Bau amis tinja manusia tercium begitu menyengat saat menapaki gerbang memasuki Museum Bahari pada tahun 2015, tiga tahun sebelum insiden terbakar dan renovasi. Museum Bahari adalah museum yang menyimpan benda-benda kelautan dan perikanan purbakala yang terletak di Sunda Kelapa Lama, Jakarta Utara. Di kawasan yang dulunya pernah menjadi pelabuhan ini, Belanda mengatur barang dagangannya di gudang penyimpanan yang sekarang menjadi bagian dari Museum Bahari.
Seperti Gampong Pande, Museum Bahari ini terletak tak jauh dari pesisiran yang dulunya menjadi gerbang masuk pertama arus lintas maritim dan dagang nusantara dan internasional. Ia berada tak jauh dari Teluk Jakarta/ laut Jawa atau jika dalam peta lama, adalah Selat Sunda. Dari pesisiran Museum Bahari, siapa saja bisa melihat bagian pulau Sumatra dan Kalimantan.
Pembangunan Mesum Bahari tahun 1977 ini seakan menegaskan bahwa nilai pribumi era kesultanan telah usai. Saatnya merangkul identitas berbangsa dan bernegara dan mengintegrasikan diri dibawah pemerintahan Indonesia berazaskan legasi hukum dan tata negara Belanda, meskipun secara partial.

Begitu kaya isi museum ini, membuat pengunjung terkesima dengan segala koleksinya. Salah satu koleksinya adalah jejak replika pertarungan antara Laksamana perempuan Aceh Keumalahayati dengan Cornelis de Houtman serta awak kapalnya. Tapi sayang, kesan baik ini kemudian harus tersungkur bujur ketika tinja manusia terlihat mengalir dibawah sela-sela lantai kayu bagian tengah bangunan tersebut.
Tak jauh dari Museum ini ada beberapa titik gunungan sampah, pemulung, dan kotak-kotak kardus yang menjadi rumah bagi rakyat miskin jelata dan pegangguran. Tak bisa kulupakan pemandangan seorang ibu yang harus menempati pos jaga sekuriti yang berukuran 1×1 meter. Itupun dalam keadaan atap dan dinding miring seakan hampir roboh. Sang Ibu tersebut sedang memasak dengan satu panci yang tebal kehitaman dengan seorang anak berumur 4 tahunan tertidur lelap disampingnya.
Museum Bahari mengingatkanku pada masa depan Pesisiran Gampong Pande.
Bagi kalangan sejarawan dan budayawan, apa yang terjadi di Gampong Pande saat ini mendesak untuk dire-evaluasi dan dialihkan. Tentu dengan segala kerja-kerja kertas yang telah dilakukan antara Pemerintah dengan perusahaan penyedia realisasi IPAL bisa kian semrawut. Sesemrawut apapun, pemerintah dilengkapi aparat hukum yang lengkap dan penyelamatan serta program-program memaknai secara kredibel dan ilmiah di situs sejarah kawasan ini lebih penting, tidak hanya bagi generasi sekarang tapi juga anak-anak cucu kita. Ya, mungkin tidak penting bagi para pemangku jabatan pemerintah dan birokrat ibukota, Toh anak-anak mereka tidak akan mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah taraf
rendah di Aceh. Saat mereka besarpun dipastikan bisa berkarir, kalau bukan dikantor pemerintahan juga dikarenakan kapasitas intelektual yang tak seberapa, diperusahaan-perusahaan bergengsi di luar negeri.
Sejak hampir 6 tahun lebih, sengketa pembangunan IPAL timbul tenggelam. Tahun ini pemerintah Kota Banda Aceh memperlihatkan tarIng lebih kuat, barangkali dikarenakan 3 proyek di Gampong Pande adalah proyek nasional dan indikasi korupsi yang tercium memanjang bagai jaring laba-laba, dari provinsi hingga pusat yang menyemangati gerus serakah terhadap situs sejarah di Gampong Pande. Apalagi, bertahun-tahun, tidak ada cabang KPK yang berhasil dibujuk untuk membuka kantornya di Aceh.
Siapa yang bisa menjamin bahwa anggaran ratusan milyar yang digelontorkan untuk IPAL di Gampong Pande tidak berakhir sama dengan 3,2 milyar proyek IPAL RSUD Meuraxa yang teridentifikasi korup oleh Gerakan Anti-Korupsi Aceh (GeRAK) tahun 2019. Direkturnya, Askhalani mengatakan, berdasarkan rujukan data dari hasil audit, ditemukan bahwa indikasi korupsi sub-kontrak proyek ini dilakukan secara sistematis. (lihat: www.ajnn.net)
Dalam situs berita yang sama, Askhalani menambahkan bahwa “penjualan pekerjaan ini (sub-kontrak) sangat dilarang dan bahkan ancaman pidana ini. Selaian menyalahi aturan tentang pengadaan barang dan jasa juga menyalahi UU No 31 tahun 1999 No UU 20 tahun
2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi”.
Lagak penjualan pekerjaan yang dianggarkan pemerintah pada perusahan aliansinya adalah praktek yang biasa. Perusahaan tersebut menarik perusahaan lain atau bahkan LSM non-profit untuk merealisasikan program yang disetujui pemerintah dengan anggaran yang tidak sepenuhnya transparan. Bahkan terkadang tanpa fondasi kontrak sama sekali.
Lagi-lagi saya bertanya, siapa yang bisa menjamin bahwa apa yang ditemukan tim audit dan direktur GeRAK tidak akan terulang.
Pertanyaan lain adalah Siapa yang bisa menjamin, dengan realita ketiadaan regularitas pasokan air bersih dan asupan listrik secara umum diseluruh kota itu proyek IPAL tidak akan gagal saat selesai. Taman hijau yang Anda lihat dalam blue print arsitektur dibawah ini hanya bisa tumbuh tak serentak untuk kemudian tandus karena ketiadaan air dan listrik. Begitu juga dengan kinerja mesin-mesin Limbah sebagaimana yang digemborkan saat ini.

Jika proyek IPAL saat selesai ternyata tidak efisien, maka Gampong Pande akan menjadi Museum Bahari baru atau lingkungan Sunda Kelapa Lama yang baru. Artinya ia akan menjadi perkampungan kumuh, lebih buruk dari keadaan saat ini.
Berbicara soal pelestarian sejarah saat itupun akan terlambat, bagaikan mengatakan Anda akan sembahyang ketika kiamat telah tiba.
Oleh karenanya sejarah situs Gampong Pande harus diselamatkan sekarang. Semoga Pemerintah Walikota bisa menimbang kembali dan mengevaluasi secara transparan.
lihat juga di: https://portalsatu.com/opini/2021/03/sunda-kelapa-lama-mimpi-buruk-gampong-pande/