syah (c. 1823-1870) atau tepatnya pada tahun 1849 dan disalin pertama
kali pada tahun 1872 oleh yang bersangkutan diatas.
Sebelum Crecelius dan
rekannya, ternyata telah ada beberapa intelektual pendahulu yang menelusuri
naskah ini. Salah satunya adalah guru besar Henry Chambert Loir yang
memberitakan kumpulan naskah Teungku di Mulek dalam Rapport de Mission a Aceh avril-Mai 1976 diterbitkan dalam Bulletin
de l’École française d’Extrême-Orient (BEFEO) tahun 1977. Loir barangkali orang
pertamayang meragukan ke-otentikan naskah-naskah Teungku di Mulek.
rekannya, ternyata telah ada beberapa intelektual pendahulu yang menelusuri
naskah ini. Salah satunya adalah guru besar Henry Chambert Loir yang
memberitakan kumpulan naskah Teungku di Mulek dalam Rapport de Mission a Aceh avril-Mai 1976 diterbitkan dalam Bulletin
de l’École française d’Extrême-Orient (BEFEO) tahun 1977. Loir barangkali orang
pertamayang meragukan ke-otentikan naskah-naskah Teungku di Mulek.
Pengarang Crecelius dalam
menuangkan argumen bahwa kemungkinan naskah sarakata ini dipalsukan berangkat
dari beberapa hal. Yang pertama terletak pada perselisihan nama yang tidak
sesuai dengan daftar Sultan Hadhrami al Jamal al Layl yang secara umum telah
disepakati. Dalam Sarakata Teungku di Mulek, Sultan Hadhrami yang paling
terkenal, Sultan Badr al Munir diklaim bukan merupakan anak dari Sultan Badr al Alam Sharif Hashim melainkan
dari Sayyid Ali yang adalah saudara kandung lain dari ayah yang sama, Sayyid
Ibrahim. Sultan yang disebut dalam sarakata ini tidak terspesifikasi dalam rekod
sejarah lainnya yang menerakan keberadaan Sultan Badr al Alam Zain al Abidin al
Jamal al Layl bertakhta selama tujuh bulan.
menuangkan argumen bahwa kemungkinan naskah sarakata ini dipalsukan berangkat
dari beberapa hal. Yang pertama terletak pada perselisihan nama yang tidak
sesuai dengan daftar Sultan Hadhrami al Jamal al Layl yang secara umum telah
disepakati. Dalam Sarakata Teungku di Mulek, Sultan Hadhrami yang paling
terkenal, Sultan Badr al Munir diklaim bukan merupakan anak dari Sultan Badr al Alam Sharif Hashim melainkan
dari Sayyid Ali yang adalah saudara kandung lain dari ayah yang sama, Sayyid
Ibrahim. Sultan yang disebut dalam sarakata ini tidak terspesifikasi dalam rekod
sejarah lainnya yang menerakan keberadaan Sultan Badr al Alam Zain al Abidin al
Jamal al Layl bertakhta selama tujuh bulan.
Yang kedua, denga
menyepakati poin yang dibuat sebelumnya oleh Chambert Loir, pengarang juga
menunjuk pada inkonsistensi dalam kelompok ahli waris, selain mengeluhkan
kosakata kosa kata yang dipakai dalam teks seperti “mayor” dan “sekretaris”
yang diperdebatkan keberadaannya dalan struktur pemerintahan Aceh. Lebih jauh
lagi, jabatan kementrian dalam negeri, kementrian luar negeri, dan kementrian
kehakiman tidak diyakini telah dipakai oleh Kesultanan Aceh Darussalam masa
itu.
menyepakati poin yang dibuat sebelumnya oleh Chambert Loir, pengarang juga
menunjuk pada inkonsistensi dalam kelompok ahli waris, selain mengeluhkan
kosakata kosa kata yang dipakai dalam teks seperti “mayor” dan “sekretaris”
yang diperdebatkan keberadaannya dalan struktur pemerintahan Aceh. Lebih jauh
lagi, jabatan kementrian dalam negeri, kementrian luar negeri, dan kementrian
kehakiman tidak diyakini telah dipakai oleh Kesultanan Aceh Darussalam masa
itu.
Yang ketiga merujuk
pada daftar pemerintahan 21 menteri beriringan dengan nama masing masing
menteri. Pengarang berpendapat, terutama untuk abad ke-19, beberapa hal tidak
memungkinkan ada dalam pemerintahan Aceh seperti kementrian Pertanian,
Kementrian Pendidikan, Kementrian Komunikasi, Kementrian Kerja-kerja publik,
dan kementrian Waqaf, sebagaimana yang disenaraikan dalam tek tersebut.
pada daftar pemerintahan 21 menteri beriringan dengan nama masing masing
menteri. Pengarang berpendapat, terutama untuk abad ke-19, beberapa hal tidak
memungkinkan ada dalam pemerintahan Aceh seperti kementrian Pertanian,
Kementrian Pendidikan, Kementrian Komunikasi, Kementrian Kerja-kerja publik,
dan kementrian Waqaf, sebagaimana yang disenaraikan dalam tek tersebut.
