Selamat Jalan sang Flamboyan

Sedihku dipenuhi sesak pagi ini saat
membaca khabar kepergian seorang guru paling flamboyan, periang dan enerjetik
yang kukenaL, Ustad Feri Idham. Ia salah satu diantara guru-guru hebat yang
pernah menempa ilmu dan kepribadianku.

Kira-kira tahun 1998-1999, Ustad
Feri Idham yang berasal dari Medan dan berumur 20an mengajar bahasa Inggris di
Pesantren Modern Misbahul Ulum Aceh Utara. Kala itu, Ia baru saja menikahi
seorang mantan pramugari cantik dari keluarga berada yang punya talian kerabat
di Lhokseumawe Aceh.

Meskipun sudah menikah, aku yang saat
itu berumur 14 tahun tak mampu melawan pukaunya, bersinar dari gaya khasnya
yang penuh semangat, berbadan tinggi besar, berambut dan bermata coklat terang,
sambil mengucapkan serentetan kalimat-kalimat berbahasa asing nan familiar, yang
pertama kali langsung ku dengar bukan dari kotak televisi. Ia begitu dinamik
dan kocak, menjadikan jam-jam belajar terasa bagai menari-menari dalam kegembiraan.
Aku dan teman-teman kelasku selalu mampu ia buat terkekeh-kekeh, menikmati
setiap proses membaca, melafazkan, dan menulis baris-baris percakapan bahasa
Inggris tersebut.

Yang paling menancap dibenakku adalah
juga soal ketegasannya. Belajar bahasa inggris kala itu terbilang sulit,
apalagi untuk seorang remaja muda yang tumbuh besar dalam lingkungan perang
sepertiku. Berkali-kali tugas-tugas yang diberi tak terselesaikan dengan baik.
Hingga satu masa, dalam satu sesi pemeriksan pekerjaan rumah, nilaiku hanya
satu angka diatas 5 akibat grammar. Ini membuatnya mengeluarkan satu
hentak kata, bagai gunung berapi meletus, yang membuat seluruh isi kelas
terdiam. Tak terbayang malunya aku yang masih dalam keadaan naksir dengan
guruku itu.

Menangis selama dua hari. Muncul dalam
kelas dengan mata sembab. Merenungi dan mengaca. Kata-kata itu menjadi pijakan
semangat untuk lebih giat belajar. Siang malam ku mengoceh dalam bahasa
Inggris. Sendirian tanpa perlu teman bicara. Duniaku berubah menjadi dunia
bahasa Inggris. Kuasa kosa kata mencapai ribuan. Gaya menulis meningkat. Pronounciation
juga membaik. Ya, Ialah guru bahasa Inggrisku yang pertama yang tak mungkin
terhapus dalam ingatan.

Ketika status Aceh Darurat
militer digendangkan, Guruku Feri Idham yang tercinta menghadapi tantangan yang
berat. Ia memutuskan untuk berhenti mengajar dan berpindah kembali ke kampong halamannya.

Selama mengajar ia tidak
mengharap lebih. Lulusan terbaik Cairo yang rela tinggal bersama istrinya di
sepetak kontainer kargo ‘hadiah’ Perusahaan Gas Arun itu telah menunaikan tugas
mulia yang ia yakini.

Meskipun hanya dalam waktu
singkat, pengorbanannya mengajari anak-anak di kawasan perang tak dapat dibandingkan
dengan apapun. Harganya tak ternilai dan tak mungkin kami lupakan.

Tak kan habis katak-kata demi
mengingatmu. Semoga Allah meridhoi segala yang engkau lakukan, guruku. Semoga
Allah memberkati segala amal baikmu dan menganugrahkanmu surga firdaus.

Selamat Jalan Guruku. Pengabdianmu tiada tara. 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

More articles ―