Yang ke-empat adalah
berkenaan dengan nama-nama 74 bawahan Sultan Badr al Alam Sharif Hashim
(1699-1702) yang merupakan petani yang bekerja menggemburi tanahnya. Mereka ini
diajukan sebagai benefisiari penerima waqaf. Pengarang curiga, 74 nama nama
yang tiba tiba muncul dipertengahan naskah ini, yang diklaim ditusli satu
setengah abad yang lalu, diciptakan seakan
pemegang nama-nama tersebut dapat ditemukan keturunannya. Lebih
mengherankan lagi, menurutnya, bahwa 74 nama-nama yang disebutkan itu kemudian
juga diklaim, dalam naskah lain,dengan segala kemiripan, sebagai pihak yang
mewakili badan parlemen Aceh pada masa Sultanah Safatuddin (1641-1675).
berkenaan dengan nama-nama 74 bawahan Sultan Badr al Alam Sharif Hashim
(1699-1702) yang merupakan petani yang bekerja menggemburi tanahnya. Mereka ini
diajukan sebagai benefisiari penerima waqaf. Pengarang curiga, 74 nama nama
yang tiba tiba muncul dipertengahan naskah ini, yang diklaim ditusli satu
setengah abad yang lalu, diciptakan seakan
pemegang nama-nama tersebut dapat ditemukan keturunannya. Lebih
mengherankan lagi, menurutnya, bahwa 74 nama-nama yang disebutkan itu kemudian
juga diklaim, dalam naskah lain,dengan segala kemiripan, sebagai pihak yang
mewakili badan parlemen Aceh pada masa Sultanah Safatuddin (1641-1675).
Setelah membaca naskah
lain yang disalin oleh Teungku si Mulek berjudul, Qanun Meukuta Alam atau
dengan nama lain Qanun Syara’ al Asyi, barangkali kita bisa dengan mudah
melihat bahwa ada perbedaan mendalam dari segi tatabahasa Melayu, Aceh dan
Arabnya yang klasik dengan yang masih umum digunakan sekarang. Beberapa kosa
kata begitu kuno tidak terjangkau
maknanya oleh siapaun. Di Bagian lain, uraian melayunya terlalu familiar untuk
sebuah naskah yang ditulis pada pertengahan abad ke-19 itu. Saya tidak
menekankan kepalsuan naskah ini melainkan
potensi tercampur aduknya salinan-salinan orisinil dengan salinan
salinan yang diperbaharui, barangkali dengan memori oral yang baru menemukan
lembaran lembaran penulisan setidaknya pada akhir abad ke 19 atau awal abad
ke-20. Ini barangkali terjadi dikarenakan kerusakan terhadap naskah akibat
perang atau bahkan lebih buruk dari itu.
lain yang disalin oleh Teungku si Mulek berjudul, Qanun Meukuta Alam atau
dengan nama lain Qanun Syara’ al Asyi, barangkali kita bisa dengan mudah
melihat bahwa ada perbedaan mendalam dari segi tatabahasa Melayu, Aceh dan
Arabnya yang klasik dengan yang masih umum digunakan sekarang. Beberapa kosa
kata begitu kuno tidak terjangkau
maknanya oleh siapaun. Di Bagian lain, uraian melayunya terlalu familiar untuk
sebuah naskah yang ditulis pada pertengahan abad ke-19 itu. Saya tidak
menekankan kepalsuan naskah ini melainkan
potensi tercampur aduknya salinan-salinan orisinil dengan salinan
salinan yang diperbaharui, barangkali dengan memori oral yang baru menemukan
lembaran lembaran penulisan setidaknya pada akhir abad ke 19 atau awal abad
ke-20. Ini barangkali terjadi dikarenakan kerusakan terhadap naskah akibat
perang atau bahkan lebih buruk dari itu.
Adalah bisa dimaklumi
barangkali-soal sarakata reklamasi hak tanah- jika keturunan Jamal al Layl,
dalam tahun-tahun perang, menekankan kembali hak tanahnya secara tertulis, yang
sebagian haknya masih dapat ditelusuri dari berbagai rekord sarakata Sultan,
terutama bagi keturunan Hadhrami.
barangkali-soal sarakata reklamasi hak tanah- jika keturunan Jamal al Layl,
dalam tahun-tahun perang, menekankan kembali hak tanahnya secara tertulis, yang
sebagian haknya masih dapat ditelusuri dari berbagai rekord sarakata Sultan,
terutama bagi keturunan Hadhrami.
Meskipun begitu banyak
teka teki yang belum terjawab, Kelemahan kelemahan naskah seperti ini adalah
bentuk jatuhnya keotentikan sebuah sumber. Sumber yang diragukan keotentikannya
harus diteliti secara lebih berhati hati, sebelum fakta fakta yang dihadirkan
didalamnya dapat diterima dan diaplikasikan sesuai kebutuhan ilmiah.
Selebihnya, Wallahu ‘Alam bissawab.
Telah terbit sebelumnya di http://portalsatu.com/read/budaya/sarakata-teungku-di-mulek-palsu-51431
teka teki yang belum terjawab, Kelemahan kelemahan naskah seperti ini adalah
bentuk jatuhnya keotentikan sebuah sumber. Sumber yang diragukan keotentikannya
harus diteliti secara lebih berhati hati, sebelum fakta fakta yang dihadirkan
didalamnya dapat diterima dan diaplikasikan sesuai kebutuhan ilmiah.
Selebihnya, Wallahu ‘Alam bissawab.
Telah terbit sebelumnya di http://portalsatu.com/read/budaya/sarakata-teungku-di-mulek-palsu-51431